Lihat ke Halaman Asli

Penolakan Kedua

Diperbarui: 18 November 2016   09:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi baru saja merona dalam pelukan hari, mentari meninggi dan suara burung semakin jauh. Aku mengemas sepi yang sempat berantakan, kini kutata lagi menjadi semakin tinggi dan semakin padat. Hati yang begitu rapuh melepas genggaman untuk terjun dan terjatuh, semakin dalam semakin meremukkan tubuh. Sepi ini tak sekejap pun dapat terjamah, kala bahagia mengembang dan menguning ketika itulah sepi memberontak. Mengajak diri untuk tetap ketakutan kepadanya, dan berupaya mempertahankan suka cita dengan berbagai cara.

Sepi mengajariku bahwa dialog tak perlu kata, sepi mengajarkanku bahwa lagu tak melulu soal nada, sepi mengajariku mengisyaratkan tanpa perlu menyebut tanda. Hanya perlu diam, melihat kedalam, dan tenggelam, meredam sesuatu yang sukar padam, dan kemudian menghapus masa kelam perlahan-lahan. Dan engkau salah satunya.

Kau adalah cinta yang pernah membuat aku melamunkan harapan, kau adalah cinta yang tak perlu kupertanyakan “Mengapa harus engkau yang aku cinta?”. Kau adalah seseorang yang membuat aku mencinta tanpa tahu selanjutnya apa. Segalanya berjalan bagai tanpa karena. Rindu itu pernah menjadi magis yang menyelundupkan warasku dikedalaman matamu. Mengusik laku jiwa yang berusaha tak menolehmu lagi. Kau kah itu? segumpal awan yang nampak padat namun rapuh kala disentuh.

Kau cinta yang pernah membuat aku patah dan merindu di waktu yang sama, membuat aku bersedih dan bahagia pada saat yang sama. Dan akan kuberitahu bahwa sajak ini adalah sisa kemarahan yang telah padam. Sajak yang membuka kembali nganga kecil nan perih, nganga didalam hati yang kusembuhkan bertahun-tahun dan butuh bertahun-tahun pula untuk melupakan bahwasanya aku pernah terluka.

Kini kehadiranmu membawa harap yang dulu ku pinta, mengisi belanga sepi dan menyelipkannya di jantung hati. Membuat sekejap tawaku merekah, menitipkan rindu yang sempat tenggelam dalam rona wajah yang merah padam. Kau menyanjungku, mengisyaratkan sepertiga niatanmu kemudian memperjelas segalanya. Kau ingin kembali. Saat pintu hatiku tak ada lagi untukmu. Membawamu kembali kedalam hidupku adalah kata lain dari menyelami kesedihan lama, mengenang lagi kebodohan usang, untuk kucecap lagi getirnya. Kukatakan, aku menolak. Engkau adalah kata tanya yang telah selesai terjawab, telah menjadi rumus berulang yang selalu kugenggam inti sarinya. Jadi kita tak perlu lagi melewati satu jalan yang sama dengan langkah yang sama untuk menuju ke tempat yang sama pula.

Kini engkau menjauh, meninggalkan aku tanpa bekas lagi. Kutanyakan padamu “Bisakah kita tetap menjadi teman biasa?” kau menjawab “Iya” tapi kutahu matamu tak pernah berkata begitu. Sejak awal kita diperkenalkan lewat satu harapan yang kita kenal sebagai cinta dan kasih. Kita tidak saling mengenal dalam atmosfir karib sejawat. Sehingga itulah mengapa kau tak pernah jadi teman. Begitupun aku dimatamu. Cerita kita hanya berkisar pada aku mengenalmu, aku menyukaimu, kemudian aku tidak mengerti kamu, dan cukup sampai disitu.

Dan kau tahu? Hanya ada dua akhir dari kita berdua, yang kumaksut adalah akhir yang tak melulu soal selesai. Dua akhir itu adalah yang pertama kita bertemu diatas pelaminan sebagai sepasang mempelai, atau yang kedua kita bertemu diatas pelaminan sebagai pengantin dan tetamu. Dan kuharap kita berdua berada dipilihan yang kedua. Karena menikahimu sama saja dengan menikahi kesedihan lama, kebodohan usang, dan getir yang sudah-sudah.[]

Salatiga, 17/11/2016




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline