"Sin, Tolong pinjemkan uang 500 ribu ke Netty. Bulan depan aku lunasi". Pesan Whatsapp dari Kopat mengguncang kedamaian pagi. "Buat sangu njagong ponakanku ke Pringkuku". Lancang bener si Kopat ini, pikirku. Berani-beraninya ia menyuruhku untuk pinjam uang ke adikku. Sedangkan aku saja tidak pernah sekalipun tebersit nembung pinjam.
"Saya tanyakan dulu. Tapi jangan berharap sangat". Aku tak mau mengganggu kehidupan Netty. Tak elok.
"Adanya 300 ribu. Bagaimana?". Balasan aku kirim hanya berjarak satu hari. Sebenarnya, ini uangku. Tapi seolah-olah dari Netty.
"Ya tidak apa-apa. Pokoknya bulan depan aku lunasi".
Sialan! Padahal harapanku, ia tidak mau kalau tidak utuh 500 ribu.
Janji Kopat tersimpan dalam aplikasi. Screenshot menjadi bukti. Hari berjalan menuju satu bulan pertama seperti yang Kopat janjikan. Aku berharap 300 ribu tergenggam kembali.
Bukan apa-apa, dompetku menggelambir, darurat diisi. Aku kembali berhitung: sehari, dua hari, tiga hari sampai mencapai bulan ke dua. Kopat tidak nampak batang hidungnya. Ada apa dengannya? Ruang harapanku masih luas. Mungkin dia belum sempat saja.
***
Kopat adalah tetanggaku. Dia itu tidak ada istimewanya. Masa kecilnya culun. Kerap menjadi sasaran perundungan. Sengsara jubah kebesaran, duka lara tali pengikat hidupnya. Ketika lulus SMA, aku terputus kabar tentangnya.
Seperti laron beterbangan, kami mengembara ke segala kota demi remahan rupiah. Pulang merantau, aku menetap di rumah warisan orangtua. Hubunganku dengan Kopat terjalin lagi.