Tepat di hari Kamis, tanggal 8 September 2022 sebanyak 1,3 juta buah pulpen palsu bermerek Standardpen dengan estimasi nilai ekonomi sebesar Rp2 Miliar, dimusnahkan! Jumlah ini merupakan gabungan dari hasil penegahan yang dilakukan otoritas Bea Cukai di wilayah pabean dan penindakan yang dilakukan Kepolisian di pegudangan Muara Karang serta kasus-kasus lain pada tingkat pedagang.
Berbicara mengenai isu pemalsuan ini memang seolah sepi peminat meski sebenarnya tidak kalah “hebat” dampaknya ketimbang isu mafia hukum. Pasalnya dari data yang dirilis oleh Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP), sebuah asosiasi yang beranggotakan beberapa perusahaan besar dari berbagai sektor usaha, menunjukan bahwa nilai kerugian yang ditimbulkan dari pemalsuan Hak Kekayan Intelektual (HKI) mengalami peningkatan ekstrem. Dalam hasil penelitiannya yang berjudul “Economic Impacts of Counterfeiting and Piracy in Indonesia”, potensi yang hilang (potential loss) terhadap pekonomian Indonesia disinyalir mencapai Rp291 triliun sepanjang periode 2015-2020. Angka ini terbilang fantastis dari periode sebelumnya sebesar Rp65,1 triliun (2010-2015) dan Rp43,2triliun (2005-2010).
Data ini semakin relevan jika dihubungkan dengan laporan tahunan (annual report) yang dipublikasikan oleh Kamar Dagang Amerika Serikat melalui Special 301 Report dimana Indonesia terus bertengger pada status Priority Watch List atau Watch List yang menandakan kondisi perlindungan HKI di negara kita masih mengkhawatirkan (jika tak ingin dibilang buruk).
Apa yang dilakukan oleh PT. Standardpen Industries dengan memusnahkan jutaan pulpen palsu di atas sebenarnya adalah buntut dari merebaknya barang-barang palsu yang masuk melalui wilayah pabean di Indonesia. Publik masih bisa diingatkan dengan rekam jejak pemberitaan terkait temuan pejabat Bea Cukai pada tahun 2019 terhadap 858.240 buah ballpoint palsu dengan merek Standardpen di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Bahkan peristiwa yang sama terulang pada tahun 2021 dimana sebanyak 288.000 buah ballpoint palsu dengan merek yang sama kembali ditemukan di wilayah pabean. Berdasarkan hasil penelusuran, terkonfirmasi bahwa barang-barang palsu itu berasal dari “negeri tirai bambu”.
Lantas, apakah temuan pulpen palsu dengan merek Standarpen di wilayah pabean ini hanya kebetulan semata atau hasil kerjasama antara pemilik merek dengan otoritas berwenang?
Mengenal Sistem Rekordasi
Sistem rekordasi (perekaman) HKI pertama kali diperkenalkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pengendalian Impor atau Ekspor Barang Yang Diduga Merupakan Atau Berasal Dari Hasil Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual. Pada bagian Penjelasan PP ini disebutkan bahwa mekanisme rekordasi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sama sekali tidak menggantikan mekanisme pendaftaran HKI di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). Sistem ini sudah digunakan oleh beberapa negara untuk mempermudah otoritas Bea Cukai (customs) dalam melakukan profiling dan targeting yang lebih efektif terhadap barang-barang dugaan hasil pelanggaran HKI di wilayah pabean.
Dari data terakhir, baru terdapat 24 HKI yang terekam di DJBC dan akan terus bertambah. Tentunya secara kuantitas, angka ini masih jauh dari jumlah pendaftaran HKI di DJKI yang setiap tahun mencapai belasan hingga puluhan ribu permohonan. Namun secara kualitas, boleh jadi sistem rekordasi membantu pemilik HKI dapat mengetahui sejak dini adanya dugaan pelanggaran melalui notifikasi (pemberitahuan) dari petugas Bea Cukai.
Menariknya, permohonan rekordasi juga dibebaskan dari biaya apapun dan berlaku paling lama 1 (satu) tahun serta dapat diperpanjang. Output dari sistem rekordasi ini mempermudah otoritas Bea Cukai untuk menjalankan kewenangannya dalam bentuk “Penegahan Barang” (penegahan) yaitu tindakan administrasi untuk menunda pengeluaran, pemuatan, dan pengangkutan barang impor atau ekspor sampai dipenuhinya kewajiban pabean dan “Penangguhan Sementara” (penangguhan) yaitu penundaan untuk sementara waktu terhadap pengeluaran barang impor atau ekspor dari Kawasan Pabean yang diduga merupakan atau berasal hasil pelanggaran HKI.
Proses penangguhan yang dilakukan selama jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak penetapan oleh pengadilan setempat harus memiliki kepastian hukum melalui makanisme pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik terhadap barang yang diduga hasil pelanggaran HKI ini dilakukan oleh pejabat Bea Cukai dengan melibatkan pengadilan setempat dan DJKI disamping pemilik HKI dan importir/eksportir/pemilik barang yang ditangguhkan. Apabila terbukti diduga kuat adanya pelanggaran, maka hal ini menjadi dasar bagi pemilik HKI untuk melakukan tindakan hukum baik secara pidana melalui laporan pengaduan kepada Penyidik pada Kepolisian atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) pada DJKI, maupun secara perdata melalui gugatan dan/atau permohonan sita jaminan.
Efek Jera Pemusnahan