Lihat ke Halaman Asli

Roman Rendusara

TERVERIFIKASI

Memaknai yang Tercecer

"Merayakan" Bencana

Diperbarui: 30 April 2021   12:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di NTT beberapa waktu lalu. Foto: DetikNews.

Hanya ada tiga penyebab kematian manusia: peperangan, penyakit, dan bencana. Dan, akhir-akhir ini, bencana datang saling berganti. Entah karena murni alam atau kelalaian manusiawi. Tidak sedikit nyawa menjadi korban dan hilang. Kehilangan harta-benda pun tak terhitung lagi nilainya.

Perasaan kemanusiaan kita tergugah, tanpa sekat ruang dan waktu. Dunia maya adalah rumah duka bersama. Tagar "Pray for..." menggema. Ucapan "selamat jalan" saling bersua. Ungkapan "turut berduka" diudar.

Puisi-puisi pun tercipta, dengan lirik-lirik penuh lirih. Mengajak hati seakan meluruh. Doa, dari berbagai agama ditulis dengan berbagai bentuk, pada status atau komentar.  Jika, memang sedang malas ketik, cukup dengan 'RIP'.

Pihak berwenang datang menyapa, untuk bertemu muka dengan keluarga yang berduka. Penghiburan, yang pertama dilakukan. Selanjutnya, menawarkan solusi, bantuan, dan jaminan hidup di hari-hari mendatang.

Sementara, di ruang maya dan pojok-pojok lampu merah diadakan penggalangan dana. Bencana menguatkan solidaritas. Kita bersetia kawan dengan sesama yang kehilangan sanak saudara. Seribu-dua ribu kita kumpulkan untuk membangun rumah yang hancur. Sehelai pakaian dibagikan untuk sesama yang kehilangan sandang.

Lalu, pihak berwenang membuat agenda. Tak lupa dengan mengajak keluarga. Mulai dari penaburan karangan bunga di lokasi bencana-di laut atau di darat. Diiringi doa yang dipanjatkan dalam munajat-munajat keheningan duka.

Pihak berwenang mengajak masyarakat melakukan upacara tolak bala sesuai adat dan budaya setempat. Jika ketersediaan anggaran, dibangunlah semacam tugu/monumen peringatan, di atas lahan kuburan massal. Atau, jika terjadi di laut, dibuatkan museum khusus. Di situ, ditulis: sebagai kenangan akan bencana ini dan itu.

Begitulah kita "merayakan" bencana. Saya memberikan tanda petik dua pada kata "merayakan". Sebab, acapkali digunakan pada momen kegembiraan. Kematian akibat bencana bukanlah saat bertawa-ria.

Tapi, saya memaksakan kata ini dipakai dalam tulisan ini untuk menggambarkan, bahwa dalam setiap kejadian hidup, baik itu yang membawa suka cita maupun duka cita, entah yang menggembirakan atau menyedihkan, kita pun (secara sadar/tidak) sedang merayakan setiap peristiwa kehidupan.

Selalu ada berkat dalam setiap kejadian. Dalam konteks bencana, kita sedang merayakan empat makna. Pertama, bencana selalu merekatkan kohesi sosial. Sinergisitas sebagai bangsa ditingkatkan. Gotong royong semakin diwujudkan. Ini tak terbantahkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline