Lihat ke Halaman Asli

Penyeru dari Suku Bayang

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bersenjata sitar kian terbang tanpa kepalang. Kumal perwujudan nyata. Wadagnya mengandung arsenik. Bila didekati orang-orang dijamin kelabakan. Menusuk lubang-lubang hidung, menghantam pilar sumbu otak.

Belantara kota ini bagian ritual tetap. Penampakan jangan diharap. Mereka laksana halimun. Sesal kedatangan bagi pemegang hegemoni. Syairnya  sederhana bagai pribadi Semar.

Kenapa harus mengiyakan jika sebuah anjuran bertentangan dengan jalan Tuhan?/ Kenapa harus tertawa lebar bila gurauan penuh satire raskal?/ Kenapa selalu manut jika pemimpinnya pendek akal?/ Kenapa harus?/ Dan kenapa harus? bila hatimu mengingatkan: "Kenapa harus?"

Siang merupakan bekal. Kakinya besi hingga mampu menempuh perjalanan ribuan jangkar.

Dari sebuah lembah dibentang gunung, didasari perhitungan kuno, mereka bergerak menyebar menjelajahi tanah Tuhan. Tidak ada batasan. Mereka anak-anak bumi dengan bapak matahari. Birokrasi perjalanan tidak menyentuh akal pikiran. Pembungkus badan berasal dari daun-daun yang dipintal. Kaki tanpa alas. "Ibu akan marah jika kaki beralas". Nirpelajaran yang membolehkan mereka menyakiti sesama.

Suku bayang julukan yang mereka terima dari manusia sistem kota. Di arena berjubel kepala, sitar pasti berbunyi dan mendominasi. Sebuah kekuatan dahsyat mereduksi bunyi-bunyi lain. Tersihir temporer, syair percik kesedihan mengapung disaat negeri singgahnya kuyub permasalahan.

Banyak kasih diputar/ Menghujam benak perempuan baya/ Dibandara ia menyemarakkan langkah/ Dua kali menatah bukit marjan/ Berkirim hasil pertarungan/ Banyak kasih diputar/ Menghujam benak perempuan baya/ Semenanjung Arab sungguh genit/  Perayu para peminat/ Mengumbar tawa bersandiwara/ Perempuan baya bergeming kuat/ Sudah tidak ada kasih baginya/ Perempuan baya terluKa tergolek lemah/ Masuk arena pertarungan dikandang serigala/ Perempuan baya merana/ Gigitan serigala gurun mematikan harga diri/ Ia meradang, serigala dibanting disikat habis/ Mata sepi diadili otoritas tanpa pendamping/ Ia masuk obituari ditebas ketidakadilan.

Seruan suku bayang lebat menghujam. Gendang telinga bergetar, membran hati teriris. Syairnya mendengung lebah menghantam bilik-bilik kekuasaan.

Penguasa!/ Seruput kopimu pagi ini merupakan seruput pahit seorang gembel yang kami temui didepan istana/ Apa agenda hari ini untuk perbaikan yang lebih baik buat tanah warisan?

Semakin matahari bersinar suku bayang diam dalam jalan. Berhenti kala intuisi mengisyaratkan untuk bermain. Angin mengiringi setiap langkah menembus belantara pekat buana.

"Kelompok ini harus diawasi. Mereka teroris, kata-katanya merupakan bom waktu. Menganjurkan perubahan radikal bahkan cenderung provokatif. Kita sudah berubah! Rakyat juga tahu. Kita ini pejabat birokrat. Ada sistem yang mengatur. Tidak sembarangan seperti gumpalan sampah ciliwung"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline