Lihat ke Halaman Asli

Kritik Film "Cinta Brontosaurus"

Diperbarui: 11 Maret 2021   19:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Film Cinta Brontosaurus adaptasi buku berjudul sama dari Raditya Dika , dijadikan sebuah film di tahun 2013. Seperti bukunya, filmnya menceritakan pengalaman cinta Radit itu sendiri yang memerankan Dika. Kali ini dikisahkan Dika adalah penulis novel yang sulit untuk menjalin hubungan dalam waktu yang lama. Kali terakhir, ia putus dengan Nina (Pamela Bowie). Semenjak itu, Dika percaya bahwa cinta adalah perasaan yang bisa kedaluwarsa.

Cinta Basi Ala Raditya Dika. Dalam Film Cinta Brontosaurus Dika selalu pesimistis akan cinta. Menurutnya semua cinta bakal kedaluwarsa. Justru cinta monyet adiknya yang membuat Dika tercerahkan. "Kenapa kamu sayang Yasmin?" " Memang kalau sayang butuh alasan ya?" Pertanyaan polos Edgar, adik bungsunya yang masih SD membuat Dika terenyak. Bahkan anak SD saja tahu bahwa tidak butuh alasan untuk sayang dan cinta pada seseorang.

Saat ia sedang mencari cari perempuan yang di bantu oleh sahabatnya Kosasih (Soleh Solihun) Dika malah bertemu sosok perempuan yang berbeda dengan perempuan lainnya bisa di bilang unik, Jessica (Erisca Rein). Ketika menjalani hubungan dengan Jessica, Dika kembali mempertanyakan prinsip nya bahwa cinta itu bisa kadaluarsa. 

Inti dari film ini tak jauh berbeda dengan film-film Raditya Dika sebelumnya yang bertemakan patah hati. Tentu ada karakter perempuan yang menarik perhatian sepanjang film, dan tak terduga ia adalah Eriska Rein. Meski disematkan watak serupa Dika (pemikiran aneh, lugu, sulit menjalin hubungan), ia tetap memesona. Sama seperti Dika, ia digambarkan memiliki prinsip juga tentang percintaan. Ia menganggap setiap lelaki adalah antara bajingan atau gay , hingga ia bertemu Dika. Kebersamaan mereka yang sebenarnya menyenangkan untuk dilihat, tetapi hanya sedikit berbagi cerita dengan urusan Dika dan calon filmnya.

Menariknya, film ini juga seolah-olah menyindir menjamurnya film-film horor lokal dengan berbagai judul pada saat Dika mengalami cerita pada film. Jika sebelum film ini dirilis Dika memang pernah mengalami apa yang ia ceritakan, maka sindiran tersebut cukuplah tepat mengingat pada saat itu industri film Indonesia sedang dipenuhi berbagai film horor yang asal jadi. Melalui plot ini, beberapa lelucon juga dilontarkan, seperti bagaimana upaya pocong dan suster ngesot untuk berciuman?

Film ini sangat cocok di tonton saat sedang merasakan patah hati, karena film ini memiliki humor yang konyol sehingga penonton terbawa suasana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline