Tahun 2014. Sepanjang hari TV menyiarkan berita pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Pegiat politik dan media sibuk membuat analisis dan menyiarkan reportase. Antrian masyarakat pemilih mengekor di depan bilik suara. Setelah itu, masyarakat dengan hati yang yang berdebar cemas menunggu rekapitulasi quick count.
Saya ingat seorang ibu yang sempat terekam kamera TV. Dengan wajah yang di zoom in, ia menunjukkan jari telunjuknya di depan kamera TV yang menyorotinya. 'Saya sudah memilih', katanya. Ada keraguan dalam deretan kata itu. Saya menebak: ibu itu -- seperti pemilih lainnya -- mengharapkan dari pemilihan itu, lahir "Sang Ratu Adil" yang bisa menjadi motor penggerak roda pemerintahan Indonesia menjadi lebih beradab.
Pemilu sebagaimana lazimnya adalah laku memilih pemimpin. Dalam pemilu, pemilih akan tenggelam dalam statistik berupa angka-angka. Masyarakat atau siapapun yang datang ke TPS pada hari itu akan lebur dalam deretan angka. Tapi bukankah itu jembatan emas menuju demokrasi?
Demokrasi yang bebas terutama ketika sekian puluhan tahun di zaman orde baru suara masyarakat dibungkam dan kebebasan jadi kata sakral -- bahkan untuk mengucapnya saja orang ragu-ragu karena setelahnya: hilang.
Setiap pemilu tiba selalu ada harapan yang membumbung tinggi. Masyarakat dipaksa paham oleh sosialisasi, kampanye tentang pentingnya suara kita memilih "Si Itu". Dalam laku kampanye, kita semua digiring tidak saja pikiran tapi juga fisik. Kita berbondong-bondong ke tempat kampanye dengan niat mendengar, melihat dan merasakan getaran bahasa tim sukses dan pasangan calon. Ada satu yang kita lupa. Setelah pemilu: Kita bukanlah apa-apa dan bukan siapa-siapa.
Ibu itu sebagaimana yang sudah saya singgung mengharapkan bahwa dari pemilu lahir "Sang Ratu Adil". Tetapi memilih "Sang Ratu Adil" bukanlah laku yang monoton, yang selalu dipilih dengan statistic 100%. Melawan bilik kosong sekalipun, sang petarung tetap akan mempunyai lawan. Mereka yang tidak memilih atau karena ketiadaan biaya politik untuk bertarung adalah lawan yang perlu dilihat.
Di sinilah demokrasi -- juga pemilu -- jadi makin menarik. Pemilu tak melulu berakhir dengan tempik sorak kemenangan. Ada sinisme, duka, kemarahan serta kecemasan yang mengiringinya. Pasangan calon yang gagal akan memandang sinis dan dengan sendirinya menobatkan diri sebagai : The Opposite: Yang berlawanan.
Pemimpin yang lahir dari pemilu tak selamanya menjadi sarana terwujudnya harapan. Pemimpin yang lahir dari pemilu selalu seperti kondom yang bocor waktu bersenggama. Ketika dilahirkan, ada sinisme, sebelah mata, terkadang orang mencari cara untuk menggugurkan meski masih dalam kandungan.
Saya ingat pemilu tahun 2014 terutama ketika sebentar lagi kita merayakan Pilkada serentak pada 27 Juni 2018.
#DeAdipati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H