Seiring perkembangan teknologi, transaksi non-tunai semakin menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Salah satu inovasi yang paling populer adalah e-wallet, atau dompet digital. E-wallet merupakan aplikasi atau platform yang memungkinkan pengguna menyimpan uang secara elektronik dan melakukan berbagai transaksi tanpa perlu menggunakan uang tunai atau kartu fisik. Dengan e-wallet, pengguna dapat melakukan belanja online, membayar tagihan, mentransfer uang, dan masih banyak lagi, cukup dengan menghubungkan e-wallet mereka dengan rekening bank atau kartu kredit. Berkat kemudahan dan keamanan yang ditawarkan, e-wallet telah menjadi solusi banyak orang.
Namun, di balik manfaatnya, muncul pertanyaan mengenai implikasi penggunaan e-wallet dari perspektif syariah. Khususnya, apakah transaksi yang dilakukan melalui platform digital ini mengandung unsur riba, dalam Islam melarang pengambilan keuntungan berlebihan atau bunga dalam transaksi keuangan. Riba dianggap sebagai salah satu dosa besar dalam Islam, sehingga penting bagi umat Muslim untuk memastikan bahwa setiap transaksi yang dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Pada dasarnya, e-wallet berfungsi sebagai alat penyimpanan dan transfer dana, sehingga secara langsung tidak terlibat dalam praktik riba. Namun, jika e-wallet terhubung dengan layanan yang menawarkan bunga atau menerapkan biaya transaksi yang berlebihan, maka ada potensi munculnya unsur riba. Sebagai contoh, beberapa platform e-wallet mungkin menawarkan fitur tabungan atau pinjaman yang memberikan bunga kepada penggunanya. Jika hal ini terjadi, transaksi tersebut dapat masuk dalam kategori riba dan melanggar prinsip syariah.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) mengeluarkan Fatwa No.116/DSN-MUI/IX/2017 tentang Uang Elektronik Syariah. Fatwa ini memberikan panduan mengenai bagaimana transaksi uang elektronik, termasuk e-wallet, dapat dilakukan secara halal dan sesuai dengan syariah. Fatwa DSN MUI No.116/DSN-MUI/IX/2017 tentang Uang Elektronik Syariah menjelaskan dua jenis akad yang dapat digunakan dalam transaksi e-wallet. Pertama, akad wadi'ah (titipan) di mana uang yang disimpan dalam e-wallet dianggap sebagai titipan yang dapat diambil kapan saja oleh pemegangnya, dan penerbit tidak boleh menggunakan dana tersebut tanpa izin. Jika penerbit menggunakan dana tanpa izin, akad ini berubah menjadi akad qardh (pinjaman), yang memungkinkan penerbit menggunakan dana dengan syarat harus halal dan legal, serta wajib mengembalikan pokok pinjaman sesuai kesepakatan. Pengguna e-wallet harus memastikan bahwa transaksi yang dilakukan bebas dari unsur riba, tidak melibatkan barang atau jasa yang haram, serta menjamin transparansi dan keamanan dana yang dikelola.
Dengan mengikuti pedoman ini, umat Muslim dapat menikmati kemudahan teknologi finansial modern tanpa mengorbankan nilai-nilai agama. Oleh karena itu, penting bagi pengguna Muslim untuk lebih teliti dalam memilih platform e-wallet yang mereka gunakan. Mereka perlu memastikan bahwa platform tersebut mematuhi prinsip-prinsip syariah, seperti menghindari bunga (riba) dan tidak terlibat dalam transaksi yang melibatkan objek haram. Pengawasan ketat terhadap aktivitas transaksi digital ini diperlukan agar transaksi tetap halal dan sesuai dengan tuntunan Islam.
Penulis:
Rona Farida - Prodi Ekonomi Pembangunan Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H