Lihat ke Halaman Asli

Kisah Sukses Kolaborasi Konservasi, Membangun Optimisme Kelestarian Hutan

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel


Indonesia dikenal sebagai negara megabiodiversitas yang memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire (Kongo). Ironisnya, kerusakan hutan mencapai 77,8 juta ha (58,2%) dari total kawasan hutan seluas 133,7 juta ha (Departemen Kehutanan, 2006). Hutan pernah menyumbang devisa negara terbesar kedua setelah non migas pada era Orde Baru. Namun, eksploitasi hutan tropis yang tidak terkendali dalam kurun waktu 1968-1998 dengan maraknya ijin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan penanaman modal asing telah menyisakan degradasi hutan dan lahan (FWI, 2002). Ditambah lagi praktek illegal logging, perambahan, konversi hutan untuk kebun sawit, penambangan tidak ramah lingkungan dan kebakaran yang semakin memperparah kerusakan ekosistem hutan. Tak heran jika terjadi penurunan plasma nutfah, fragmentasi habitat satwa liar hingga bencana alam, berupa banjir, tanah longsor dan kekeringan.


Saat ini, hutan tropis Indonesia tersisa di daerah pegunungan dan pedalaman yang relatif terpencil. Jamrud khatulistiwa bukan lagi berwujud hamparan karpet hijau tetapi mirip sebaran kain perca. Sebagian besar kawasan hutan tropis tersebut berstatus sebagai taman nasional (national park). Sungguh tepat jika dikatakan bahwa pada era ini taman nasional seluas 16,9 juta ha (Departemen Kehutanan, 2007) merupakan “benteng terakhir hutan tropis Indonesia”. Sayangnya, kawasan konservasi juga tidak luput dari tekanan degradasi dan deforestasi. Padahal, taman nasional di Indonesia bukan hanya berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan di lingkup lokal maupun nasional, namun juga berkontribusi pada perlindungan manusia di muka bumi. Dunia kini dihadapkan pada pangkal persoalan perubahan iklim (climate change) yang berujung pada pemanasan global (global warming) sebagai dampak kehilangan hutan di seluruh dunia. Ancaman kedepan sangat nyata sehingga tidak ada kata lain, selain “selamatkan hutan kita yang tersisa”.

Tipologi Motif Ekonomi

Muara dari persoalan kerusakan hutan adalah rendahnya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan hidup. Penyebab utama adalah pergeseran basis ekonomi kebutuhan (needs economic) menuju ekonomi pendapatan (incomes economic) hingga ekonomi keserakahan (greeds economic). Sebagian besar masyarakat sekitar hutan masih berada pada jurang kemiskinan. Tercatat oleh Departemen Sosial (2007), tingkat kemiskinan di sekitar hutan mencapai 12 juta jiwa. Oleh karena itu, upaya membangun kepedulian lingkungan harus sinergi dengan pengembangan ekonomi lokal untuk mengentaskan kemiskinan.

Dalam pengelolaan kawasan taman nasional, tipologi motif ekonomi tampak nyata. Komunitas adat tradisional menganggap hutan sebagai tempat hidup. Mereka sangat bergantung pada sumberdaya hutan (SDH) untuk mencukupi kebutuhan pokok secara subsisten, misalnya: kayu bangunan, hasil hutan non kayu (HHNK), tempat berburu, ladang berpindah, kayu bakar dan air. Tipe masyarakat sekitar hutan yang sudah mengenal modernisasi, ketergantungan terhadap sumberdaya alam (SDA) condong pada peningkatan pendapatan ekonomi, misalnya: kebutuhan lahan pertanian dan HHNK yang produk olahannya dijual. Namun, mereka masih memerlukan kayu bakar, hijauan pakan ternak dan air. Sedangkan masyarakat sekitar yang sumber ekonominya berkaitan dengan tata niaga kayu berpotensi mengambil bahan baku dari hutan. Ditambah lagi ancaman oknum pengusaha kayu, kebun sawit dan tambang yang serakah dalam mengekploitasi SDA.

Inisiatif Kolaborasi : Sinergi Ekonomi dan Konservasi

Kepedulian lingkungan harus dibangun pada kerangka pemanfaatan SDA yang berkelanjutan untuk kebutuhan lintas generasi. Hutan memang merupakan SDA yang terbaharui (renewable), namun dapat berubah menjadi tak terbaharui (unrenewable) jika laju rehabilitasi tidak sebanding dengan laju kerusakan hutan yang telah mencapai 2,83 juta ha per-tahun dalam kurun waktu 1997-2000 (Departemen Kehutanan, 2006). Pergeseran tipologi motif ekonomi pada dasarnya merupakan sebuah keniscayaan, namun keserakahan ekonomi harus diberantas karena tidak sesuai dengan amanah UUD 1945 yaitu tujuan pengelolaan SDA untuk sepenuhnya kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Jika laju kerusakan hutan tidak dapat dikendalikan, maka prediksi World Bank (2001) akan menjadi kenyataan yaitu bahwa hutan tropis Sumatera akan lenyap pada tahun 2010, sementara hutan tropis Kalimantan menyusul pada tahun 2015.

Pertentangan antara kepentingan ekonomi dengan konservasi hutan merupakan sumber konflik pengelolaan SDH, khususnya di taman nasional. Alternatif-alternatif usaha penyelerasan antara dua kepentingan tersebut perlu digagas, khususnya bertujuan untuk menyelamatkan hutan tropis yang tersisa. Kepedulian lingkungan harus disadarkan pada setiap individu masyarakat, namun tantangan terbesar adalah bagaimana memobilisasi kesadaran individu (individual awareness) menjadi aksi kolektif (collective action). Kolaborasi parapihak dapat menjadi gerbang awal sinergi ekonomi dan konservasi dalam pengelolaan taman nasional.

Kerusakan hutan tropis Indonesia sudah banyak diungkap diberbagai media, seminar ilmiah, maupun forum pertemuan parapihak, baik di tingkat lokal, regional, nasional, bahkan internasional. Banyak yang memandang pesimis bahwa hutan Indonesia akan lestari dan kemiskinan sekitar hutan dapat dientaskan. Namun sayangnya, kisah sukses (success story) tentang inisiatif konservasi lokal yang melibatkan kolaborasi parapihak belum banyak dimunculkan sebagai bahan pembelajaran (lesson learn). Generasi muda Indonesia harus didorong untuk selalu memiliki optimisme dalam upaya melestarikan kekayaan SDH sebagai sumber kehidupan dan kebanggaan nasional yang harus selalu dijaga dan dimanfaatkan untuk diwariskan kepada anak-cucu secara berkelanjutan. Beberapa studi kasus dibawah ini dapat menjadi lentera penerang bahwa kelestarian hutan itu masih ada. Bermitra Kita Bisa.

Fasilitasi ”Hunian” Orang Rimba dalam ”Rumah” Taman Nasional

Upaya kolaborasi yang didorong di Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD), Jambi menyangkut isu pengakuan eksistensi Orang Rimba. Mereka turun-temurun hidup dan bergantung pada SDH sebelum penunjukan TNBD pada tahun 2000. Ironisnya, rumah tinggal Orang Rimba semakin terdesak karena tekanan degradasi hutan melalui ekspansi perkebunan, illegal logging dan perambahan oleh masyarakat luar kawasan. Selain itu, kebijakan TNBD menyebabkan benturan antara kepentingan perlindungan kawasan dengan kultur Orang Rimba. Pengelolaan TNBD membatasi secara ketat pemanfaatan SDH oleh Orang Rimba yang hidup secara nomaden dan memanfaatkan HHNK. Benturan pun terjadi antara hukum formal dan hukum adat Orang Rimba.

Kolaborasi konservasi di TNBD dikembangkan untuk melestarikan kehidupan Orang Rimba dengan menyiapkan alternatif kehidupan yang sesuai dengan perkembangan dan pilihan masa depan mereka. Sejak tahun 2002, LSM WARSI, Balai TNBD dan BKSDA Jambi memfasilitasi pembentukan lembaga kemandirian Orang Rimba sebagai upaya penyiapan modal sosial agar berdaya dan mandiri dalam memperjuangkan hak kehidupannya serta mampu bermitra dengan parapihak dalam pengelolaan TNBD. Kegiatan peningkatan kapasitas Orang Rimba dilakukan dalam bentuk pendidikan baca-tulis-hitung, bantuan kesehatan, fasilitasi pengelolaan “hompongon” serta pengembangan kelembagaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline