Lihat ke Halaman Asli

Rona Jogi

mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah

Prospek Perdamaian Semenanjung Korea: Realitas atau Harapan?

Diperbarui: 15 September 2024   12:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Kim Jong Un telah lama menjadi pusat perhatian dunia. Kebijakan isolasionisme yang diterapkan oleh pemerintah Korea Utara membuat negara ini menjadi salah satu yang paling tertutup di dunia. Rezim tersebut mempertahankan kontrol yang sangat ketat atas aliran informasi, baik yang masuk maupun keluar, serta mengawasi kehidupan warganya dengan sangat disiplin. Salah satu aspek yang paling mencolok dari Korea Utara ialah program nuklir yang mereka miliki. Meskipun menuai kecaman luas dari dunia internasional, pemerintah Korut terus melanjutkan pembangunan dan pengujian senjata nuklir mereka. Tentu saja ini menjadi ancaman sehingga memperburuk ancaman ketegangan di kawasan dan memicu kekhawatiran global. Berbagai entitas internasional terus berupaya mencari solusi untuk mengatasi situasi ini.

Di sisi lain, Korea Selatan memiliki pendekatan yang berbeda. Terutama di bawah kepemimpinan Presiden Moon Jae-in, Korsel lebih terbuka untuk melakukan dialog dan diplomasi dengan Korut. Meskipun tetap berhati-hati terhadap potensi ancaman nuklir dari tetangganya, Korsel berusaha untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan Korut. Selain mempertahankan aliansi yang kuat dengan Amerika Serikat sebagai upaya pertahanan, Korsel juga terus menekankan pentingnya diplomasi dan dialog untuk meredakan ketegangan di Semenanjung Korea.

Korut telah melakukan uji coba nuklir sejak 2006 silam. Pada Januari 2016, Korut kembali melakukan uji coba bom hidrogen. Sebagai tanggapan dari Korut yang ters menerus mendapatkan senjata nuklir dan rudal balistik, Korsel dan Amerika Serikat (AS) menyetuji akan pengerahan sistem pertahanan rudal Terminal High Altitude Area Defence (THAAD) di Seonju, Korea Selatan. Di tahun berikutnya Moon mengumumkan perintahnya untuk menyebarkan sistem THAAD secara lengkap. Ini menjadi titik puncak ketegangan keduanya.

 

Meskipun begitu, ada hal menarik di tahun setelahnya, di Olimpiade Musim Dingin 2018 berlokasi di Pyeongchang, Korea Selatan. Secara tidak terduga, kontingen Korut dan Korsel berbaris di bawah satu spanduk yang menggambarkan Korea bersatu. Di momentum itu pula, Moon bertemu dengan saudara perempuan Kim Jong Un, Kim Yo Jong. Dari sinilah menjadi awal baru bagi kedua negera tersebut yang mempertemukan para pemimpin Korut dan Korsel setelah sekian lamanya.

 

Tahun 2018 menjadi tonggak bersejarah dalam upaya perdamaian di Semenanjung Korea. Pada tahun tersebut bersama dengan AS, pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, dan Presiden Korea Selatan, Moon Jae In, melakukan pertemuan bersejarah yang menjadi sorotan dunia. Tepatnya dibulan April, keduanya bertemu dalam Konferensi Tingkat Tinggi Antar-Korea di Desa Panmunjom. Pertemuan ini menjadi konferensi ketiga setelah jeda sebelas tahun sejak pertemuan sebelumnya. Salah satu topik utama yang dibahas adalah denuklirisasi di wilayah Semenanjung Korea. Di akhir pertemuan, Kim dan Moon menandatangani deklarasi bersama yang bersejarah, yang bertujuan untuk mengakhiri Perang Korea dan memulai era baru perdamaian dan rekonsiliasi. Mereka juga sepakat untuk meningkatkan komunikasi antara kedua Korea dan melakukan kerja sama aktif, baik secara bilateral maupun melalui upaya internasional, guna mencapai denuklirisasi di Semenanjung Korea.

 

Akan tetapi belum lama ini, perhatian dunia kembali tertuju pada Korut setelah negara tersebut melakukan aksi provokatif dengan mengirimkan balon yang berisikan sampah dalam jumlah besar ke Korsel pada 8 September 2024. Korut terus mengirim balon sampah tersebut selama tiga hari berturut-turut. Tindakan ini bukanlah yang pertama, sejak Mei 2024 Korut telah meluncurkan sekitar 5.000 balon berisi sampah ke Korsel. Aksi tersebut menunjukkan bahwa ketegangan antara kedua negara masih jauh dari selesai.

 

Masih ditahun yang sama, 2024, Kim Jong Un, Presiden Korea Utara, memerintahkan penghancuran Monumen Harapan Reunifikasi. Monumen ini, yang berbentuk lengkungan patahan, dibuka pada Agustus 2001 di selatan Pyongyang sebagai simbol harapan akan penyatuan kembali kedua Korea. Namun, pada Januari tahun ini, monumen tersebut dihancurkan atas perintah Kim Jong Un. Tindakan ini merupakan bagian dari rangkaian kejutan lain yang dilakukan oleh Korea Utara sepanjang tahun ini. Para pakar pengamat Korea Utara mengungkapkan bahwa mereka sudah terbiasa dengan berbagai ancaman dan manuver yang dilakukan Kim Jong Un. Namun, kali ini, mereka melihat adanya pola baru yang menunjukkan karakteristik berbeda dari biasanya, mencerminkan sikap yang lebih tertutup dan tidak terduga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline