Lihat ke Halaman Asli

Roman Rendusara

TERVERIFIKASI

Memaknai yang Tercecer

Soal Waduk Lambo di Nagekeo, Terungkap Penggelembungan Luas Lahan Terdampak

Diperbarui: 9 November 2021   23:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Persekutuan masyarakat adat Labolewa ingin menyampaikan aspirasi. Foto: Dokumen Suku

Alih-alih memasuki tahap awal pelaksanaan pembangunan waduk Lambo di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT), justru dihadapkan persoalan yang semakin sulit seperti merentangkan benang kusut. Terungkap Pemda Nagekeo menggelembungkan luas lahan terdampak pembangunan danau buatan tersebut.

Fakta ini terungkap dalam Musyawarah Penetapan Bentuk Ganti Kerugian, pada 8 November 2021. Musyawarah ini bertempat di Aula Hotel Pepita, Mbay, Nagekeo. Berdasarkan surat undangan, acara ini mendapat tembusan berbagai pihak, termasuk Kepala Kantor BPN Prov. NTT, Kepala Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II di Kupang, dan Pimpinan KJPP DAZ di Jakarta.

Bapak Bupati Nagekeo. Foto: Dokumen Suku

Pada musyawarah itu, Persekutuan Masyarakat Adat (PMA) Labolewa menyampaikan beberapa aspirasi. Pertama, mendukung pembangunan waduk Lambo sebagai Program Strategis Nasional.

Kedua, PMA meminta pertanggungjawaban Bupati Nagekeo terkait luas genangan waduk yang tidak sesuai dengan usulan Pemda Nagekeo di bawah kepemimpinan Bupati Elias Djo (periode sebelumnya) seluas 431 ha, namun berubah menjadi 706 ha.

Ketiga, PMA mendesak Bupati agar hak-hak masyarakat adat dipenuhi sesuai dengan peruntukannya. Keempat, meminta kepada BPN/Ketua Pengadaan Tanah agar bekerja secara profesional, transparan, dan jujur terkait dengan pendataan hak-hak ulayat dan tidak sedang membangun konspirasi dengan pejabat, dan atau pihak manapun, serta segera menindaklanjuti pengajuan keberatan nominal bidang tanah yang telah diajukan masyarakat adat.

Dokumen usulan luas lahan terdampak pembangunan waduk Lambo di era Bupati Elias Djo. Foto: Dokumen Suku

Kelima, PMA bersedia melakukan sumpah adat di atas tanah ulayat yang diklaim oleh pihak manapun, dan selama hak-hak masyarakat adat belum dipenuhi, maka aktivitas apapun tidak boleh dilakukan karena hingga saat ini belum ada penyerahan ulayat kepada negara.

Selanjutnya, PMA menilai, agenda musyawarah ini adalah bentuk pemaksaan terhadap proses, sebab hak-hak ulayat belum didatakan/diperbaiki sesuai keberatan. Hal ini, kata PMA, sangat mengangkangi prinsip partisipatif dan tidak menghargai kearifan lokal. PMA berharap, pemerintah tidak boleh menggunakan pendekatan kekerasan terhadap masyarakat adat.

Klemens Lae, tokoh muda Nagekeo mengatakan, melalui surat tertanggal 3 Agustus 2015 usulan Pemda Nagekeo kepada Menteri PUPR mencantumkan luas lahan yang disiapkan adalah 431,92 ha, namun kemudian digelembungkan menjadi 706 ha, tanpa kesepakatan masyarakat adat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline