Lihat ke Halaman Asli

Romi Febriyanto Saputro

Pustakawan Ahli Madya Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen

Biarkan Merah Putih Berkibar di Blok Mahakam!

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1431513087586987084

[caption id="attachment_417202" align="aligncenter" width="298" caption="Sumber : lensaindonesia.com"][/caption]

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Demikian pula bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Mengingat Minyak dan Gas Bumi merupakan sumber daya alam strategis takterbarukan yang dikuasai negara dan merupakan komoditas vital yang memegang peranan penting dalam penyediaan bahan baku industri, pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri, dan penghasil devisa negara yang penting, maka pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin agar dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Ironisnya, cita-cita mulia dalam konstitusi resmi negara ini belum menjadi kenyataan. Minyak dan gas bumi (Migas) belum bisa menjadi sarana untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Migas baru bisa menyejahterakan perusahaan asing yang menjadi mitra pemerintah dalam satu ikatan yang disebut dengan kontrak karya.

Kontrak Karya Pertambangan merupakan perjanjian antara Pemerintah dengan pengusaha pertambangan yang menjadi dasar hukum bagi pihak pengusaha untuk melakukan kegiatan-kegiatan pertambangan di Indonesia (Hertanto, 2008).

Dalam naskah Kontrak Karya memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur soal-soal yang mencakup; aspek hukum, teknis, kewajiban dibidang keuangan dan perpajakan, ketenagakerjaan, perlindungan dan pengolahan lingkungan, hak-hak khusus pemerintah, penyelesaian sengketa, pengakhiran kontrak, soal-soal umum (antara lain;promosi kepentingan nasional, pengembangan wilayah) dan ketentuan-ketentuan lain. Semua ketentuan-ketentuan itu diberlakukan selama jangka waktu kontrak (Saleng, 2004).

Kontrak karya sangat merugikan penerimaan negara karena negara hanya memperoleh sebagian kecil dari keuntungan penjualan Migas. Banyak pihak berpendapat bahwa kontrak karya merupakan kolonialisme gaya baru yang bahkan lebih kejam dari kolonialisme konvensional. Mengapa ? Karena menyedot dan menghisap lebih banyak kekayaan bumi pertiwi yang seharusnya digunakan untuk memakmurkan rakyat.

Menurut ahli dari Universitas Gadjah Mada, Revrisond Baswir dalam sidang judicial review UU No 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal terhadap Pasal 27 dan 33 UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi menarik kesimpulan paradigma warisan kolonial masih membayang-bayangi para pengambil kebijakan hingga kini. Menurutnya, kebijakan ekonomi dalam UUPM tidak sejalan dengan landasan ideologis dan latar belakang historis pembentukan Pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 yang menjadi bagian dari konsiderans UUPM justru bersemangat anti kolonialisme, untuk bangkit sendiri secara ekonomi.

Menurutnya, ketentuan mengenai “dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” dalam ketentuan itu berarti negara wajib membuat regulasi yang memihak kepada kemakmuran rakyat dan melindungi kepentingan pemodal dalam negeri.

Tahun 2008, Badan Pemeriksa Keuangan pernah mengamati 11 kontrak karya kerja sama (KKKS) pengelolaan minyak dan gas bumi sebagaimana diberitakan. Vivanews, 16 Oktober 2008. Potensi kerugian negara dalam kontrak karya itu diduga mencapai Rp 18,067 triliun. KKKS itu mekanismenya tidak jelas, kontraknya tidak beres, dan membuat multitafsir. Kajian itu berdasarkan temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan adanya penyimpangan biaya pengangkatan dan produksi minyak yang dilakukan kontraktor asing. Audit terhadap 152 kontrak kerja sama periode 2002-2005 itu berpotensi merugikan negara Rp 18,067 triliun.

Blok Mahakam

Salah satu kontrak karya yang hampir habis masa berlakunya adalah Blok Mahakam. Kompas.com memberitakan bahwa kontrak kerjasama Blok Mahakam yang terletak di Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur itu untuk pertama kali ditandatangani pada 1967. Setelah itu, kontrak diperpanjang pada 1997 untuk jangka waktu 20 tahun dan berakhir pada 2017. Lapangan migas ini memang terlihat masih memiliki daya tarik bagi para investor, bahkan di usianya yang beranjak senja. Terbukti jelang akhir kontrak kerjasama dengan Total, Blok Mahakam menjadi rebutan banyak pihak.

Wajar saja banyak peminat, laba yang diperoleh Total sebagai operator Blok Mahakam pada 2014 lalu saja diperkirakan menyentuh 5 miliar dollar AS, atau setara Rp 65 triliun – asumsi kurs Rp 13.000. Angka ini hampir empat kali lebih besar dibanding laba bersih yang dibukukan Pertamina di tahun sama, yang sebesar 1,57 miliar dollar AS, setara Rp 20,41 triliun.

Menteri ESDM, Sudirman Said dalam beberapa kesempatan menjelaskan, ada dua pilihan untuk setiap kontrak kerjasama yang berakhir, yakni diperpanjang, atau diserahkan ke perusahaan migas nasional. Untuk Blok Mahakam ini, pemerintah mengambil pilihan paska-kontrak berakhir, hak pengelolaan akan diserahkan kepada Pertamina selaku BUMN yang sahamnya masih 100 persen dimiliki negara, sebagai bukti masih adanya nasionalisme.

Untuk itu, pemerintah memiliki skenario transisi di mana Pertamina bisa masuk sebelum kontrak berakhir di 2017. Kendati banyak pihak menyatakan transisi yang dilakukan agak mepet, toh pemerintah yakin transisi bisa diupayakan berjalan mulus. Meski dalam perkembangannya, pemerintah seolah memberikan sikap bersayap.

Demi menjaga produksi, Pertamina dipersilakan menggandeng mitra paska-kontrak berakhir, secara business to business. Asal tahu saja, pada akhir masa kontrak di tahun 2017, Blok Mahakam diperkirakan masih menyisakan cadangan 2P minyak (gabungan cadangan terbukti dan cadangan potensial) dan kondesat sebesar 200 juta barel dan cadangan 2P gas sebanyak 5.5 TCF.

Blok Mahakam mesti dikembalikan kepada rakyat selaku pemegang kedaulatan negara. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Pertama, menyerahkan hak pengelolaan sepenuhnya kepada Pertamina tanpa melibatkan perusahaan asing. Pemerintah sudah saatnya memiliki rasa percaya diri yang tinggi bahwa Pertamina mampu untuk melaksanakan amanah ini untuk mewujudkan kedaulatan Migas. Menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Menurut Komandan Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM) Binsar Effendi Hutabarat (2013), Pertamina adalah National Oil Company (NOC) yang seyogyanya mampu mewujudkan kedaulatan migas. Nasionalisasi migas yang dihasilkan Iran telah membesarkan perusahaan NIOC, yang juga dihasilkan Arab Saudi membesarkan Saudi Aramco. Di Bolivia membesarkan YPFB (Yacimientos Petrolíferos Fiscales Bolivianos), di Ekuador membesarkan Andes Petroleum Ecuador Ltd, di Venezuela membesarkan Petroleos de Venezuela SA (PDVSA), dan di Argentina membesarkan Yacimientos Petroliferos Fiscales (YPF) yang diambilalih dari Repsol Spanyol.

Sekedar perbandingan, bagian NOC terhadap total produksi nasional untuk NOC dari negara negara anggota OPEC, seperti Aramco (Saudi Arabia), NIOC (Iran), KOC (Kuwait), PDVSA (Venezuela) dan QP (Qatar) mencapai lebih dari 90% produksi domestik. Sedangkan NOC dari negara non-OPEC yang menguasai 90% produksi nasional, antara lain Pemex (Meksiko) dan Petrobras (Brazil). LNOC (Libya) dan Sonatrach (Aljazair) menguasai 80% produksi domestik. Petronas (Malaysia), NNPC (Nigeria), ADNOC (UAE) dan CNPC (China) menguasai lebih dari separuh produksi nasional. Bahkan Sonangol (Angola) yang masih terhitung NOC yang muncul belakangan, bagiannya dari total produksi nasionalnya sudah mencapai sekitar 40%. Sementara Pertamina, NOC di Indonesia, tidak lebih dari 25% produksi nasional.

Kedua, pemerintah perlu merevolusi mentalnya sendiri dalam mengelola sumber daya Migas. Dalam bukunya “Can Asians Think ?” , Kishore Mahbubani (2000) menyatakan bahwa orang Asia itu tidak dapat berpikir karena pengaruh kolonialisme. Pengaruh atau dampak yang amat menyakitkan bukanlah pengaruh fisik melainkan pengaruh mental dari kolonialisasi tersebut. Banyak negara di Asia, termasuk beberapa negara di kawasan Asia Tenggara yang menganggap bahwa orang Eropa lebih unggul daripada orang Asia. Inilah dampak yang sampai saat ini sangat melekat di hati orang Asia.

Analisa Kishore Mahbubani di atas sangat tepat jika pisau analisa di arahkan ke Indonesia.Ketika negara-negara lain di Asia berani melaksanakan nasionalisasi Migas pemerintah kita tetap jalan di tempat. Seolah tak ada jalan lain selain memperpanjang kontrak karya. Secara fisik pemerintah kita telah merdeka, tetapi secara mental masih belum merdeka.

Info Indonesia Kita (3 Oktober 2012), mencatat bahwa Arab Saudi menasionalisasi perusahaan minyak AS Aramco di tahun 1974 lewat Raja Faisal. Raja Faisal berhasil mengubah negara Arab Saudi yang di tahun 1970-an miskin, menjadi negara yang sangat makmur sekarang ini. Karena sejak dinasionalisasi, pendapatan minyak meningkat drastis sehingga bisa mendanai pembangunan secara masif.

Hugo Chavez berhasil menasionalisasi perusahaan migas di Venezuela. Meski Exxon menuntut US$ 12 Milyar atas asetnya, namun Lembaga Arbitrase Internasional memutuskan hanya US$ 907 juta yang harus dibayar. Artinya dengan produksi minyak Venezuela sekitar 3 juta bph, dengan harga minyak US$ 100/brl, aset Exxon itu sudah lunas dibayar dengan produksi minyak 10 hari saja.   Evo Morales juga berhasil menasionalisasi perusahaan minyak di Bolivia.

Ada pun Norwegia, meski merupakan negara Liberal, tetap mengelola migas mereka melalui BUMN mereka sehingga 100% hasil migas dinikmati rakyat mereka. Bukan oleh segelintir pengusaha asing/swasta. Tak heran meski baru menemukan minyak di tahun 1970-an, mereka jauh lebih makmur ketimbang Indonesia yang sudah 100 tahun minyaknya dikeruk. Ini karena Norwegia mengeruk minyaknya sendiri. Sedang Indonesia, yang mengeruk 90% adalah perusahaan-perusahaan asing.

Kemakmuran adalah satu kata yang membedakan negara-negara penghasil minyak ini dengan Indonesia. Keberanian mengambil resiko berbuah manis dengan meningkatnya pendapatan Negara dan tentu saja kemakmuran rakyat. Tak ada bahasa subsidi di Kamus Besar Migas di negeri yang berani melaksnakan revolusi mental dengan langkah nyata. Nasionalisasi !

Ketiga, melibatkan daerah dalam mengelola Migas. “Gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak”, peribahasa sangat cocok untuk melukiskan manfaat Migas. Daerah terdekat dengan lokasi pengeboran Migas sering terlupakan alias tidak mendapat manfaat sama sekali dari pengelolaan Migas yang dikuasai oleh perusahaanasing.

Menurut Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek, pengelolaan Blok Mahakam yang sudah berumur hampir 50 tahun oleh korporasi asing belum memberikan kontribusi signifikan bagi rakyat Kaltim. Kaltim memang sudah mampu membangun dunia pendidikan dan kesehatan masyarakat yang terus membaik setiap tahun. Tapi soal infrastruktur, Kaltim  masih sangat kurang. Jalan berlubang di mana-mana dan kami tidak punya dana yang cukup untuk membangun infrastruktur lebih layak.  Ekonomi Kaltim juga tumbuh sangat baik, tetapi pertumbuhannya masih tidak merata ( Antara Kaltim, 25 Maret 2015).

Keterlibatan daerah dalam pengelolaan Blok Mahakam merupakan suatu keniscayaan agar rakyat memperoleh manfaat nyata dari keberadaan Blok Mahakam. Saat ini pemerintah sudah berjanji bahwa daerah akan dilibatkan dalam pengelolaan Blok Mahakam dengan bagi hasil saham 10 persen. Ini memang tak mudah, namun bukan berarti tak bisa.

Keempat, mau mendengarkan suara rakyat. Suara rakyat adalah suara Tuhan tentu tak hanya berlaku ketika pemilu saja. Justru pasca pemilu harus lebih berlaku bagi telinga pemerintah.

Beberapa waktu lalu beredar Petisi Rakyat Untuk Blok Mahakam yang mengajak pemerintah untuk berpihak kepada rakyat dalam mengelola Blok Mahakam. Seruan dari petisi ini layak untuk didengar sebagaimana sikap Bung Karno dalam pengelolaan migas.

Rudi Hartono (2009) dalam sebuah artikel yang berjudul “Cara Bung Karno Mengelola Migas” mengungkapkan bahwa setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, Bung Karno banyak berfikir tentang cara mentransfer kepemilikan kekayaan alam dan perusahaan vital dari tangan asing ketangan rakyat Indonesia. Nasionalisme menjadi sentimen umum rakyat Indonesia setelah merdeka, segera setelah itu, tuntutan nasionalisasi perusahaan milik asing bergolak dimana-mana. Meskipun sudah merdeka, kepemilikan asing terhadap sector pertambangan masih dominan, diperkuat dengan masih berlakunya Mining Law 1899, yang merupakan produk kolonial Belanda (Higgins 1990: 40).

Bung Karno menyadari, ekonomi nasional tidak akan tumbuh jikalau masih dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Belanda dan asing lainnya. Tidak akan ada reorganisasi produksi, tidak akan ada industrialisasi, dan tidak akan ada kemakmuran bagi rakyat jikalau tidak ada kontrol terhadap kekayaan alam, tidak ada perusahaan negara yang mengelolah dan memasarkannya.

Kita tidak anti asing (baca; investasi asing), tetapi investasi asing memiliki logikanya sendiri yang belum tentu sama dengan kepentingan pembangunan ekonomi nasional yang bertumpu pada rakyat. Inilah prinsip ekonomi "berdikari" yang didengundengunkan oleh Bung Karno. Di bawah Bung Karno, kontrol terhadap migas beralih ketangan pemerintah Indonesia, setelah selama ratusan tahun berada dibawah penguasaan penjajah.

Kendati perusahaan asing tetap mendapatkan ijin beroperasi tetapi mereka diwajibkan mengakui kedaulatan bangsa Indonesia terhadap kekayaan migas sampai kepada tempat penjualan (point of sale). Bung Karno selalu mengingatkan, janganlah kita sebagai "A NationAmong Coolie And Coolie Among Nation" (bangsa kuli atau menjadi kuli di tengah bangsabangsa lain).

Bersamaan dengan gelombang anti-imperialisme, beberapa kilang minyak yang pada awalnya berada dibawah kendali Shell, diambil alih oleh putera-putera Indonesia. Tahun 1956, dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 34/1956 yang memutuskan mengambil alih Tambang Minyak Sumatera Utara (TMSU) dari tangan Sheel. Berikutnya, NV. NederlandsIndische Aardolie Maatschappij milik Belanda, diambil alih oleh pemerintah Indonesia, kemudian namanya berubah menjadi PT. PERMINDO (PERMIGAN).

Pada saat itu, ketika pemerintah membentuk tiga buah perusahaan negara (Permina, Pertamin, dan Permigan), ide yang terkandung di belakangnya adalah untuk mengarahkan masing-masing perusahaan pada bidang-bidang khusus dengan harapan dapat mengusai sektor hulu sampai hilir migas. Konsep ini diperkenalkan oleh Chaerul Saleh, Menteri Muda Perindustrian Dasar dan Pertambangan saat itu, bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan negara dari tiga sector pelayanan secara sekaligus, yakni: eksplorasi, transportasi/distribusi, dan penyulingan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline