Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Aku, Hud Hud, dan MALAIKAT

Diperbarui: 23 Juni 2018   16:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Sebuah pagi menyambutku dengan bersenandung. Hiruk pikuk meretas ditempat aku berdiam. Lalu-lalang kesibukan pagi merupakan repetisi dari masa lalu. Tempat aku bersama kerabatku ini merupakan kediaman baru. Sebelumnya kami bertempat tidak jauh dari sini, kampung sebelah. Tempatnya nyaman, bersih, sejuk. Dikarenakan leluhurku beranak pinak dan sangat subur maka kami pindah. Dulu, menurut cerita, beberapa kerabat sering berserakan disembarang tempat. Keadaanlah yang bercerita. Penuh sesak beraroma pengap. Kami bersyukur akhirnya Allah swt melimpahi anugerah.

Depan tempat tinggalku alun-alun. Ditengahnya ada pohon beringin kembar besar dengan dedaunan yang rindang. Pagar besi mengitari bak benteng pertahanan. Masyarakat menyebutnya beringin kurung. Rendezvous sering nampak. Beberapa manusia menjadikannya tempat bersantai.

Pagi atau sore alun-alun ramai. Tingkah polah manusia riuh rendah berjumpalitan. Aku memandangi setiap gambarannya.

"Kyai, makanannya sudah siap". Kalimat ini menari ditelingaku bila ransum disodorkan. Keluar dari mulut pengasuhku. Aku perennial vegetarian. Apa yang terhidang ku sikat lahap. Aku tidak pilih-pilih. Masih beruntung bisa makan. Diluar lingkaran, banyak yang tidak seberuntung seperti kami. Kerap kali keluh kesah tetangga beterbangan menyatroni. Aku hanya bisa meringis diterjang tangisan anak-anak mereka bergulat dengan perih diperut. Hatiku sebenarnya seperih perut mereka. Tapi apa daya? Ransum ini sebatas untukku.

"Makhluk yang selalu beruntung dan diistimewakan".

Aku kaget. Ada suara tanpa bentuk. Mulutku berhenti mengunyah. Oh, ternyata....

"Aku Hud-hud"

Itu ucapnya ketika kali pertama mengenalkan diri. Sudah hampir setahun ia mengagendakan silaturahim kepadaku. Kami menjadi akrab. Hubungan mutualis ini sebuah takdir Illahi.  

Hud-hud, burung berbulu putih dengan sapuan coklat dibeberapa lekuk bulunya. Kemunculannya transeden, hadir tiba-tiba laksana asap tembakau terbakar. Tahu-tahu hinggap dipunggungku tanpa aku rasakan gigitan kukunya.

Dari paruh lancip-sering membuat buyar kerumunan kutu dibadanku-keluar kilatan-kilatan cerita berkelindan: Hud-hud sudah tidak bertuan lagi dibumi. Sebelumnya-setelah bertahun-tahun-mengabdi pada baginda Sulaiman. Setiap datang ia membawa serumpun kisah. Namun sayang, jangan harap ceritanya panjang. Sepertinya episode-episode diatur olehnya. Ia telah mengembara menembus tabir-tabir zaman. Kepak sayapnya membelah sejarah, meruap tragedi, membekap pencerahan terjalin jadi satu cerita menarik. Hud-hud ibarat lembar-lembar inskripsi. Otakku dijejali ayat-ayat pribadi.

"Manusia dari jaman baginda Sulaiman hingga sekarang hakikatnya sama. Sejarah mereka dikucuri fragmen-fragmen konspirasi ambisi".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline