Lihat ke Halaman Asli

Romi Febriyanto Saputro

Pustakawan Ahli Madya Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen

Belajar Anti Korupsi Kepada Umar Bin Khattab

Diperbarui: 12 Maret 2018   15:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: viva.co.id

Suatu ketika, Khalifah Umar ibn Khaththab mengajak tamunya pergi ke rumahnya. Khalifah Umar berkata kepada istrinya, Ya Ummi Kultsum ! Keluarkanlah makanan yang ada. Kami kedatangan tamu dari jauh, dari Azerbaijan."Istrinya menjawab, "Kami tidak mempunyai makanan selain roti dan garam."
"Tidak mengapa,"jawab Umar. Kemudian keduanya makan roti dan garam.
Sesudah makan, Khalifah Umar ibn Khaththab bertanya kepada tamunya,"Apa maksud kedatangan Anda kali ini?"

Utusan Azerbaijan itu menjawab, Aku adalah utusan Negeri Azerbaijan. Amirku memerintahkan aku membawa hadiah ini untuk Baginda."

Umar ibn Khaththab berkata,"Bukalah bungkusan itu, apa isinya?" Sesudah dibuka ternyata isinya gula-gula.

Utusan itu berkata, Gula-gula ini khusus buatan Azerbaijan."
Umar bertanya lagi, "Apakah semua kaum Muslim mendapat kiriman gula-gula itu?" Utusan itu tertegun sejenak, lalu dia menjawab, "Tidak, Baginda.....gula-gula ini khusus untuk Amirul Mukminin..."

Mendengar perkataan itu, Umar marah sekali. Dia lalu memerintahkan kepada utusan tersebut untuk membawa gula-gula itu ke Masjid, dan membagi-bagikannya kepada fakir miskin kaum Muslim yang ada di sana. Umar berkata dengan nada marah, "Barang itu haram masuk ke perutku, kecuali kalau kaum Muslim memakannya juga. Dan kamu cepat-cepatlah ke negerimu. Beritahukan kepada yang mengutusmu, kalau mengulanginya kembali, akan kupecat dia dari jabatannya!"

Cuplikan kisah di atas memberi pelajaran kepada kita bagaimana seorang pejabat menyikapi gratifikasi atau pemberian hadiah. Umar menganggap pemberian hadiah ini sebagai suatu gratifikasi karena kalau dia bukan seorang khalifah, tak mungkin sang utusan tadi akan memberikan hadiah kepadanya.

Umar telah memberi contoh yang baik bagaimana seorang pejabat melakukan parktik anti korupsi. Moralitas anti korupsi inilah yang saat ini belum dimiliki oleh sebagian besar pejabat di tanah air. Budaya suap, amplop, mark up harga, dan pengeluaran fiktif sudah menjadi rahasia umum praktik birokrasi di tanah air. Inilah yang menjadi embrio terjadinya korupsi berjamaah.

Jujur merupakan kunci untuk mencegah terjadinya praktik korupsi. Bologna dan Lindquist (1995) mengatakan bahwa sejumlah orang jujur untuk setiap saat, sejumlah orang (lebih sedikit orang lebih jujur dari yang lain) adalah tidak jujur setiap saat, sebagian besar orang jujur setiap saat, dan sejumlah orang jujur hampir setiap saat.

Bagi manusia, perkataan jujur merupakan hal yang paling disenangi. Bagi para pejabat pemerintahan, bicara jujur merupakan kalimat kunci untuk dihormati, sedangkan bagi para hakim kejujuran merupakan kunci kesaksian untuk diterima.


Jadi, upaya preventif untuk mencegah korupsi sama pentingnya dengan upaya represif. Meskipun banyak koruptor yang sudah dijebloskan ke penjara oleh KPK, tetapi praktik korupsi ini tetap berjalan. Mengapa ? Karena hal ini sudah terlanjur berurat dan berakar dalam sistem birokrasi kita. Korupsi baru akan berakhir jika ada perubahan karakter dari sistem birokrasi kita. Dari birokrasi koruptif menuju birokrasi yang jujur. Sebagaimana cuplikan kisah di bawah ini.

Pada suatu hari, Khalifah Umar ibn Khaththab menjumpai anaknya yang sedang memegang sekeping uang perunggu. Karena merasa tidak pernah memberi, Umar bertanya, "Darimana kamu peroleh uang itu?".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline