Kebudayaan jepang menjadi bahasan yang sangat menarik antara saya dan rekan kerja yang berkewarganegaraan Jepang. Kami membahas bagaimana Jepang menghargai kehidupan sebagai seorang manusia tanpa melepaskan budaya tradisionalnya. Ia mengatakan bahwa menghargai kehidupan dilakukan dengan cara menghargai orang lain, maka tidak heran di Jepang berlaku “Ojigi” (Tadisi Membungkuk-kan badan) dengan kemieingan yang berbeda-beda.
Salah satu hal yang menarik adalah ketika rekan kerja tersebut menjelaskan pengertian ojigi dengan kemiringan badan kurang lebih 40 derajat. Ojigi dengan model ini dapat mengekspresikan permintaan maaf yang sangat mendalam seseorang terhadap kesalahan yang dilakukannya. Lalu saya terpikir dengan konsep Hara-kiri (bunuh diri) yang didefiniskan sebagai permintaan maaf atas kesalahan besar yang sudah dilakukan seseorang yang sangat terkenal sejak perang Dunia ke-II.
Obrolan tersebut merubah topic pembicaraan yang menyinggung Aokigahara atau suicide forest sebagai ikon Negara Jepang yang unik karena terkenal sebagai lokasi bunuh diri. Orbrolan mengenai Aokigahara cukup singkat karena waktu bekerja telah dimulai kembali, tetapi apa yang saya petik dari obrolan itu adalah perbedaan yang sangat mendasar antara Hara-kiri dan bunuh diri dihutan Aokigahara.
JIka mencari di google dengan kata kunci Aokigahara dan memilih gambar, kita akan mengerti apa yang ditemukan dalam hutan kelam tersebut. Mengutip dari Wikipedia, Aokigahara merupakan hutan yang terletak di bawah kaki gunung Fuji yang disebut juga “Hutan Lautan Pohon”. Hutan ini benar-benar gelap terlebih karena lebatnya pohon-pohon hijau yang subur, selain itu tanahnya juga mengandung batuan Vulkanik yang sulit ditembus dengan peralatan biasan seperti sekop.
Negara maju seperti Jepang, memang tidak memiliki interaksi sosial yang sangat aktif seperti di Indonesia. Di Jepang, kehidupan sosial terkesan lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan orang lain selain keluarga. Sehingga jika seseorang mengalami masalah yang sangat besar, mereka cenderung menutup diri dan meratapi kesalahan yang mereka buat, tanpa mau berbagi dengan sesamanya, hal inilah menyebabkan depresi yang berkepanjangan yang menuntut penyelesaian instan bagi masalah yang sedang dihadapi seseorang. Menurut laporan japantimes.com pada tahun 2009 seorang penulis jepang, Azusa Hayano setidaknya menemukan 100 mayat dan berbicara dengan 300 orang yang berencana mengakhiri hidupnya di Aokigahara. Hal ini, mengindikasikan bahwa masih banyak warga jepang yang menginkan bunuh diri sebagai jalan penyelesaian masalah.
Untuk mengurangi tingkat bunuh diri di Aokigahara, warga dan polisi setempat memasang tanda peringatan yang bertuliskan kata-kata bijak tentang berharganya kehidupan seorang manusia. Peringatan ini merupakan cara preventif yang dapat mengubah pola pikir orang yang datang ke Aokigahara untuk mengakhiri hidupnya, dan terbukti efektif untuk mengurangi angka bunuh diri di hutan ini.
Dari penjelasan rekan kerja dan ditelusurinya informasi mengenai Aokigahara, ada perbedaan yang mendasar yang didapatkan. Hara-kiri mempunyai konsep yang lebih dalam dalam mengartikan bunuh diri dengan melakukan langsung didepan orang atau khalayak umum, Hara-Kiri juga tidak selamnya identik dengan bunuh diri, tetapi juga dilakukan dengan meotong bagian tubuh tertentu sebagai bentuk penyesalan (contoh: jempol tangan). Sedangkan peristiwa bunuh diri yang terjadi di Aokigahara sebagian besar dilakukan karena tingkat depresi yang sangat tinggi karena tuntutan dan tekana kehidupan di jaman modern.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H