Lihat ke Halaman Asli

Dona Romdona

Selalu optimis dalam setiap perubahan

Lebaran dan Humanisasi Budaya Nusantara

Diperbarui: 2 Juni 2019   01:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Dalam catatan sejarah Laksamana Ceng Ho melakukan pelayaran untuk berkunjung ke Kerajaan Shingasari dan kerajaan-kerajaan nusantara adalah bagian dari tugas kerajaan.

Pada waktu itu Ceng Ho mendapatkan mandat dari kerajaan untuk melakukan hubungan diplomatik. Kerjasama perdagangan adalah hal yang lumrah karena sumber rempah-rempah pada jaman tersebut masih dikuasai oleh kerajaan-kerajaan nusantara, dan sebagai salah satu produsen terbesar di dunia. Dalam proses pelayaran Laksamana Ceng Ho biasanya mengikutsertakan juru tulis kerajaan.

Tugas juru tulis kerajaan adalah mencatat segala seluk beluk penduduk, kondisi alam dan budaya negeri setempat. Selanjutnya hasil pencatatannya dijadikan sumber ilmu pengetahuan bagi kerajaan china -- dan sampai sekarang masih tersimpan diperpustakaan Negara Thiongkok. Sebagaimana kita ketahui salah satu juru tulis yg terkenal adalah yg bernama *Ma Huan*, juru tulis kerajaan yang beragama muslim.

Ma Huan atas perintah laksamana Ceng Ho, berlayar dan singgah dipantai timur pulau jawa. Ma Huan mencatat kondisi masyarakat nusantara pada waktu itu terbagi menjadi tiga golongan. 

Pertama, keluarga kerajaan yang menganut agama hindu dan budha, dan kebanyakan beraliran Bairawa Tantra. Kedua, golongan masyarakat barat (Arab) dan thionghoa yang keduanya beragama Islam. Dan golongan ketiga adalah masyarakat pribumi yang masih menganut agama lokal, yang disebut agama kapitayan atau disebut juga agama Tauhid Purba.

Dalam catatan Ma Huan ketika mengisahkan kondisi masyarakat lokal, dikisahkan sebagai masyarakat yang masih menganut agama lokal yang berbeda dengan agama-agama yang dianut oleh raja-raja nusantara pada waktu itu.

Kondisi masyarakatnya pun masih kurang berbudaya, tingkat kebersihan yang masih belum terawat dan sangat feodalistik. Kondisi masyarakat pribumi pada waktu itu jarang mandi, tidur di tanah, dan rumah yang tidak memiliki lantai yang bersih. Pada waktu itu masyarakat nusantara sama sekali tidak memiliki hak kepemilikan tanah.

Ketika kerajaan meminta penguasaan tanah maka masyarakat harus rela menyerahkan sebidang tanah dan sawahnya ke kerajaan. Masyarakat yang terbelakang, kotor, dan busana yang hanya menutupi pusar sampai ke lutut adalah gambaran umum masyarakat nusantara pada waktu itu.

Demikianlah catatan Ma Huan tentang kondisi masyarakat pribumi pada waktu itu. Sebuah masyarakat yang masih belum mengenal budaya yang ideal. Masyarakat yang feodalistik, kotor dan tidak memiliki hak kepemilikam atas tanah dan tempat tinggal.

Seiring masuknya agama Islam yang dibawakan para syiar Islam dan para wali. Proses perubahan secara evolutif mulai berubah. Para wali mulai merubah kebiasaan masyarakat pribumi pada waktu itu.

Dalam proses strategi kebudayaan para wali membangun Langgar / mushola. Setiap mushola biasanya para wali menyediakan sumur-sumur, gunanya disamping untuk mensucikan diri dari hadats juga mengajak masyarakat pribumi untuk mandi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline