Pendahuluan
Masyarakat pluralistik adalah karunia Tuhan yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Karena itu, sebagaimana anggota masyarakat lainnya, setiap umat Kristen harus dapat bekerjasama secara maksimal dengan umat beragama lainnya, hidup penuh toleransi tanpa harus menganut pandangan pluralisme agama yaitu satu faham yang mengajarkan bahwa keselamatan, terdapat dalam setiap agama. Alkitab mengajarkan bahwa keselamatan diberikan Allah kepada setiap orang yang menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya dan hidup berdasarkan firmanNya. Namun demikian memasuki abad ke-20, para teolog modern semakin marak mengajarkan bahwa keselamatan juga terdapat dalam setiap agama dan kepercayan yang ada didalam mayarakat pluralistik. Lalu bagaimanakah sikap Kristen yang bertahan pada ajaran Alkitab. Apakah orang Kristen harus menggeser imannya agar dapat menyesuaikan dirinya dengan masyarakat yang beragama dan kepercayaan lain? Bagaimanakah seharusnya orang Kristen hidup berdampingan bersama sudara-saudaranya dengan penuh toleransi? Apakah memeluk agama Kristen menjadi penghalang baginya untuk hidup berdampingan dengan saudara-saudaraya dengan penuh toleransi ? Uraian singkat ini ditujukan untuk menjelaskan bagaimana seharusnya orang kristen memandang pluralisme (kemajemukan) dari sudut pandang iman Kristen ditengah-tengah saudara-saudaranya yang menganut kepercayaan berbeda dengannya. Dengan pemahaman yang baik diharapkan, semakin terbangunnya semangat hidup saling memahami dan mengasihi satu dengan lainnya, dalam satu masyarakat pluralistik yang penuh damai sejahtera, jauh dari konflik antar suku, ras dan agama.
1. Indonesia negara banyak agama
Indonesia yang berpenduduk lebih dari 237 juta jiwa, terdiri dari 300 kelompok etnik dan 1.340 suku bangsa (sensus BPS tahun 2010) dan tersebar dari Sabang sampai Merauke. Ada enam agama yang sampai saat ini diakui Pemerintah sebagai agama resmi yaitu Islam, Kristen (Protestan dan Katolik), Hindu, Buddha, dan Konghucu. Selain enam agama di atas, Pemerintah menetapkannya sebagai Aliran Kepercayaan. Sesuai dengan banyaknya suku bangsa di Indonesia maka tidak heran banyak pula agama-agama asli di Indonesia. Beberapa diantaranya adalah Sunda Wiwitan (Jawa Barat), Kejawen (Jawa), Marapu (Sumba), Kharingan (Dayak), Parmalim (Batak), Talotang (Toraja) dan banyak lagi aliran kepercayaan lainnya, yang oleh Pemerintah digolongkan sebagai suatu Aliran Kepercayaan saja. Agama-agama atau Aliran Kepercayaan ini sudah ada sejak dahulu sebelum masuknya agama besar dunia, seperti halnya Islam, Kristen, Hindu dan Budha. Sampai abad ke-11 dominasi agama-agama di Nusantara ini, adalah agama Budha, Hindu, aliran kepercayaan dan animisme. Sementara itu, agama Islam baru masuk ke Nusantara di abad 11 dibawa oleh para pedagang Arab dari Gujarat India. Baru kemudian pada akhir abad ke-16, agama Islam, melampaui jumlah penganut agama Hindu dan Buddha, yaitu agama-agama yang sebelumya dominan pada suku-suku di Jawa dan Sumatra. Adapun penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya didorong oleh meningkatnya jaringan perdagangan di luar kepulauan Nusantara sampai ke Kesultanan Mataram (di Jawa Tengah sekarang), dan Kesultanan Ternate serta Tidore di Kepulauan Maluku di timur. Dominasi penyebaran agama Islam di Indonesia cukup rumit dan berlangsung lama sampai menempati posisi dominan di abad ke-21 ini. Dari sekitar 237 juta penduduk Indonesia, sekitar 87 persen sudah menjadi penganut agama Islam. Namun penting dicatat, bahwa agama-agama yang selama ribuan tahun menjadi agama utama di Nusantara ini adalah agama kepercayaan asli, Hindu dan Budha, bukan agama Islam. Budaya Indonesia yang beragam itu telah membuktikan betapa tinggi dan luhurnya budaya nenek moyang kita sehingga beralihnya berbagai suku bangsa di Indonesia dari penganut agama yang satu menjadi penganut agama yang lainnya, telah berlangsung dengan proses yang aman, penuh rasa kekeluargaan dan kasih persaudaraan. Konflik-konflik memang pernah ada didalam prosesnya, namun hal tersebut lebih terkait kepada kondisi politik dan hegemoni wilayah perdagangan di zaman itu. Sejarah perjalanan bangsa Indonesia menunjukkan bahwa kemajemukan khususnya agama-agama, bukanlah menjadi sumber konflik seperti yang sering banyak disebut-sebut beberapa tahun terakhir ini.
2. Manusia sebagai mahluk beragama
Menurut Alkitab (Injil), didalam diri manusia yang hidup, terdapat nafas hidup (roh) yang berasal dari Allah yang dihembuskan oleh Allah kedalam diri Adam pada waktu manusia pertama diciptakan (Kejadian 2:7). Didalam diri manusia ada unsur ilahi, yang menjadikan manusia itu menjadi mahluk rohani dimana dalam dirinya telah tertanam keinginan untuk selalu mencari sumber keberadaannya atau Penciptanya. Kerinduan kepada Ilahi menjadi rusak setelah Adam memberontak kepada Tuhan (jatuh didalam dosa), sehingga manusia tidak lagi menginginkan yang baik dari Tuhan saja, tetapi juga menginginkan yang jahat dari iblis. Manusia yang diciptakan serupa dan segambar itu (Kejadian 1:26-27) memang masih memiliki hati (tempat yang seharusnya diisi oleh Tuhan) sehingga meskipun sudah jatuh didalam dosa, manusia itu masih dapat memahami adanya Tuhan melalui kebesaran ciptaanNya (Wahyu Umum). Itu sebabnya mengapa manusia itu pada dasarnya adalah mahluk rohani atau manusa agama. Bagaimana dengan mereka yang tidak percaya adanya Tuhan ? Ya, ketidakpercayannya itulah yang telah menjadi agamanya. Tetapi jauh didlam lubuk hatinya manusia memiliki satu kesadaran adanya kekuatan yang jauh lebih besar daripada dirinya (supranatural), yang kerap mendorong batin manusia menanyakan dan mencari Tuhan yang maha kuasa. Pertanyaan-pertanyaan tentang kuasa-kuasa supranatural itu biasanya menemukan jawabannya melalui lingkungan dimana manusia itu berada, (didalam kebudayaan), termasuk ilmu pengetahuan. Sejak ribuan tahun manusia memiliki kepercayaan kepada Tuhan didalam berbagai budaya etnik sendiri atau suku bangsa lainnya karena perjumpaan berbagai suku bangsa dalam wilayah-wilayah habitat manusia. Manusia memiliki pilihan menerima atau menolak agama-agama yang berada dalam wilayah kebudayaannya itu sebagai hak asasinya.
3. Keragaman agama bukanlah sumber konflik
Berkembangnya pemahaman pluralisme agama-agama antara lain dimotivasi oleh upaya menghindari berkembangnya radikalisme penganut agama-agama yang menganggap dirinya adalah suatu sistem kepercayaan yang paling benar dan yang lain harus berkonversi kepada yang paling benar. Sejak semula beberapa agama misi seperti Islam, Kristen mengajarkan sistem kepercayaan yang demikian. Akan tetapi apabila kita amati dengan teliti sebetulnya ajaran keyakinan iman yang sedemikian bukanlah ancaman, apalagi sampai menjadi sumber konflik terhadap eksistensi satu masyarakat pluraris yang aman dan damai, apabila para penganutnya dapat memahami agamanya dengan benar sesuai dengan kitab sucinya masing-masing karena setiap agama mengajarkan pentingnya perbuatan-perbuatan baik. Jelas, setiap agama melarang umatnya melakukan tindakan kekerasan dan kejahatan kepada sesama manusia. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada salam yang disampaikan oleh masing-masing agama misalnya Assalamualaikum (Islam), Shalom (Kristen dan Yahudi) yang berarti salam damai sejahtera dan demikian juga "Om Shanti, Shanti, Shanti Om pada agama Hindu dan "Nammo Buddhaya" pada agama Budha. Apabila sampai terjadi konflik yang melibatkan agama, maka pastilah ada penyimpangan ajaran ataupun penyimpangan aplikasi dari penganutnya. Sejarah membuktikan bahwa, selama ini, sebetulnya yang menjadi pemicu konflik bukanlah agama-agama, tetapi lebih kepada friksi politik, terkait perebutan kuasa ataupun wilayah kekuasaan. Perang Salib yang berlangsung ratusan tahun itu pun, terjadi sebagai reaksi orang Kristen Eropa yang merasa dihalangi oleh Bani Saljuk (Islam) melaksanakan ziarah ke Yerusalem, karena Bani Saljuk waktu itu telah merebut dan menguasai Yerusalem sehingga raja-raja di Eropa serta Paus pun menyetujui diambilnya langkah perang suci untuk merebut kembali Yerusalem. Hal ini merupakan catatan buruk didalam sejarah kekristenan yang pernah melibatkan agama Kristen dalam Perang Salib. Demikian pula pertikaian yang terjadi antara Israel dengan Palestina hingga saat ini, pada dasarnya bukanlah pertikaian antara agama Islam dengan Yahudi karena di Israel sendiri banyak warga negaranya adalah orang Arab Islam dan Kristen. Demikian juga di Palestina, banyak juga warga negaranya menganut agama Kristen dan agama Yahudi. Disinilah kita melihat bahwa untuk kepentingan golongan tertentu, agama kerap digunakan untuk berbagai kepentingan politik. Demikian juga konflik antara pemeluk Hindu dan Islam di India bukan diakibatkan oleh masalah-masalah teologis dan agama. Memang agama adalah urusan spiritual antara individu terhadap Tuhan (hubungan personal) tapi jangan lupa agama-agama juga memiliki peranan yang penting dalam fungsi sosial kemasyarakatan yang mudah dijadikan alat politik untuk mencapai tujuan-tujuan yang jahat yang justru sangat bertentangan dengan hakekat agama-agama itu sendiri. Dengan demikian, konflik yang sebenarnya bukanlah konflik antar agama melainkan konflik yang menjadikan sentimen agama sebagai alat politik untuk menghimpun dan memperkuat kekuasaan politik. Belajar dari banyak kasus seperti itu, maka Indonesia pun akan terhindar dari konflik sara apabila para pemeluknya dapat memahami agama dengan benar. Pelaksanaan agama dengan benar akan menciptakan ketakwaan dan sikap toleransi yang tinggi dalam kehidupan masyarakt pluralistik dan menjadi alat pemersatu sebagai kekuatan dalam pembangunan bangsa.
Penting difahami, semangat saling memaklumi dan menerima adalah satu sikap yang sudah sejak dulu diwariskan dan hidup dalam masyarakat Indonesia yang multi etnis, bahasa serta budaya. Didalam sikap saling memahami itu, terkandung pikiran yang terbuka terhadap dialog dan saling menerima antara satu umat dengan dengan umat agama yang lainnya. Tidak heran sejak dulu juga pernikahan antar suku di Indonesia yang berimplikasi pada konversi agama salah satu atau kedua belah fihak, tidak dikuti dengan terjadinya konflik sara. Masyarakat kita sudah sejak lama memahami, bahwa agama adalah soal hak asasi masing-masing dan hubungannya bersifat vertikal sehingga tidak boleh ada fihak yang memaksa apalagi mengancam dan mengenai kebebasan beragama ini sudah final tercantum dalam Sila yang pertama dalam Pancasila dan dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian keragaman agama-agama, khususnya Kristen yang mengajarkan keselamatan kekal hanyalah ada didalam Yesus Kristus, tidak memerlukan pendekatan pluralisme agama sebagaimana pendekatan Paul F. Knitter, Raimundo Panikar, dan Choan Seng Song, para teolog yang mengajarkan bahwa keselamatan bukan hanya terdapat dalam Yesus Kristus sebagaimana ajaran Alkitab.
4. Bhineka Tunggal Ika dan Toleransi
Bhineka Tunggal Ika berarti "berbeda-beda tetapi tetap satu" adalah falsafah yang digali dari kekayaaan bumi nusantara yang sejak dulu sudah berhasil mempersatukan kemajemukan suku, bangsa, dan agama-agama yang ada. Falsafah ini telah sejak dulu berhasil mempersatukan Nusantara (Sriwijaya di abad ke-7) meskipun kemudian falsafah tersebut dituliskan oleh Mpu Tantular pada zaman Kerajaan Majapahit dalam buku Sutasoma lalu dicetuskan kembali oleh Bung Karno, bung Hatta dan para pemimpin lainnya saat mendirikan Republik Indonesia yang ber Bhineka Tunggal Ika ini. Selama ribuan tahun Bhineka Tunggal Ika adalah falsafah atau semboyan hidup bahwa pluralistik adalah realitas Indonesia yang menuntut satu toleransi yang tinggi (intelek). Walaupun Indonesia terdiri dari banyak suku, agama, ras, kesenian, adat, bahasa, dan lain sebagainya namun tetap satu kesatuan, yaitu sebangsa dan setanah air. Dipersatukan dengan satu nasionalisme Indonesia untuk mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur. Keanekaragaman termasuk dalam agama, tidak boleh menjadi sumber pertikaian atau perpecahan tetapi sebaliknya justru keanekaragaman haruslah dapat diterima sebagai asset pemersatu bangsa. Perbedaan haruslah dipandang sebagai suatu hal yang wajar dan perlu agar dapat menjadi harmonis dan serasi dalam satu masyarakat majemuk.