Lihat ke Halaman Asli

Romi Iswandi

Mahasiswa Unsia

Media Sosial dan Pengaruhnya pada Kesehatan Mental

Diperbarui: 24 Mei 2022   21:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berselancar menggunakan media sosial memang menyenangkan untuk mengusir kejenuhan, mencari hiburan sekaligus menemukan informasi terkini mengenai berbagai hal yang tengah trending dibelahan dunia, semuanya bisa dilakukan dengan mudah lewat berbagai platform media sosial yang terus berinovasi dan berevolusi memanjakan penggunanya. 

Berdasarkan laporan situs We Are Social (Hootsuite), pengguna internet di Indonesia saat ini telah menyentuh angka diatas 204 juta pengguna internet  per Januari 2022, dengan pengguna aktif media sosial berjumlah hingga 191,4 juta pengguna dan diperkirakan masih akan terus begerak naik dari total terdata 277,7 juta jiwa penduduk Indonesia. 

Angka yang cukup fantastis, dengan estimasi rata-rata penggunaan internet dalam satu hari selama 8 jam, dan untuk mengakses media sosial selama 3 hingga 4 jam setiap harinya.  Pertanyaanya adalah mengapa saat ini kecenderungan individu suka ber-medsos-ria selama itu setiap harinya..?

Dikutip dari Halodoc.com, Otak manusia memproduksi dua hormon yang dapat menghasilkan sensasi rasa bahagia yaitu Dopamin dan Oksitosin, kedua hormon tersebut akan dihasilkan ketika individu melakukan hal disukainya, salah satunya dengan mengakses media sosial, hormon ini dapat menimbulkan perasaan kecanduan, hingga efeknya bisa membuat orang merasakan keinginan untuk terus mencari sumber kebahagiaan. 

Dopamin sering dihasilkan ketika individu menerima informasi yang berisi sesuatu yang menyenangkan. 

Salah satunya adalah pujian yang sering terlihat di media sosial. Sedangkan hormon Oksitosin akan mengalir saat menerima stimulus tertentu. Misalnya pelukan dan ciuman. Ternyata sebuah penelitian menyebutkan bahwa pada sebagian kasus sering scrolling media sosial juga dapat meningkatkan produksi oksitosin di otak. 

Ketika hormon ini dihasilkan, orang merasa stress berkurang, lebih dicintai, dipercaya, dan berempati. Namun, kondisi ini tidak selalu terjadi seperti yang disebutkan, potensi efek kebalikan juga bisa datang dan justru akan menghasilkan depresi.  

Sebuah studi menunjukan penggunaan media sosial secara berlebihan ternyata dapat memberi dampak negatif yang cukup mengkhawatirkan yakni gangguan kesehatan dan mental. Saat ini, media sosial sering dikaitkan sebagai salah satu faktor risiko terjadinya depresi dan gangguan mental. Hubungan antara depresi dan media sosial bukan hanya tentang tekanan sosial untuk berbagi dan mengikuti berita terbaru. 

Munculnya kondisi mental ini juga dipicu oleh kecenderungan pengguna media sosial untuk membandingkan diri dengan pencapaian orang lain (self comparison). 

Bertemu pekerjaan yang baik, pasangan yang baik, serta teman dan kerabat yang memiliki rumah yang bagus juga bisa membuat seseorang  merasa bahagia. Namun, tidak jarang kecemburuan justru terjadi yang bisa menyebabkan depresi. Dan perasaan ini akan mengguncang harga diri individu tersebut seakan-akan hidup orang lain selalu lebih baik darinya,  merasa seolah-olah pencapaian diri tidak sebanding dengan pencapaian teman-temannya.

Jordyn Young dari University of Pennsylvania, AS, melakukan sebuah penelitian bahwa orang yang tidak menggunakan media sosial  cenderung lebih jarang mengalami depresi atau kesepian. Ia  menambahkan, pengurangan penggunaan media sosial dapat membawa perbaikan, terutama dalam hal kualitas kesejahteraan manusia.   

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline