Lihat ke Halaman Asli

(Menopang) Komersialisasi Perikanan Budidaya

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Saat ini isu pembangunan perikanan mendadak menjadi buah bibir dan bahkan masuk dalam salah satu prioritas utama pembangunan ekonomi kabinet kerja. Pembangunan isu ini tentu tidak serta merta hanya dikarenakan sosok menteri kelautan dan perikanan yang selalu bertindak lugas, cepat dan efisien, namun juga ditunjang oleh fakta bahwa pada tahun 2024 dibutuhkan 59 ribu ton stok pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dunia serta pada tahun 2030, diprediksi bahwa perikanan akan menjadi salah satu dari tiga pilar pembangunan ekonomi Indonesia selain industri jasa dan sumber daya (survey McKinsey Global Institute , 2012). Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan yang sangat besar tersebut adalah dengan meningkatkan produksi perikanan baik dari sektor perikanan budidaya maupun perikanan tangkap.

Total produksi perikanan Indonesia pada tahun 2013 mencapai 19,2 juta ton yang berasal dari sektor budidaya dan tangkap. Sektor perikanan budidaya mampu menghasilkan produksi sebesar 13,3 juta ton dari potensi produksi sebesar 60 juta ton per tahun, sementara produksi perikanan tangkap tahun 2013 menghasilkan 5,81 juta ton atau mencapai 89.1 % dari total potensi sumber daya ikan. Dalam konteks peningkatan produksi, sektor perikanan budidaya memiliki potensi yang lebih besar untuk dikembangkan karena persentase pemanfaatan baru mencapai 22%, sementara sektor perikanan tangkap memiliki kendala akibat aktivitas penangkapan ikan yang berlebihan yang mengakibatkan beberapa daerah memiliki status over fishing dan tentu saja memaksa nelayan untuk memperluas wilayah penangkapan. Berdasarkan data diatas, konsep komersialisasi hendaknya bisa difokuskan kepada sektor perikanan budidaya.

Konsep komersialisasi menjadi sangat menarik bila ditujukan untuk peningkatan ekonomi masyarakan Indonesia dan tidak hanya terfokus kepada pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Konsep komersialisasi pada sektor perikanan budidaya dapat dilakukan mulai dari produksi benih, pakan, sarana prasarana, pasar dan hingga kepada pemanfaatan teknologi. Dari keempat aspek produksi tersebut, kunci untuk kesuksesan pelaksanaan konsep komersialiasi perikanan budidaya menurut hemat penulis adalah manajemen penanganan penyakit, produksi pakan dan dikuasainya pasar untuk hasil produksi.

Dalam sistem produksi yang cenderung mengarah kepada sistem (supra)intensif, kehadiran penyakit menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari. Dari kegiatan 9th symposium on diseases in Asian aquaculture yang minggu lalu dilaksanakan di Ho Chi Minh City, Vietnam, terungkap bahwa penyakit menjadi faktor utama penurunan produksi perikanan budidaya di beberapa negara di Asia. Beberapa penyakit mendapatkan perhatian serius karena mampu menyebabkan kerugian ekonomi dan kehilangan produksi yang cukup besar, diantaranya infeksi Early Mortality Syndrome (EMS) yang disebabkan oleh Vibrio parahaemolyticus ini mampu menurunkan jumlah produksi udang Thailand, Malaysia, Vietnam, China dan Meksiko hingga lebih dari 50%. Selain EMS, wabah penyakit lain seperti infeksi Nervous Necrosis Virus (VNN) dan iridovius pada komoditas ikan laut mampu mengurangi tingkat kelulushidupan hingga berujung pada kematian massal. Tidak hanya pada ikan laut, infeksi Koi Herpes Virus juga menjadi mimpi buruk bagi para petambak ikan mas dan koi yang ada di seluruh Asia. Penyebaran virus ini bahkan sudah masuk kedalam daftar penyakit yang menjadi catatan serius di kebanyakan negara asia.

Menurut Subasinghe (2001), diperkirakan bahwa total kerugian para pelaku usaha budidaya akibat infeksi penyakit mencapai US$ 9 miliar per tahun. Di Indonesia, infeksi baik yang disebabkan oleh parasit, seperti Benedenia, Neobedenia, Diplectanum, Pseudorhabdosynochus, Haliotrema, Trichodina, Lepeophtheirus, dan Cryptocaryon irritans maupun infeksi yang disebabkan bakteri dan virus telah menjadi hambatan tersendiri bagi peningkatan jumlah produksi. Kondisi ini membuktikan bahwa masalah penyakit dalam pengembangan sektor perikanan budidaya memerlukan perhatian yang sangat serius. Beberapa tindakan pencegahan dapat dilakukan seperti tindakan vaksinasi terhadap ikan budidaya yang dihasilkan atau diimpor dari daerah lain, pemberian vitamin dan immunostimulan untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh hingga kepada aplikasi probiotik untuk melancarkan penceranaan ikan dan meningkatkan kualitas media air pemeliharaan dapat dilakukan. Namun, permasalahan timbul akibat ketidaktahuan pembudidaya terdapat fungsi dan pentingnya tindakan pencegahan dibandingkan tindakan pengobatan yang memiliki persentase kesembuhan sangat kecil. Kondisi ini dapat diperbaiki dengan peningkatan jumlah pelatihan dan penyediaan tenaga penyuluh perikanan yang kompeten untuk mendampingi pembudidaya, khususnya dalam hal penanganan masalah penyakit.
Faktor lain yang patut mendapatkan perhatian khusus dalam mendukung konsep komersialisasi perikanan adalah dukungan pemerintah untuk penyediaan pakan ikan berkualitas yang diproduksi oleh anak bangsa dan menggunakan bahan baku lokal. Pakan dalam industri budidaya merupakan komponen penting karena berkontribusi lebih dari 60% dari total biaya produksi dan manjadi faktor utama peningkatan produksi melalui asupan gizi pada ikan budidaya. Sangat ironis bila melihat kondisi riil saat ini, dimana hampir sebahagian pakan diproduksi oleh negara asing, sehingga pelaku usaha budidaya hanya menjadi buruh dan dikendalikan oleh harga pakan yang selalu fluktuatif. Permasalahan ini menjadi sangat penting untuk ditangani mengingat dengan semakin dekatnya pelaksanaan Mayarakat Ekonomi ASEAN, maka bisa dipastikan bahwa ikan dengan nilai jual lebih rendah dengan kualitas yang tidak jauh berbeda akan lebih menarik minat konsumen. Pakan ikan yang umumnya diproduksi di Thailand dan Vietnam tentu akan sangat menguntungkan bagi para pembudidaya ikan di kedua negara tersebut, karena dengan harga pakan yang lebih rendah menjadikan produksi perikanan di kedua negara tersebut memiliki daya saing yang cukup tinggi.
Selain penyakit dan pakan, faktor pemasaran juga menjadi sangat penting bagi komersialisasi sektor perikanan. Aspek pemasaran bisa berupa pencarian daerah penjualan baru hingga kepada percepatan sistem transportasi produk perikanan ke sentra pengolahan ikan. Pencarian wilayah baru untuk pemasaran ikan budidaya juga dirasa cukup penting mengingat banyak negara mulai mencanangkan efisiensi penggunaan anggaran negara untuk berbagai kegiatan seremonial rutin. Sebagai contoh China, jauh dari kampanye penghematan anggaran yang dilakukan oleh Indonesia, negara tirai bambu ini sudah melakukan pengetatan pengeluaran anggaran hingga kepada pelarangan penjamuan makan mewah bagi para pejabat negara. Efek dari peraturan ini berdampak kepada para pelaku usaha budidaya ikan Kerapu yang menjadikan China dan Hongkong sebagai target pemasaran hasil budidaya. Harga ikan Kerapu, baik Kerapu macan Epinephelus fuscoguttatus, Kerapu bebek Cromileptes altivelis hingga kerapu hybrid seperti Kerapu cantang dan Kerapu Cantik memiliki penurunan harga yang cukup signifikan. Hal ini utamanya disebabkan oleh terbatasnya masyarakat dan negara yang doyan untuk mengkonsumsi ikan yang termasuk dalam kategori mahal tersebut. Oleh karena itu, adanya kecenderungan perubahan pola makan, seperti halnya pada masyarakat Timur tengah, dari red meat menjadi white meat, harus disambut positif dengan gencar melakukan penjajakan yang efektif. Selain timur tengah, negara-negara eropa dan negara lainnya yang cukup potensial untuk pemasaran ikan hasil budidaya juga cukup mendesak untuk dijajaki, utamanya untuk mengantisipasi jumlah produksi yang berlebihan. Seperti halnya yang terjadi pada industri budidaya lele, mas dan gurami di wilayah Jawa Barat, dimana akibat hasil produksi yang berlebihan menjadikan harga ikan anjlok dan permintaan menjadi lesu.
Sejatinya, konsep komersialisasi perikanan budidaya juga akan mendapatkan keberhasilan yang optimum bila didukung oleh pemerintah dan perbankan melalui reformasi perizinan dan pembiayaan. Paradigma yang mengatakan bahwa sektor perikanan sebagai high risk sector sudah saatnya tidak menjadi phobia tersendiri bagi perbankan untuk mengucurkan pinjaman investasi, karena dengan sentuhan teknologi dan pembangunan SDM di bidang perikanan yang gencar dilakukan, sektor ini sudah berubah menjadi calculated risk sector dan bahkan terbukti mampu bertahan dari terpaan krisis ekonomi. Kemudahan investasi dengan merampingkan jumlah perizinan dan pembangunan infrastruktur pengolahan perikanan juga menjadi strategi menarik untuk mengundang lebih banyak investor untuk berinvestasi di sektor perikanan. Akhirnya, dengan komitmen bersama, melalui konsep komersialisasi perikanan budidaya, diharapkan bahwa peningkatan ekonomi bangsa dan partisipasi dalam hal penyediaan pangan (food security) dunia dapat kita wujudkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline