Lihat ke Halaman Asli

Roman Rendusara

TERVERIFIKASI

Memaknai yang Tercecer

Menjemput Festival Kelimutu 2016 di Ende

Diperbarui: 8 Agustus 2016   18:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nampak tetua adat, Bupati dan Wakil Bupati Ende pada Upacara Pati Ka Du'a Bapu Ata Mata pada Festival Kelimutu 2014. Foto: El No & Roman Rendusara

Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Kelimutu, dengan danau tiga warnaa, berjarak 66 Km dari Kota Ende, Ibu Kota Kabupaten Ende, NTT atau 83 Km dari Kota Maumere, Ibu Kota Kabupaten Sikka. Danau vulkanik yang ditemukan oleh seorang Belanda, Van Such Telen pada 1915 ini menjadi obyek daya tarik utama para wisatawan mancanegara berkunjung ke Ende, Flores bagian tengah.

Sejak masa kepemimpinan Bupati Ende, Ir. Marselinus Y W Petu dan Djafar Ahmad (2014-2018), Ende semakin diperkenalkan secara apik. Selain Parade Kebangsaan (setiap akhir Mei) untuk memaknai Kota Pembuangan Bung Karno sebagai rahim kandung butir-butir Pancasila, juga Festival Kelimutu sebagai ajang promosi wisata dan budaya Ende dan Flores umumnya. Event ini diselenggarakan rutin setiap tahun, setiap bulan Agustus.

Festival Kelimutu dilaksanakan sepekan di setiap B ulan Agustus. Di tahun 2016 ini, sudah dan akan berlangsung sejak 7–14 Agustus 2016. Kegiatan Festival Kelimutu meliputi; Taga Kaba (7 Agustus), Lika Telu/Tiga Tungku (8 Agustus), parade budaya nusantara (9 Agustus), Kelimutu Expo dan Pegelaran Budaya (10-12 Agustus), Kelimutu trekking (13 Agustus) dan Pati Ka Du’a Bapu Ata Matadan Babo Mamo Ku Kajo/pemberian makan leluhur dan nenek moyang (14 Agustus).

Tempat menaruh bahan sesaji. Foto: El No & Roman Rendusara

Pertama, acara Taga Kaba adalah upacara syukuran hasil panen. Penyembelian seekor kerbau sebagai ucapan syukur atas panen selama setahun ini. Bagi orang Ende-Lio, kerbau adalah simbol berkat dan rezeki. Darah kerbau mengisyaratkan kesuburan dan kesejahteraan.

Kedua, Lika Telu adalah rapat koordinasi tiga batu tungku. Tiga batu tungku meliputi tokoh adat (mosalaki), pemerintah dan tokoh agama (ulama, pastor, pendeta, biksu, dll). Seluruh pemangku adat dan agama biasanya diundang, hadir untuk membahas semua permasalahan di Kabupaten Ende. Diharapkan, dengan duduk bersama, dapat menemukan solusi-solusi tepat sasar untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Termasuk persoalan kehidupan sosial agama. Kegiatan berpusat di Museum Tenun Ikat, Ende.

Ketiga, parade budaya nusantara. Acara ini memperkenalkan keanekaragaman budaya dari semua suku dan etnis di Indonesia. Parade dikemas dengan mengundang elemen masyarakat Ende yang terdiri dari komunitas dan kekeluargaan dari berbagai daerah. Semua berpakaian daerah sesuai dengan asal daerahnya masing-masing. Diselenggarakan di Lapangan Pancasila, titik kilometer nol Kota Ende.

Batu altar persembahan. Foto: El No & Roman Rendusara

Keempat, Kelimutu expo dan pagelaran budaya diselenggarakan di Kota Ende. Kelimutu expo memperkenalkan semua obyek wisata Kabupaten Ende. Wisata kuliner khas Ende juga dipamerkan. Produk-produk kerajinan lokal dipublikasikan. Hasil-hasil tenun ikat dan pertanian unggulan diitampilkan, termasuk kopi Kelimutu dari Desa Golulada, Kecamatan Detusoko.

Sementara, pagelaran budaya menampilkan budaya daerah dari sembilan kabupaten yang ada di wilayah Kepulauan Flores. Pagelaran ini mempertunjukkan musik, tarian dan nyanyian dari daerah Flores, NTT. Tujuannya memperkenalkan budaya Flores kepada masyarakat Flores, terutama generasi muda agar lebih mencintai warisan tak ternilai itu. Juga menjadi ajang promosi wisata budaya Flores secara keseluruhan. Kegiatan dilangsungkan di Kota Ende.

Para tetua adat memberikan sesaji. Foto: El No & Roman Rendusara (2014)

Kelima, Kelimutu Trekking merupakan kegiatan lomba trekking di Gunung Kelimutu. Biasanya diikuiti komunitas-komunitas pencinta alam di Kota Ende dan sekitarnya, atau masyarakat umum.

Keenam, acara Pati Ka Du’a Bapu Ata Matadan Babo Mamo Ku Kajo (pemberian makan kepada leluhur dan nenek moyang). Berlangsung di Puncak Gunung Kelimutu. Suasana sangat tenang, hening dan sakral. Para tetua adat berarak dari tempat upacara, di rumah panggung sisi selatan parkir utama. Sesekali bunyi gong mengiring sebagai isyarat memanggil leluhur. Pengunjung menyertai dari belakang rombongan tetua adat. Tanpa ribut dan gaduh.

Para tetua adat (mosalaki pu’u) menuju dakutata (batu tempat sesaji). Tetua adat dari sembilan suku di wilayah KSPN Kelimutu itu membentuk lingkaran dan mengeliling batu sesaji. Mereka membungkuk dan meletakan persembahan. Sesaji berupa nasi, daging (babi), moke (semacam tuak lokal), rokok, sirih pinang, dan kapur. Wadah menaruh bahan sesaji adalah piring mangkuk terbuat dari tempurung kelapa dan ancaman lontar

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline