07 September 2009:
Pagi itu, aku masih asyik dengan segelas kopi pagiku. Naskah opini Prof. Cipta Lesmana yang sengaja ku kliping dari Koran Kompas menemani kopi dan pagiku. Sengaja aku agak santai hari itu. Jam kuliah yang dimulai pukul 09.30 membuatku sedikit berlama-lama berkutat dengan kata-kata Pak Cipta. Berharap bahwa kata-katanya juga inti tulisannya bisa jadi tambah referensi saat diskusi bersama kawan-kawan seperjuangan. Ah, itu waktu masih kuliah.
Ketika opini jadi bahan diskusi favorite, ketika demonstrasi seperti sarapan pagi, dan mengkritik pemerintah jadi kesenangan. Aku masih mengingat jelas artikel itu: 'Apa yang kau cari anggota Dewan?', sebuah tulisan yang sedikit sarkas buat para pencari kerja menjadi anggota dewan. Aku tersenyum sendiri manakala Pak Cipta menyamaratakan upaya pencarian kawan-kawan anggota dewan dengan pencarian harta. Astaga!!!
Tapi bukan ini yang mau ku tulis hari ini.
Ketika masih asyik tersenyum sebuah panggilan yang suaranya begitu akrab di gendang telingaku terdengar dari luar pintu kamarku. 'Kaka Onak', suara adik perempuanku menggema pelan dari luar pintu kamarku. Tanpa menunggu jawabanku, gagang pintu mulai berputar perlahan kemudian adik perempuanku muncul bersama seorang temannya.
'Toe ngo sekolah meu bo?' (Kalian tidak pergi sekolah?), tanyaku retoris. Aku tahu memang kalau mereka ini suka bolos atau juga tidak sampai di sekolah meski sudah berseragam putih abu-abu.
'Toe manga kaka, rantang les matematika (Tidak pergi kaka, takut les matematika)', jawab temannya lugas. 'Lha, memangnya kenapa?', tanyaku penuh rasa ingin tahu. 'Gurunya kejam kaka, apalagi kalau tidak bisa menjawab pertanyaan, kami bisa berlutut sepanjang waktu. Aku pun diam. Nurani pemberontakan ala mahasiswa mulai muncul dalam pikiran.
Jika pendidikan tidak bisa memanusiakan, lalu untuk apa ia dilanggengkan? Jika para siswa saja dididik dalam kultur ketakutan mampukah pendidikan itu menghasilkan generasi yang mumpuni? Apakah kita masih punya pegangan untuk masa depan jika kultur lingkungan sekolah tidak memberikan rasa aman bagi peserta didik? Apalagi ini matematika, yang harusnya dipresentasi secara kreatif dan menyenangkan. Pikiran-pikiran itu timbul sesaat setelah aku berdiam diri terhadap kenyataan yang terjadi pada saudariku dan temannya ini.
'Kaka, kami lapar', adikku berkata sambil membuka rice cooker yang ada di bawah kaki meja kerjaku. Mereka beruntung pagi ini. Karena baru pada hari ini aku masak nasi untuk sarapan pagiku. Biasanya ketika kampus pagi segelas kopi dan sebatang surya 12 yang kubeli eceran jadi kawan akrab. Selain itu, jatah beras (sebetulnya RASKIN) yang baru kemarin dikirim dari kampung menambah semangatku untuk memasak. Ketika mereka lagi asyik makan, akupun bersiap ke kampus sembari tak lupa menitip pesan untuk mengunci pintu kamar jika mereka pulang.
Kampus, 09.00 wita:
Aku masih terkosentrasi pada adikku dan temannya. Temannya, kalau boleh ku gambarkan tinggi semampai, rambut air, hidung mancung, anggun menawan. Ah, lupakan. Dia masih SMA, pikirku. Tetapi lambat laun pikiranku makin tak menentu. Pertarungan antara logika dan naluri untuk menjalin hubungan dengan seorang anak SMA yang nota bene masih di bawah umur berkecamuk hingga tanpa sadar sebatang kapur lemparan Dosenku tepat telak mendarat di pipiku.