Beberapa hari yang lalu, sebelum diserang habis-habisan oleh kelompok radikal beranggotakan pilek, batuk, asma, demam, dan sariawan, saya mendapat pelajaran yang begitu berharga. Berharga dan cuma-cuma. Saya ndak perlu merogoh kocek dalam-dalam seperti ketika membeli buku spiritualis nan inspiratif dan menggugah batin. Ndak perlu membayar tiket dan makan siang seperti saat hendak mengikuti seminar motivasi nan mengoyak hati dan membakar semangat itu. Cuma berbekal uang lima ribu rupiah bersama keponakan yang aduhai cerdasnya, saya pergi ke pasar. Tujuan utama hanya ingin membeli sedikit sayur untuk sop, atas perintah Kanjeng Mbak saya. Dikurangi seribu buat parkir, empat ribu cukuplah untuk membeli sayur itu, lha wong cuma butuh sedikit kol (biasanya dibonusi seledri), daun bawang, dan tauge. Masih ada kembali 500 malah. Heuheu. Akhirnya saya menemukan juga alasan lain mengapa simbah memutuskan untuk menjadi vegetarian yang kaffah.
Sebelumnya, saya dan ponakan sudah membuat perjanjian bahwa dia ndak akan minta apa-apa, deal. Tapi apadaya, saya di-PHP olehnya, dia mengingkari janjinya, oh. Saya menyalahkan pejabat atas hal klise ini, ada kemungkinan bahwa yang dilakukan ponakan saya adalah representasi atas rasa mual dan muak karena janji-janji panjenengan. Hihi, guyon, Pak, Bu. Salah saya juga yang lupa bahwa ponakan saya masih kanak-kanak, belum paham benar apa itu janji, apalagi di tengah godaan mainan yang seabrek sana-sini. Maklum, hari itu pas hari pasarannya pasar itu, Pasar Pahing. Di hari biasa, pedagang tidak akan membludak, penjual mainan juga tidak ada. Hari itu, bertepatan Pahing, hendak tahun ajaran baru jadi banyak yang beli buku baru, sepatu baru dan rautan baru, bertepatan pula dengan momen seusai lebaran, hari yang tepat bagi adik-adik untuk menghabiskan sangu. Salah dino, pasar sedang cantik-cantiknya, eh, maksud saya ramai-ramainya.
Di tempat yang sangat riuh, ponakan saya sadar akan kewajibannya untuk memperiuh, kayak media-media begituan pokoknya. Dia merengek minta mainan, menunjuk-nunjuk ke arah penjual mainan, wajahnya sudah nampak mendung, mulai muncul gluduk dan petir juga. Sebelum hujan deras yang menjadi senjata andalannya keluar, saya beritahu bahwa uangnya ndak cukup. Ora mempan, gluduk makin dahsyat. Saya tawarkan untuk pulang dulu buat ngambil uang, makin gelap, petir menggelegar, "Ngapusi!" katanya. Heleh, ngapusi jere, yang ada kau yang ngapusi, Nduk. Haha. Akhirnya hujan juga, masih gerimis sih, karena seorang mbah penjual roti mampu menghentikannya. Mbahe bilang, "Wis dang miliho kono, ngko piro tak bayari disik, Dik. Rapopo kok."
Terenyuh, hati saya bergetar. Alhamdulillah masih ada orang tulus dan berhatinurani di tengah pengapnya dunia ini. Dalam dugaan, saya menebak bahwa Mbahe memandang ponakan saya seolah cucunya. Mungkin beliau teringat akan kenakalan cucunya atau bahkan masa kecil anaknya. Atau justru karena kasihan sama saya yang sedang ndak berduit. Entahlah, namanya juga dugaan, jadi yo banyak kemungkinan. Tapi yang jelas, Mbahe adalah sosok yang ndak menganut standar ganda kayak mereka. Mbahe mungkin juga ndak tahu apa itu individualisme, materialisme, politik, dan tren-tren kekinian. Mbahe hanya ngikut apa kata hati nurani, miturut empati. Sejatinya, Mbahe menunjukkan pada saya tentang arti kesejatian.
Lalu, ponakan saya memilah-milah, mana fakta mana provokasi, eh, maksudnya mana mainan yang gambarnya menarik mana yang seru. Awalnya, dia memaksa dibelikan semacam laptop-laptopan, kalau didudul keyboardnya bakal terdengar nyanyian-nyanyian anak yang ceria ria, menyenangkan, mahal pula. Kemudian saya alihkan pandangannya ke gitar cilik, cuma 10ribu, tapi ditolak. Akhirnya terpilihlah sebuah sepur-sepuran (kereta mainan). Ponakan saya sebenarnya ndak tahu mainan macam apa yang dia ambil, yang penting gambarnya Elsa Frozen saja. Kayak media begituan leh, ndak peduli fakta atau bukan, yang penting sensasional bin kontroversial.
Selain media dan tokoh begituan, beberapa penjual mainan adalah juga oportunis sejati. Sudah saya usahakan menawar harga yang masih agak mahal, tapi nihil. Saya ndak bisa melancarkan strategi jitu pura-pura pergi dan berharap dipanggil kembali, "Yowis, segitu gapapa". Anak-anak ndak bisa diajak kompromi, belum paham strategi konsumen. Ponakan saya hampir nangis malahan. Ya mau ndak mau ya kudu beli. Begitulah, penjual mainan paham betul psikologis anak-anak "beliin sekarang atau nangis nih!".
Belum sempat beli sayur-mayur, saya mengantar ponakan manis tadi pulang dulu, sekalian ngambil uang buat ngganti uang Mbahe tadi. Dalam perjalanan menuju parkiran, saya menasihati ponakan agar ndak kayak gitu lagi nantinya. Bukannya mengangguk takzim, dia malah ndoprok alias duduk lesehan dengan sesenggukan. Katanya saya nakal. Haha, ketika dewasa nanti, kau pasti akan lebih mengerti definisi nakal. Jadilah tindakan protes ponakan saya itu menghalangi jalan pasar. Jalannya memang cukup sempit kalau Pahing. Pasar sudah cukup panas, tapi hati saya lagi-lagi terhenyak melihat banyak orang ternyata menanti dengan sabar di belakang kami. Mereka ndak protes dan ndak nggriseni (basa Indonesianya apa ya). Tapi ponakan masih ndak mau berdiri sekalipun pengakuan nakal sudah saya lontarkan. Untung ada bapak-bapak yang sedang mendorong troli mengatakan "Jalannya, Dik!". Ponakan bangun dengan sendirinya, hihi, ndak konsisten. Seusai memohon maaf dan berterimakasih, kami pulang. Sungguh, tindakan mereka tadi seperti oase di padang pasir. Mau-maunya mereka berdiri bergerombol dalam kepanasan hanya karena kami yang ndak mereka kenal. Batin dan akal jelas telah mengalahkan nafsu dan emosi dalam diri mereka. Alhamdulillah, masih ada manusia-manusia yang sadar akan kemanusiaannya. Hati nurani benar-benar berfungsi. Manusia dalam celah kecil bangsa yang ndak pernah koar-koar tentang humanisme ini jelas ndak pernah tersentuh oleh LSM-LSM itu. Heuheuheu.
Sesampai di rumah, segera saya mengambil uang lalu beranjak ke pasar lagi, ponakan saya tinggal di rumah saja. Parkir lagi, tapi kali ini ndak mbayar. Kalau di hari yang sama dan bolak-balik pasar, kita hanya perlu membayar parkir sekali saja, biasanya sih begitu. Setelah mengembalikan uang Mbah e, saya memikirkan betapa Mbahe begitu percaya pada saya. Bisa saja saya ndak kembali ke pasar dan pasti uangnya raib. Bisa saja saya adalah penipu kebanyakan yang memanfaatkan simpati orang pada anak. Bisa saja saya sebenarnya adalah bagian dari elit-elit uhuk yang sudah mengalami krisis kepercayaan dari rakyat. Bisa saja kan. Zaman sekarang banyak yang begitu. Entah apa yang ada dihatimu, njenengan super, Mbah.
Memenuhi tujuan utama, saya membeli sayur-mayur. Udara sudah cukup panas dan uang di tangan tinggal sekian ribu, saya memilih langsung pulang. Menuju parkiran, baru sadar bahwa tangan saya hanya menggenggam kunci motor dan plastik berisi sayuran. Uang saya hilang, pffth. Jadilah saya ngubengi pasar lagi. Menelusuri jalan-jalan yang pernah kita lalui, bersama mentari yang berseri hi hi hi. Tetap belum ketemu. Yowis saya ikhlaskan kau. Sampai di sini kisah kita, selamat jalan, Wang.
Tapi takdir berkata lain, kita bisa apa? Jodoh pasti ndak kemana, sekalipun sudah kurelakan kau di tangan yang lain, kau tetap kembali. Seorang ibu memanggil, "Mbak, nyari uangnya ya? Ini lho, tadi jatuh waktu Mbak jalan." Lagi dan lagi, hati saya mak nyes dibuatnya. Senyum tulus ibuk e dan kejujurannya itu lho, menyejukkan. Kejujuran yang sudah hampir punah akhirnya bersemi kembali, terima kasih.
Dunia ini, termasuk Indonesia, butuh orang-orang seperti mereka. Kita yang telah kehilangan getar ketika melihat tetesan embun perlu digrujuk dengan siraman kebaikan. Masyarakat kita yang bergegas di pagi hari dan beristirahat di malam hari perlu disentak dengan kebaikan nurani yang nyata. Masyarakat kita yang bertransformasi menjadi masyarakat kota yang sibuk hingga mulai kehilangan nurani dan nalar, perlu disadarkan. Tidak massif dan terstruktur memang, tapi yang pasti, hati adalah bagian paling berperan dalam karakter manusia. Jika ingin mengubah, sentuhlah tepat di hatinya, kalau bisa ya jangan cuma lewat buku dan seminar, hehe. Karena biasanya gregetnya cuma sementara, lalu hilang lagi dari diri. Tidak membekas.