Lihat ke Halaman Asli

Rio Rio

Hehehe

Hore! Ahok di Bawa ke Rutan

Diperbarui: 9 Mei 2017   21:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: POOL / KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO)

Hore! teriak seorang warga mampang prapatan sehabis melihat vonis hakim terhadap Ahok hari ini 9 Mei 2017.  Sebagaimana yang diketahui bahwa Ahok telah di vonis 2 tahun penjara terhadap kasus penistaan agama yang dialaminya dan langsung digirin ke Rutan Cipinang pada hari yang sama.

Apa yang mendasari hakim melarikan Ahok ke Rutan (Rumah Tahanan Negara) Cipinang di Jakarta Utara, dan bukannya langsung memasukan Ahok ke Lapas (Lembaga Permasyarakatan). Rutan mempunyai pengertian dan fungsi  yang berbeda dengan dengan Lapas sebagaimana dikutip dalam artikel Perbedaan dan Persamaan Rutan dan Lapas.  Dalam artikel dijelaskan bahwa Rutan berfungsi sebagai tindakan preventif agar tersangka/terdakwa tidak tidak melarikan diri maupun menghilangkan barang bukti sebelum putusan pengadilan dianggap inkrah atau Sah, sedangkan Rutan bertujuan sebagai lembaga pembinaan Narapidana dan anak didik Permasyarakatan.

Pengertian tersebut nampaknya juga mendasari vonis hakim yang melihat bahwa pentingnya Pasal 21 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana (KUHP) yang meyatakan bahwa: 

Perintah penahanan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dilakukan dalam hal:

  1. adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri,
  2. adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan merusak atau menghilangkan barang bukti
  3. adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan mengulangi tindak pidana.

Dengan mengacu pada Pasal di atas, berarti terdapat kemungkinan bahwa dalam proses pengadilan yang sudah dilakukan 20 kali lebih, hakim telah mendapatkan bukti-bukti yang cukup untuk menjatuhkan vonis terhadap Ahok. Tetapi dilain sisi, pengadilan tetap menerima saksi yang dihadirkan  Jaksa Penuntut Umum (JPU) walaupun para saksi tersebut sebenarnya tidak melihat kejadian secara langsung, melainkan hanya melihat pernyatan Ahok melalui video elektronik yang sudah banyak tersebar. 

Kondisi saksi seperti ini, seharusnya tidak dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan sebuah vonis, karena bertentang pada Pasal 1 Angka 26 KUHAP yang menegaskan bahwa sanksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan terhadap suatu perkara pidana yang ia dengar, lihat, dan ia alami sendiri. Namun semenjak adanya putusan Mahkamah Konstitusi  Nomor 65 /PUU-VIII/2010 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Argument saksi yang tidak melihat kejadian langsung tetap dapat diterima di pengadilan walaupun secara prinsip hal ini tetap tidak dapat diterima sebagai alat bukti.

Selain itu, jika vonis hakim mengacu pada pasal 21 Ayat 1 tersebut, apa yang menjadi parameter utama untuk mengukur kekhawatiran tersangka melarikan diri, merusak barang bukti, bahkan mengulangi tindak pidana. Hal ini sebenarnya dapat dengan mudah dilihat dari  proses persidangan yang dilakukan lebih dari 20 kali. Jika dalam masa proses persidangan tersebut tersangka tidak koperatif dalam memberikan keterangan ataupun sering tidak hadir dalam sidang, maka wajar saja Pasal 21 Ayat 1 KUHP dapat menjadi pertimbangan dalam vonis hakim.

 Jika dilihat dari sudut pandang diluar pengadilan, status ahok sebagai seorang gubernur seharusnya juga dapat mematahakan alasan dalam pasal 21 Ayat 1 KUHP tersebut. Karena seorang abdi negara mempunyai alasan yang kuat untuk tetap berada di Negaranya sampai program kerja dapat diselesaikan. Dan mohon diingat bahwa kasus ini bukan merupakan kasus mega korupsi yang membuka kesempatan tersangka-nya untuk melakukan money laundring ke luar negeri.

"Demi keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa" merupakan kalimat pertama yang kita lihat dalam setiap salinan putusan pengadilan. Dengan janji antara Hakim dan Sang Pencipta itu, maka kita harus tetap menghormati setiap keputusan yang di ambil oleh hakim, walaupun mempunyai banyak sudut pandang yang berbeda. Toh putusan ini juga belum inkrah dan masih ada kesempatan untuk mencari keadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline