Lihat ke Halaman Asli

Roman Rendusara

TERVERIFIKASI

Memaknai yang Tercecer

Cerdas Berinvestasi Menuju Insan Bermartabat

Diperbarui: 27 Agustus 2020   07:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Sumber: woccu.org

Kemarin, Kamis (6/8), saya mengikuti webinar yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga keuangan berplat merah-di bawah naungan BUMN, dengan topik 'Merdeka financial, di Era New Normal'. Barangkali sekaligus memaknai HUT Kemerdekaan RI ke-75, sekiranya anak-anak bangsa juga merdeka secara finansial. Terdengar elegan namun sulit juga mewujudkan, terutama saya sendiri.

Inti dari webinar begini, dalam hidup ini kita mesti berinvestasi. Investasi memiliki tiga tipe. Pertama, investasi diri. Investasi jenis ini sangat berkaitan dengan hobi. Kuliah dan mengikuti webinar adalah salah satu investasi diri. Misal lainnya, membaca buku, atau traveling. Saya sering menyebutnya dengan 'menghadiahkan diri' untuk hal-hal yang membahagiakan bagi diri sendiri, dan membawa berkat bagi orang lain.

Saya hobi membaca buku. Saya berusaha agar setiap bulan dari pendapatan, saya sisihkan untuk membeli satu buku, tentu yang saya suka. Saya bahagia bukan main, mendapat buku baru. Dan di saat yang sama saya membawa berkat bagi orang lain. Penulis buku tahu apa yang menjadi haknya setelah bukunya diterbitkan. Beginilah arti menghadiahkan diri bagi saya.

Investasi pribadi yang cerdas itu belajar yang rajin. Kuliah sampai selesai. Mengisi waktu luang dengan membaca dan kurangi menggosip.

Kedua, investasi relasi. Kita membutuhkan sesama yang lain. Seacuh-acuhnya, saya membutuhkan orang lain. Misalnya, saya membutuhkan dokter/perawat saat sakit, saya membutuhkan tim, agar pekerjaan-pekerjaan bisa terselesaikan dengan baik. 

Saya membutuhkan teman dan sahabat, agar bisa berbagi cerita-cerita hidup yang inspiratif. Dan saya membutuhkan seorang pasangan hidup untuk membagi cinta yang sejati.

Orang seusia saya sering berkisah, untuk mendapatkan pekerjaan zaman-zaman itu, ijazah tidak penting, yang paling penting adalah relasi. Makanya, perbanyak relasi, agar bisa terkoneksi dengan orang-orang lebih hebat, lebih kaya dan lebih berpengaruh pada 'kekuasaan-kekuasaan' tertentu. Entah hingga sekarang ini, saya belum menggali lebih jauh hipotesis itu.

Hemat saya, investasi relasi bukan hanya untuk politisi, untuk meraup suara pada pemilihan kepala daerah, tapi untuk semua orang, sebab setiap orang adalah sesama bagi yang lain. Sesama adalah sahabat. Dan sahabat itu seperti bra, kata Mencius (372-289 SM)-seorang filsuf China, 'dekat di hatimu, dan selalu ada untuk memberi dukungan'.

Investasi relasi yang cerdas adalah membangun relasi tanpa syarat, bergaul tanpa iming-iming, bertamu bukan untuk dijamu, memilih sahabat yang saling mendukung. Termasuk mempunyai pasangan hidup yang saling setia.

Ketiga, investasi aset. Ini terdengar tampan, tapi sulit dilakukan. Sebelum menginvestasi aset, perlu mengetahui berapa aset kita, baik aset netto maupun bruto. Ini yang saya bilang agak sulit. Minimal, dalam keluarga ada buku kas harian. Catat pengeluaran dan pemasukan. 

Selanjutnya, adakah keluarga kita memiliki neraca keuangan keluarga, beserta arus kasnya? Gelar saya sarjana ekonomi. Mata kuliah akuntansi termasuk di dalamnya. Malu dengan diri kalau saya tidak mengaplikasikan ilmu itu dalam hidup saya, bukankah saya dulu sudah bersusah-susah kuliah dan 'setengah mati' membiayainya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline