Masalah belajar merupakan sebuah masalah klasik yang bergulir ibarat bola salju, semakin hari semakin kompleks. Kini para orangtua, sekolah, guru dan para siswa mulai merasakan adanya permasalahan yang semakin kompleks soal pembelajaran dan hasil belajar.
Banyak orangtua mengalami kesulitan menangani problem belajar putra-putrinya. Menghadapi situasi ini, sebagian orangtua bersikap pasif dan menyerah, ada pula sebagian yang mau menangani persoalan anak-anaknya, bahkan sebagian kecil orangtua sampai bersikap keras dan represif.
Sikap terakhir ini justru menambah rumitnya persoalan belajar anak-anak sekolah. Meskipun demikian umumnya orang tua bersikap pasrah dan menyerahkan persoalan belajar kepada pihak sekolah.
Berbeda ddengan orangtua, pihak sekolah dan para guru justru berhadapan langsung dengan siswa sehingga lebih mengenali dalam dan luasnya permasalahan belajar yang dialami para siswa di sekolah.
Prestasi yang rendah, banyak siswa yang tidak mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM), motivasi belajar yang rendah, situasi kelas yang kurang bergairah atau terlalu gaduh menjadi pemandangan sehari-hari bagi para guru.
Berhadapan dengan situasi belajar siswa seperti ini, para guru biasanya berusaha untuk mencari berbagai solusi untuk mengatasi persoalan siswa. Namun hasil yang didapatkan biasanya masih belum optimal, atau pun tercapai, hanya bersifat sementara. Kondisi ini, bila berlangsung secara terus-menerus, justru menambah rumitnya permasalahan belajar.
Berhadapan dengan situasi belajar siswa yang penuh problematik ini, meskipun belum menemukan solusi yang paling efektif dan efisien, orang tua dan guru tetap menuntut agar siswa harus belajar untuk mencapai prestasi yang lebih baik.
Di mata orangtua dan sekolah, belajar merupakan sebuah tuntutan mutlak yang harus dilakukan siswa, meskipun permasalahan yang dialami siswa tak kunjung tuntas teratasi.
Berbeda dengan sudut pandang orangtua dan sekolah, termasuk para guru, para siswa melihat belajar sebagai sebuah beban yang harus dihindari. Kalau pihak guru dan orangtua mengharuskan siswa untuk belajar supaya meraih prestasi belajar yang tinggi, atau sekurang-kurangnya nilai rapor mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), para siswa justru cenderung berusaha menghindari belajar.
Di satu pihak, anak-anak sekolah ingin berhasil, mendapatkan nilai yang baik, prestasi belajar yang membanggakan orangtua dan guru, namun di lain pihak, mereka enggan dan bosan untuk belajar. Di sinilah terasa adanya paradoks persoalan belajar.
Belajar merupakan cara atau jalan mencapai hasil belajar yang memuaskan dan memiliki fondasi pengetahuan dan keterampilan yang kokoh untuk keberhasilan di masa depan, hal yang dikehendaki oleh orangtua dan guru dan disadari oleh siswa, namun cara atau jalan itu menjadi sesuatu yang menakutkan atau mencemaskan bagi para siswa pada umumnya.