Dulu ketika SMP, teman saya pernah dicap genit hanya karena banyak pria yang menyukainya, entah genit darimananya. Nah, saat itu saya mulai meyakini perihal "beauty is pain" kemudian bersyukur.
Di jalanan, banyak lelaki nongkrong yang sering bersuit-suit ketika ada wanita cantik lewatーyang pasti bukan saya. Menurut teman-teman, lelaki begitulah yang disebut sebagai jemaat lelaki genit pengganggu wanita. Lelaki mata keranjang yang tidak menghargai wanita dan merasa dirinya makhluk terkeren. Begitu kira-kira.
Sejauh petualangan kesana-kemari, saya juga sering berjumpa dengan spesies "genit" (mereka adalah hiburan tersendiri bagi saya). Mereka memiliki jaringan yang luas, pengikutnya ada dimana-mana.Mereka ada di kelas, bus, terminal, kampus, pasar, dan hampir semua tempat termasuk diri sendiri. Saya juga sempat berpikir bahwa jangan-jangan saya ini genit.
Masih banyak hal-hal berkaitan dengan genit yang tidak saya ceritakan karena terlalu panjang, pasti njenengan akan bosan. Intinya, dari sekian banyak "pengalaman" genit, saya belum pernah menemukan hal yang segenit UU ITE. Lebih genit dari mas-mas di pinggir jalan. Lebih genit dari mbak-mbak itu.
UU ITE telah melenceng dari tujuan dasarnya. Semula UU ITE dibuat untuk melindungi masyarakat dari kejahatan dunia maya, baik aksi hacker, penipuan online, e-commerce palsu. Tapi sekarang malah kasus yang memperalat UU ITE itu kebanyakan hal remeh temeh terkait pencemaran nama baik. Seperti kasus Prita Mulyasari dan Hakim Sarpin misalnya. Dengan genitnya, UU ITE main colek sana-sini.
Kata Pak Megi Margiyono, Ketua Indonesia Online Advocacy, “Problemnya menerjemahkan kata informasi. Orang ahli hukum dan DPR itu nggak tahu. Sebenarnya informasi itu lex informatika. Ini undang-undang tentang informatika dan komputer, bukan undang-undang tentang pengetahuan informasi. Kalau kita belajar cyber law, itu hukum komputer. DPR mengartikan informasi itu berita, sehingga nggak nyambung antara informasi dan transaksi elektronik. Ini klusternya saja sudah beda,”. Intinya ya salah sambung, salah konteks, salah kaprah.
Saya bukan pakar hukum, tapi sependek pengetahuan saya, delik pencemaran nama baik ini adalah delik karet. Delik yang sangat lentur yang bisa orang gunakan untuk membabak-beluri lawan. Delik pencemaran nama baik adalah senjata paling ampuh untuk menelanjangi mereka yang dianggap "tak sejalan" atau "membahayakan" . Pada masa penjajahan Belanda, delik ini dipergunakan untuk mengkriminalkan para pihak yang berseberangan dengan pemerintah kolonial. Sementara pada masa "jaman Orba sing jere penak", dipergunakan untuk memenjarakan lawan-lawan politik. Ndak beda jauh dengan pasal penghinaan presiden.
Saya tiba-tiba gatel pengen nulis ini setelah mengetahui bahwa kegenitan UU ITE juga merambah dunia sastra. Dengan manjanya, dunia yang sarat akan keberagaman linguistik dibungkam karena keberagaman linguistik itu sendiri oleh UU ITE. Bahasa sastra yang memang berbeda dengan bahasa hukum, politik, dan ekonomi, dipecundangi keberadaannya. Kalau boleh saya bilang, ini sungguh asem.
Saut Situmorang sekarang dijadikan tersangka. Penyebabnya hanya karena Pak Saut lebih jujur dan lebih berani daripada penggiat serta pecinta sastra lainnya. Beliau menuliskan "Jangan berdamai dengan bajingan" ketika berdebat tentang layak tidaknya seseorang dijadikan tokoh sastra PALING berpengaruh di buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Buku ini menimbulkan kegundahan di dunia sastra nasional karena nama Denny JA yang selama ini lebih dikenal sebagai konsultan politik masuk jajaran 33 sastrawan besar Indonesia antara lain Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Buya Hamka dan WS Rendra.
Mengutip tulisan Pak Yohanes Sehandi, pengamat sastra, yang dimuat di harian Flores Pos (Ende) 14 April 2015, beliau menuliskan "Dunia sastra adalah dunia dalam kata-kata yang sarat muatan relativitas-relativitas. Sastra berusaha menjaga idealisme, menjaga keseimbangan kutub-kutub ekstrim yang berseberangan. Dunia dalam kata-kata membuat segala yang ekstrim menjadi relatif."
Kata “bajingan” dalam karya sastra, juga dalam perdebatan sastra, adalah bagian dari gaya bahasa atau majas yang memang sesekali digunakan. Ketika masuk Fakultas Ilmu Budaya, saya juga sempat ndak nyaman dengan gaya mas-mbaknya. Rasa ingin motong rambut gondrong mas-mas senior itu ada. Rasa ingin merapikan gaya berpenampilan mereka juga ada. Rasa ingin nyelonong buat merebut rokok yang ngebul itu apalagi, ADA. Tapi setelah ospek, kebebalan saya akhirnya sedikit lumer menerima fakta bahwa semua itu adalah hal biasa di tempat ini, bagian dari budaya dan kebebasan berekspresi. Yang pasti, mas-mbak ini tahu benar mana yang bermoral mana yang tidak. Mereka tidak senakal yang saya pikir (sebagian bahkan sangat cerdas dan agamis), namanya juga budayawan dan seniman, jadi ya selow.