Lihat ke Halaman Asli

Roman Rendusara

TERVERIFIKASI

Memaknai yang Tercecer

Miris, Alat Berat Terbatas di Daerah Rawan Bencana

Diperbarui: 6 April 2021   18:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Korban banjir bandang di Adonara. Foto via BBC News Indonesia

Hati siapa tidak teriris pilu, melihat bencana menerpa wilayah NTT. Angin kencang disertai hujan sangat lebat, tanah longsor dan banjir bandang meremukan asa kehidupan masyarakat yang baru saja merayakan Paskah Kebangkitan Tuhan. Harapan seakan tertekuk seketika.

Tidak ada yang tahu, malam itu (3/4/2021), material tanah bercampur batu menyapu Desa Nelelamadiken, di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur. Material itu berasal dari Gunung Ile Boleng. Sebanyak 1.200 warga harus mengungsi di tenda-tenda darurat. Hingga Senin (5/4), 43 orang ditemukan meninggal dunia, dan 14 orang masih dalam proses pencarian.

Bersamaan dengan itu, duka pun merundung Desa Waiburak dan Kelurahan Waiwerang. Kali yang membelah dua kampung itu meluap. Ia menghanyutkan wilayah tersebut. Penduduk keduanya berjumlah 2.500 orang dan 9.000 orang. Waiwerang adalah ibukota Kecamatan Adonara Timur. Di Pulau Adonara, wilayah ini sebagai daerah berpemukiman padat penduduk dan berhadapan langsung dengan pesisir pantai.

Di Kabupaten Lembata, hujan dengan intensitas tinggi tercurah. Akibatnya banjir bandang menghantam Desa Waowala, Desa Tanjung Batu, dan Desa Amakaka yang berada di Kecamatan Ile Ape. Selain itu banjir bandang juga berdampak pada Desa Jontona, Desa Lamawolo, dan Desa Waimatan yang berada di Kecamatan Ile Ape Timur. BNPB NTT melaporkan, sebanyak 11 orang ditemukan meninggal dunia. Enam belas orang masih dalam proses pencarian.

Di Pusat Jakarta, wakil rakyak asal NTT masih sibuk mendesak status kebencanaan yang melanda bumi Flobamorata (Flores, Sumba, Timor, Alor, Lembata). Mereka mendorong, pemerintah pusat turun tangan. Bila perlu ditetapkan sebagai bencana nasional. Biar bisa mengikuti jejak bencana yang terjadi di daerah lain di Tanah Air.

Namun, apalah arti sebuah status kebencanaan. Pemda mestinya lebih tahu dengan keadaan, topografi dan wilayah pemukiman warganya. Padahal sejak 2 April 2021, BMKG sudah mendeteksi adanya bibit siklon tropis 99S yang mulai terbentuk di Laut Sawu, dalam wilayah NTT. Mungkin warga yang mayoritas beragama Katolik sedang mempersiapkan Paskah. Bisa jadi, Pemda lupa mengingatkan kepada warganya.

Hati siapa tidak miris, proses evakuasi dan pencarian korban dilakukan secara manual. Mengagali dengan peralatan seadaanya; skop, pacul dan linggis. Lalu, terlihat mengorek-korek tanah menggunakan tangan. Sungguh, sedih. Jauh berbeda dengan proses pencarian korban bencana di daerah lain, yang kita lihat di layar kaca.

Bayangkan, seperti kata Bupati Flores Timur via Metro TV semalam (5/4), di daerah bencana hanya terdapat dua alat berat. Itu pun milik swasta. Di musim hujan dan apalagi di daerah rawan bencana, alat berat sangat terbatas, belum disediakan Pemda. Tersedianya alat berat, jenis ekskavator dan loader, misalnya, dapat membantu proses pencarian korban, membuka jalan yang tertutup longsor dan pohon tumbang, serta mempercepat distribusi bantuan ke wilayah yang terisolasi.

Mari semua basodara. Bukan untuk saling mempersalahkan. Kita turut meringankan beban korban dengan cara kita masing-masing. Namun, ini menjadi pelajaran mahasempurna, bahwa waspada bencana mesti dimiliki setiap warga.

Sederhananya begini, sudah banyak warga NTT yang memiliki handphone berbasis android. Jangan hanya untuk gaya-gayaan. Instal aplikasi Info BMKG. Itu penting, agar kita mengetahui dan mematuhi imbauan BMKG.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline