Lihat ke Halaman Asli

Roman Rendusara

TERVERIFIKASI

Memaknai yang Tercecer

Di NTT Angka "Stunting" Masih Tertinggi, Sanitasi Kian Terabai

Diperbarui: 17 Maret 2021   11:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar Ilustrasi. Foto: Roman Rendusara

Ibarat mempertahankan sabuk juara, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menyumbang angka "stunting" (kurang gizi kronis) tertinggi secara nasional. Pada 2017, NTT sebagai provinsi dengan prevalensi "stunting" tertinggi. Tingkat keparahannya mencapai 40,3 persen (Data: KoranSINDO, 8/2/2021). Hal ini disumbang oleh tiga Kabupaten sebagai daerah dengan prevalensi tertinggi, yakni Timor Tengah Selatan (TTS) sebesar 53,3 persen, Manggarai 50,3 persen dan Sabu Raijua 48,8 persen.

Berhadapan dengan data di atas, maka sejak dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur NTT pada 2018, pasangan Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) dan Josef Nai Soi (JNS) langsung tancap gas. Paket Viktory-Joss engan dipermalukan di kancah nasional, oleh sebab tingkat "stunting" yang tinggi.

Dengan mengusung jargon "pembawa perubahan", VBL mendorong masyarakat untuk membudidayakan tanaman kelor. Nama Latinnya, moringa oleifera. Biasa dikenal dengan marongge. Menurutnya, kandungan gizi dalam daun kelor lebih tinggi dari susu. VBL percaya, tanaman kelor sebagai solusi, agar NTT keluar dari Propinsi dengan "stunting" tertinggi.

VBL pun menekan Gereja supaya ikut berpartisipasi dalam gerakan menanam kelor ini. Konkretnya, mewajibkan pasangan akan menikah untuk menanamnya di pekarangan, sebagai salah satu syarat menikah.

Bahkan dengan gaya khasnya, VBL memerintahkan Dinas terkait agar menanam kelor. Kepada kepala Dinas Pertanian, misalnya, VBL menegur keras, "kalau tidak bisa dipanen kelornya, maka kamu istrahat saja".

Bukan hanya berkata-kata, VBL dan JNS menanam anakan kelor di Desa Oelnasi, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang pada 17 Desember 2018. VBL pun mengajak kaum ibu dan perempuan harus memakan daun kelor, agar mencegah "stunting", dan menambah asupan gizi anak, sejak dari dalam rahim.

Pemerintah awalnya berbesar hati melihat tren penurunan "stunting" secara nasional. Dari 29,6 persen (2017), 30,8 persen (2018) menjadi 27,67 persen (2019). Namun Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Rapat Terbatas terkait Percepatan Penurunan "Stunting"  pada 5 Agustus 2020 masih menyoroti sepuluh Propinsi dengan tingkat prevalensi "stunting" tertinggi. Meskipun tren menurun, NTT tidak terpaut jauh dengan angka nasional, yakni 27,9 (2019) dan menjadi 27,5 persen (Agustus 2020). Bahkan Kabupaten Sumba Barat Daya bertengger lebih tinggi dari angka nasional, sebesar 30,1 persen.

Sampai di sini, di mana Gerakan Menanam Kelor? Sejatinya, "stunting"  bukan hanya masalah tanam dan makan kelor. Ia adalah masalah pola asuh, pola makan dan air bersih (sanitasi).

Pertama, masalah pola asuh. Orangtua memegang peran penting. Budaya patriarki turut berpengaruh. Urusan anak masih di bahu sang ibu semata. Sementara pekerjaan rumah lain banyak dirangkap sang ibu seperti berkebun, berladang, memberi makan ternak, pikul kayu api, ambil air dari kali dan memasak. Multi peran ini membuat pola asuh anak belum dijaga. Sang anak makan terlambat itu biasa. Anak makan seadanya itu lumrah terjadi, yang penting kenyang.

Kedua, masalah pola makan.  Sebagai orang tua, saya kadang kesulitan ketika merengek-rengek meminta permen ketimbang susu. Anak lebih sering makan makanan ringan dari toko daripada makan sayur. Saya bersyukur anak saya sudah semakin suka kuah marongge.

Saya amat merindukan ibu-ibu mengidam kuah marongge, di campur telur rebus, ditambah sedikit daging. Ketimbang lebih bahagia makan bakso sambil pamer di dunia maya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline