Lihat ke Halaman Asli

Legenda Tangkuban Perahu dan Sisingaan Kota Subang

Diperbarui: 9 Mei 2020   00:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Subang, nama sebuah kabupaten / kota yang berada tepatnya di Jawa Barat. Asal-usul nama Subang ini bukan diambil dari sebuah singkatan yang memiliki arti kepanjangan "Susah Berkembang", melainkan diambil dari sebuah kisah yang berkembang di tengah masyarakat. Kata Subang berasal dari nama   seorang wanita yaitu Subanglarang atau Subangkarancang. Hal ini dikuatkan dengan adanya cerita dalam Babad Siliwangi, dimana dalam cerita tersebut dikisahkan terdapat sebuah pesantren (daerah Karawang) yang diasuh oleh Syeh Datuq Quro. Di pesantren tersebut terdapat santri putri yang bernama Subanglarang atau Subangkarancang yang tak lain merupakan putri dari Kyai Jamajan Jati. Fakta menunjukan bahwa wilayah Subang ini terbagi menjadi 30 kecamatan, yang kemudian dibagi lagi menjadi 253 desa dan 8 kelurahan. Adapun mayoritas penduduk Subang ini merupakan suku Sunda. Oleh karena itu, wajar jika mereka menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa kesehariannya. Selain penduduk Sunda, ada juga sebagian penduduk yang menggunakan bahasa Jawa dialek (Dermayon) sebagai bahasa kesehariannya.

        Subang merupakan kota / kabupaten yang memiliki ciri khas tersendiri, adapun ciri khas yang terkenal di Kota Subang ini antara lain :

1. Legenda Gunung Tangkuban Perahu

Tangkuban perahu merupakan salah satu tempat wisata yang terletak di kota Subang sebelah selatan, dimana gunung ini memiliki ketinggian mencapai 2.048 meter, selain itu juga, Gunung Tangkuban Perahu memiliki banyak kawah, seperti kawah Domas, kawah Upas dan kawah Ratu yang luasnya mencapai 8.000 hektare. Sehingga tidak jarang apabila waktu libur, banyak wisatawan yang berkunjung ke Gunung Tangkuban Perahu ini.

Gunung Tangkuban Perahu juga dilatar belakangi dengan cerita dongeng yang sangat menarik, yaitu cerita tentang kisah seorang anak yang bernama Sangkuriang dan seorang ibu yang bernama Dayang Sumbi.

Cerita ini berawal ketika Sangkuriang berpisah dengan ibunya yaitu Dayang Sumbi yang sedang mandi di sungai. Ketika Sangkuriang beranjak dewasa, ia bertemu dengan ibunya. Akan tetapi Sangkuriang tidak mengenal ibunya, karena Dayang Sumbi terlihat begitu cantik dan awet muda. Karena itu, Sangkuriang pun jatuh cinta kepada Dayang Sumbi dan memiliki niatan untuk melamarnya. Namun, secara tidak sengaja, Dayang Sumbi melihat tanda lahir di kepala Sangkuriang, sehingga Dayang Sumbi pun sadar bahwa Sangkuriang adalah anaknya yang telah lama hilang. Kemudian Dayang Sumbi pun menceritakannya kepada Sangkuriang, akan tetapi Sangkuriang keras kepala, sehingga tidak mempercayainya.

Kemudian Dayang Sumbi memberikan syarat kepada Sangkuriang jika ingin menikahinya, syarat tersebut adalah membuat perahu dengan kurun waktu selama satu malam. Kemudian Sangkuriang menyetujui syarat itu.

Karena ingin menikahi Dayang Sumbi, Sangkuriang pun dengan semangat menyelesaikan perahu yang dibuatnya hanya satu malam. Ketika melihat perahu tersebut akan selesai Dayang Sumbi pun cemas, sehingga ia membuat rencana untuk menggagalkannya. Kemudian Dayang Sumbi membangunkan seekor ayam yang telah diberikan penerangan, sehingga ayam akan mengira bahwa hari sudah pagi. Kemudian usahanya menggagalkan syarat tersebut berhasil.

Ketika mendengar suara ayam, Sangkuriang terlihat kaget dan kesal, karena usaha ia untuk membuat perahu tersebut gagal. Kemudian Sangkuriang menendang perahu yang belum jadi tersebut hingga terbalik menjadi sebuah gunung. Begitulah legenda ini dipercayai sebagai awal dari Gunung Tangkuban Perahu.

2. Kesenian sisingaan / gotong singa

sisingaan.kompasiana

Masyarakat Subang sering menyebut sisingaan ini dengan kata "Odong-odong", dimana odong-odong merupakan salah satu jenis kesenian khas Jawa Barat yang berasal dari Kota Subang. Terdapat banyak keterangan tentang asal-usul sisingaan ini, salah satunya bahwa sisingaan ini memiliki hubungan dengan bentuk perlawanan rakyat Subang terhadap penjajah melalui binatang singa kembar (lambing penjajah Belanda).

Sisingaan ini sering dipertunjukan dalam acara pernikahan ataupun khitanan, sisingaan ini dikemas sedemikian rupa yang kemudian ditambahkan dengan berbagai atraksi, seperti Jajangkungan dengan tampilan manusia-manusia yang tingginya mencapai 3-4 meter. Hal yang perlu dibanggakan dari sisingaan ini adalah selain banyak dikenal oleh berbagai daerah, kesenian ini juga sering menjadi perwakilan Indonesia dalam pergelaran budaya di mancanegara. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat Subang untuk melestarikan hasil karya seni yang dimilikinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline