Sudah tujuh puluh tujuh tahun hak berpendapat setiap orang dijamin oleh negara sebagaimana juga tertuang dalam pasal 28 E ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945.
Tetapi bagaimana menguji efektifitas pasal tersebut di tengah masifnya perkembangan teknologi dan gelombang bonus demografi yang menciptakan mayoritas warga negara di dominasi usia 16-24 tahun?
Apakah harus membandingkan data orang-orang yang di tangkap karena melanggar rambu-rambu berpedapat yang tetuang dalam peraturan turunan seperti Undang-Undang ITE?
Berpendapat dijelaskan sebagai buah pikir seorang individu yang di bangun melalui fakta, pengalaman, wawasan, ataupun respons atas norma-norma umum yang tumbuh dan berkembang sebelumnya.
Pemikiran yang dalam, panjang, dan luas tentunya akan menciptakan opini yang kuat pula, sehingga tak jarang hasil pemikiran itu dijadikan sebuah kebenaran bagi sebuah kelompok atau organisasi bahkan dianggap menjadi masalah baru dalam tatanan kehidupan sosial.
Masifnya perkembangan teknologi dan di dukung dengan mayoritas penduduk dengan usia produktif, menjadikan jagat dunia maya sebagai tempat paling nyaman dan mudah untuk menyampaikan pendapatnya tanpa harus bertemu langsung.
Saking berpengaruhnya, sejak beberapa tahun kebelakang pendapat publik di ranah dunia maya sampai dijadikan indikator pertimbangan utama bagi pemerintahan sebelum melakukan perubahan atas kebijakan tertentu.
Lalu, apakah dengan begitu, sebuah pendapat yang lahir dari pemikiran kritis selalu menjadi ancaman bagi nilai-nilai sosial dan budaya yang sudah tumbuh sebelumnya?
Tabu Vs Free Thinker
Indonesia memang menjamin hak dalam berpendapat setiap warga negaranya, namun berpikir adalah kebebasan manusia sebagai mahluk sosial.