Lihat ke Halaman Asli

Romi Febriyanto Saputro

Pustakawan Ahli Madya Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen

Reaktualisasi Undang-Undang Karya Cetak dan Karya Rekam

Diperbarui: 18 Maret 2018   17:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karya cetak dan karya rekam (KCKR) merupakan aset budaya bangsa yang  harus terdokumentasi dengan baik. KCKR berperan sebagai tolok ukur  kemajuan intelektual bangsa, referensi dalam bidang pendidikan,  pengembangan Iptek, penelitian, pelestarian maupun  penyebaran  informasi.  Sayangnya, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1990 tentang KCKR  yang menjadi payung hukum dalam penghimpunan belum terlaksana dengan  optimal karena kesadaran penerbit, produsen karya rekam dan masyarakat  masih kurang. Usia Undang-undang yang sudah lebih dari 27 tahun dirasa  sudah tidak efektif menghimpun segala jenis KCKR apalagi untuk  mengakomodasi dinamika masyarakat  dan perkembangan Iptek (pnri.go.id, 12 Agustus, 2017).

Undang-undang ini mewajibkan setiap penerbit dan pengusaha rekaman yang berada di wilayah Negara Republik Indonesia untuk menyerahkan 2 (dua) buah cetakan dari setiap judul karya cetak dan sebuah rekaman dari setiap judul karya rekam yang dihasilkan kepada Perpustakaan Nasional RI dan sebuah kepada perpustakaan daerah provinsi selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah penerbitan (Pasal 2 -- 3). Kewajiban serah simpan ini juga berlaku bagi perorangan.

Kewajiban serah -- simpan karya cetak dan karya rekam ini sebenarnya memilki tujuan yang mulia, yaitu  mewujudkan koleksi nasional dan melestarikannya sebagai hasil budaya bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Maksud baik ini rupanya belum ditangkap dengan baik oleh pihak penerbit, pengusaha rekaman, dan instansi pemerintah sendiri.

Pihak penerbit dan pengusaha rekaman merasa keberatan biasanya karena alasan faktor komersial, yakni mengurangi keuntungan perusahaan.  Padahal "kerugian" yang diderita penerbit ini dapat dibebankan kepada konsumen buku. Bukankah pihak penerbit sudah terbiasa menggeser berbagai macam pajak yang menjadi tanggungan penerbit buku menjadi tanggungan konsumen buku. Konsumen buku pun tentu tidak keberatan jika harus menanggung "kerugian" penerbit ini untuk keperluan serah simpan karya cetak dan karya rekam.

Selain penerbit, instansi pemerintah baik pusat maupun daerah juga sering lalai dalam menunaikan kewajiban serah-simpan karya cetak dan karya rekam produk instansinya. Rendahnya kepedulian untuk menyerahkan karya cetak dan karya rekamnya ke Perpustakaan Nasional RI dan perpustakaan daerah provinsi ini menunjukkan bahwa dokumentasi/pelestarian suatu bahan pustaka masih dipandang sebelah mata oleh instansi pemerintah. Faktor lain adalah belum tersosialisasikannya undang-undang ini di kalangan instansi pemerintah sendiri. Dikiranya, hanya penerbit swasta saja yang memiliki kewajiban serah simpan karya cetak dan karya rekam.

Jemput Bola.

Untuk mengoptimalkan pengumpulan serah-simpan karya cetak dan karya rekam Perpustakaan Nasional RI dan perpustakaan daerah provinsi harus melakukan "layanan jemput bola". Untuk memaksimalkan hasil layanan jemput bola, libatkan keberadaan perpustakaan umum kabupaten/kota. Lagi pula saat ini adalah era otonomi daerah, sehingga wajar jika perpustakaan umum kabupaten/kota mendapat peran yang cukup signifikan.

Setiap bulan perpustakaan umum kabupaten/kota dapat diminta partisipasinya untuk memantau jumlah penerbitan karya cetak dan karya rekam baru  di masing-masing kabupaten/kota di tanah air.  Perpustakaan umum kabupaten/kota juga dapat dijadikan sebagai tempat transit sementara bagi penerbit/pengusaha rekaman  yang ingin menyerahkan karya cetak/karya rekam terbarunya. Selanjutnya perpustakaan umum kabupaten/kotalah yang mengirimkan kepada perpustakaan daerah provinsi untuk diteruskan kepada perpustakaan nasional. Dengan demikian penerbit dan pengusaha rekaman tak perlu repot-repot menyerahkan sendiri ke perpustakaan nasional.

Layanan jemput bola ini akan semakin efektif jika disatukan dengan desentralisasi pemberian nomor ISBN (International Standart Book Numbers) dan barcode harga yang sangat diperlukan penerbit untuk memasarkan produknya baik di dalam maupun luar negeri/internasional. Pemberian nomor ISBN selama ini terkesan masih sangat sentralistik karena ditangani secara langsung oleh perpustakaan nasional tanpa melibatkan perpustakaan daerah provinsi dan kabupaten/kota. Akibatnya, penerbit harus banyak kehilangan energi untuk mengurus ISBN ini langsung ke perpustakaan nasional. Karena, jika hanya via surat biasanya "pakai lama".

Dengan desentralisasi ISBN, maka penerbit cukup mengurus ISBN di perpustakaan umum kabupaten/kota yang dirancang online dengan perpustakaan daerah provinsi dan perpustakaan nasional. Desentralisasi ISBN akan semakin memudahkan proses pemantauan dan pengumpulan karya cetak dari penerbit karena dilayani secara langsung oleh perpustakaan umum kabupaten/kota. Layanan penerbitan ISBN yang terpadu dengan layanan untuk menerima serah-simpan karya cetak ini diharapkan dapat meminimalkan tidak terdeteksinya penerbitan buku baru oleh perpustakaan seperti yang terjadi selama ini.

Studi Kepustakaan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline