Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Rotan Berkerut Kalut

Diperbarui: 21 Juni 2018   09:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi (pixabay.com)

Sloki berjalan searah jarum jam. Mirip pion dalam permainan monopoli. Diisi cairan sengat lalu diteguk dan diisi lagi. Siapa yang ketiban untung bila cairan didalamnya melompat kemulut. Permainan atas ide pak tua yang datang ke penginapan ini menjadi pembuka relasi mendalam terhadap lima anak muda yang nongkrong di gardu penjaga.

Laki-laki tua berkerut ngarai menyinggahi kota ini tepat bersamaan dengan bulan purnama bulat sempurna bersinar menyebar agung. Meramu basa-basi menawarkan selubung pengusir dingin berbentuk oplosan cairan menengah. Mencoba memainkan peran digelap malam.

Lewat mulutnya keluar sepenggal narasi tentang maksud kedatangannya dikota ini. Andalas ia tinggalkan melompati selat sunda. Ribuan jangkar sempurna dijejaki. Hiruk pikuk pelabuhan, getar dingin diudara fajar, sengatan surya, infrastruktur jalan dengan limpahan lubang, razia aparatur di lekukan siang hingga hantaman keletihan memamungkasi keperkasaan raga.

Ditengah permainan, kamu berpetuah tentang hitam-putihnya dunia, jingga kelabu nasib anak manusia, menyitir ayat-ayat Tuhan, mencoba memasukkan ideologi kontradiktif. Disela cairan neraka yang kamu obral, ocehanmu bertabur batu apung. Beberapa negeri dibelahan dunia telah kau singgahi. Uzbekistan salah satu tempat singgahmu. Negeri asia tengah itu kau sebut asal muasal batik. 

Wah, kamu mencoba membodohi lima anak muda itu.  Ketika satu diantara mereka-gagal kau bujuk ikut permainan gilamu-menyerangmu dengan pisau pertanggungjawaban, kau berkelit. 

Argumen yang ia minta tak kau sodorkan. Kau memaksa mengalihkan pembicaraan masalah Uzbekistan.  Terdesak ditubir malu. Beruntung anak muda waras itu menyudahi mengejarmu. Ia harus menghormati tamu yang menginap. Jangan sampai membuat tamu manapun malu dan tak datang kali kedua.

Digardu penjaga itu kau berlagak seperti pertapa. Lontar-lontar ilmu digelontorkan, termasuk ajaran suci kitab suci. Bahkan ayat-ayat setan kau dedah sebagai taburan intermezo.

Jalanmu pincang. Tertatih seperti pengantin sunat. Masih dengan pongahnya, cikal bakal pincangmu hasil kecelakaan tunggal. Seperti sebuah kebanggaan, Mount Elisabeth-Singapura kau pamerkan mampu memulihkan otakmu yang gagal merespon angin segar dunia yang menyapa. Kau koma, rohmu menari-nari. Seluruh rumah sakit di republik ini angkat tangan mengurus masalahmu.

Takdir hidupmu masih cerah. Izroil mengurungkan sabetan beliungnya karena Tuhan begitu sayang padamu.

"Beruntung keluarga saya kaya. Kalau tidak mungkin saya mati", ujarnya sambil meneguk oplosan tengik. Tawa berderai melingkupi gardu berbentuk kotak sama sisi.

Kalau diikuti semua omongannya, Pak tua ini macam petaka yang dijatuhkan bomber B-29 di Hiroshima-Nagasaki. Cerita  spektakuler kau kupas, kau hidangkan sebagai penegas bahwa kamu manusia bersenjata multitalenta. Tanya jawab antara kau dengan lima anak muda membuat kau terhenyak. Kau tidak menyangka bahwa latar belakang ke limanya beragam. Salah satunya berprofesi sebagai penulis. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline