Cerpen Roman Rendusara
Pagi ini, kau begitu keruh. Muka luruh. Rambut dibiarkan panjang tak terurus. Jambang menjalar seenak arah, dengan jenggot seperti akar beringin. Berpakaian kusut hingga tak terlihat warna dasarnya. Sepatu hitam Castello disemir lumpur, ditinggal mengering. Nampak jelas tanpa kaus kaki. Mungkin ini penampilan tergantengmu ketika masuk Kota Bajawa, sebagai guru muda, yang mengabdi di kampung terisolir, Malafai.
Banyak orang-orang yang melintas, melirik dan memandangmu lirih. Kau jalan menggonta, tak pusing peduli. Kau pasti bergundah dalam hati; enak kamu di Kota, tak becek, tak ada lecek. Musim hujan aman. Jalan aspal mulus. Dengan sepeda motor saja beberapa menit sudah tiba di kantor.
Tak sedikit pula kagum. Penampilan adalah ketak-putusasaanmu. Luruh mukamu adalah guratan perjuangan. Rambut, jambang dan jenggot yang tak terurus mengisahkan kau jauh dari silet dan alat cukur. Sahabat terbaikmu adalah alam dengan segala perilakunya. Kau pernah ‘kasih’ cerita; hujan dan lumpur tak membuatmu surut, panas terik tak menjadikanmu lari, mencerdaskan generasi adalah spirit terdalammu.
“Om guru, Om guru ada mau beli hp apa?” sapa seorang gadis remaja, pelayan yang ramah saat kau masuk ke toko jual handphone itu.
“Tidak le, saya mau isi pulsa saja”, kau jawab sambil mengeluarkan hp senter, dari saku celana itu.
Gadis pelayan toko itu sigap mengambil handphone khusus untuk menjual pulsa, lalu memencet-pencet tombolnya.
“Om guru, sebut nomor sudah”, kata gadis pelayan itu untuk meminta nomor handphonemu.
“Nol, delapan, satu, dua, tiga, enam, empat, empat dua,....(dst.)”
“Om guru, saya sebut ulang ew, biar tidak salah isi”, kata pelayan itu lagi.
“Iya, nona.”