Aku tak habis pikir ketika mendapat kabar Kementerian Agama mengimbau agar adzan Maghrib yang rutin disiarkan di televisi diganti dengan running text karena ada agenda Misa Akbar yang akan dipimpin oleh Paus Fransiskus, Kamis, 5 September 2024 mulai pukul 17.00 WIB hingga pukul 19.00 WIB. Mungkin kementerian sedang bercanda dengan mengeluarkan himbauan itu.
Sebelumnya, mohon maaf dengan ucapan ku di atas. Bukan untuk merendahkan pemeluk agama lain tetapi aku merasa tergelitik dengan himbauan kementerian itu.
Dengan himbauan itu, jelas Pemerintah ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negeri untuk semua agama. Tapi aku rasa kurang pas saja. Sebaiknya, Kemenag tidak perlu mengumumkan himbauan apapun, karena hanya akan memicu debat kusir yang tak berujung.
Kalian tahu, aku mendapat kabar itu aku sedang duduk di kantin Balai Kota Solo, Rabu (4/9/2024). Saat itu, aku bersama 6 kawan, dua diantaranya adalah non muslim. Obrolan kami siang itu beragam. Salah satunya adalah politik daerah yang sedang panas karena baru saja seorang kader PDIP Solo melaporkan Ketua DPC-nya sendiri ke polisi.
Tiba-tiba sampailah kepada topik himbauan Kementerian Agama soal adzan running text di televisi. Tidak ada perdebatan yang intens saat membahas hal itu. Mungkin karena masing-masing dari kami tahu kalau himbaun itu adalah isu yang sangat sensitif untuk dibahas. Tetapi, kami sepakat bahwa aneh rasanya ketika adzan hanya ditayangkan dengan sebuah running text.
Kami yang ada dalam forum itu telah memang telah terbiasa bahkan sejak usia dini melihat dan mendengarkan adzan maghrib di televisi. Jadi, wajar saja jika saat membayangkan saja rasanya sudah aneh.
Salah satu dari kami sebut saja L menyuarakan pendapat jika seharusnya Pemerintah tidak usah mengeluarkan himbauan adzan running text. Biarkan saja siaran rutin di televisi setiap maghrib itu ditayangkan seperti biasa. Tidak perlu berupaya menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negeri yang toleran.
Menurutnya, dengan Kemenag mengeluarkan himbauan secara tebuka akan menimbulkan keramaian karena akan memunculkan debat kusir di media sosial. Takutnya, debat-debat yang belum pasti terjadi itu justru menunjukkan bahwa negeri ini tidaklah toleran.
Satu temanku lagi bernama Y sepakat dengan itu. Dia justru malah menyoroti jika seharusnya Kemenag itu melarang adzan digunakan untuk kepentingan branding. Salah satunya melarang pihak televisi menayangkan tokoh politik saat tayangan adzan.
Bagus juga ide itu menurutku.
Diskusi kami soal himbauan Kemenag itu pun berhenti.