Liurnya membuncah, menetes tak berkesudahan. Orang-orang berusaha menghindar agar jangan sampai kena cipratannya. Cairan najis bergoyang-goyang sampai akhirnya putus berhamburan, menyenggol apapun yang dilewati, menjijikkan.
"Kenapa berhenti?!"
"Dia mau menyerangku. Liurnya berputar"
"Goblok! Gunakan pentunganmu!
"Sama anjing saja takut, huh!"
"Cegat! Dia lari ke utara!".
Hiruk pikuk membelah kesunyian kampung. Ujung pentungan dipukul-pukulkan pada benda apapun. "Hadang lewat belakang rumah pak Kosin! Cepat!". Puluhan kaki menghentak keras menimbulkan bunyi kekejaman. "Jangan sampai masuk hutan. Kita akan kesulitan".
Binatang yang diincar mengeluarkan dengus padat, bahasa ketakutan terpancar. Manuvernya kepayahan. Ia belum menyerah. Karena kalau sampai terjadi, itu artinya mati. Dibelakangnya, gelembung amarah belum reda.Teriakan-teriakan timbul tenggelam mengejar sasaran. Sorak-sorak intimidasi berkibar berarak menembusi partikel udara. loncatan-loncatannya berakumulasi menghasilkan jarak tempuh yang panjang. Matanya mengunci rerimbun gelap disana. Yang dituju semakin dekat. Lompatan paripurna sukses dilakukan. Jejeran pepohonan berhasil ia gapai.
"Bangsat! Dia berhasil masuk hutan"
Semakin kedalam kerapatan memadat. Harapan lolos tergigit. Dedaunan jalin menjalin membentuk kanopi. Sedikit gelap meujud akibat untaian cahaya terlalu lemah. Berusaha menjauh sampai suara beringas sayup-sayup ditelan kepekatan. Dirasa aman, langkah dipelankan. Berjalan menelusup diantara tonggak pepohonan. Ia memutuskan berhenti tanpa perlu menoleh kebelakang, karena ia yakin para pemburunya menyudahi pengejaran. Lidahnya menjulur panjang, haus. Kelelahan mengikis kekuatan. Ia perlu beberapa tangkup air. Kaki ia selonjorkan dibawah gundukan semak besar. Tiarap, demi mengumpulkan kembali tenaga. Butuh waktu sebelum melanjutkan pergerakan. Decit burung meletup serampangan mendakik diatas kepala. Membumbung diantara ranting-ranting sampai pucuk. Moncong ia letakkan beralas seserak daun. Terkulai. Tiba-tiba insting binatangnya menyala. Tubuhnya diangkat. Rahangnya mengeras telinga tegak membentang. Ada bunyi memantul-mantul. Suara gesekan memberi peringatan akan kedatangan sebuah rombongan. Apakah para bajingan manusia kampung?
"Ngik...ngik...ngik...ngik"
Enam ekor celeng besar muncul diikuti anak-anaknya. Ia amati dari persembunyiannya. Kewaspadaan belum surut. Jika rombongan celeng muncul bisa dipastikan didekat situ ada sumber air.
Seekor celeng paling besar bergerak bersungut-sungut memberi tanda pada kelompoknya agar jangan jauh-jauh darinya. Isyarat itu cukup memberi tahu pada mereka kalau ada sesuatu yang mengamati aktivitas kelompoknya.
"Sepertinya keberadaanku telah diketahui. Lebih baik aku keluar".
Juluran moncongnya membuat para celeng kaget. Ia sadar, reputasinya selama ini telah membuat para celeng marah. Geraman bergelombang keluar dari moncong celeng dewasa. Mereka bersiap melindungi kelompoknya.