Lihat ke Halaman Asli

Roman Rendusara

TERVERIFIKASI

Memaknai yang Tercecer

Dana Tour de Flores, Biaya atau Investasi?

Diperbarui: 24 Mei 2016   16:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: @tourdeflores

HARI ini, promosi pariwisata Flores mencatat sejarah baru, dengan dimulainya Tour de Flores (TdF), dari Larantuka (Flotim) sampai Labuan Bajo (Mabar). Sebagaimana diketahui, even balap sepeda ‘membonceng’ jelajah pesona Flores ini telah diluncurkan 28 Januari 2016 lalu. Di balairung Kantor Kemenpar, TdF digaung-gemakan dengan pemukulan gong oleh Menteri Pariwisata Dr Arif Yahya. Launcing even balap sepeda internasional ini disaksikan juga oleh Wakil Gubernur NTT Benny A Litelnoni, Chairman TdF Primus Dorimulu, Ketua DPRD NTT Anwar Pua Geno, tujuh Bupati dan Ketua DPRD se-daratan Flores.

Pemerintah Pusat telah memberikan perhatian besar, seperti Menko Maritim dan Sumber Daya Dr Rizal Ramli, Menteri PU dan Menteri Pariwisata sendiri. TdF akan menjadi event tahunan pariwisata di Flores, menghadirkan kegiatan balap sepeda jalan raya bertaraf internasional, di bawah payung UCI. Membawa misi utama, mengangkat pariwisata Flores ke pentas dunia.

Selain misi utama di atas, even yang dinspirasi oleh kesuksesan Tour de France (sejak 1903), Tour de Singkarak (sejak 2009) dan Tour de Bayuwangi Ije (sejak 2012) ini memiliki tujuan utama. Pertama, mendukung program Kemenko Kemaritiman, Flores Tourism Authority (FTA). Kedua, mendukung program pesona Indonesia dari Kementerian Pariwisata RI. Ketiga, mendukung program Pemerintah Propinsi NTT,  mewujudkan NTT sebagai New Tourism Territory. Keempat, mempromosikan dan mengangkat pariwisata Flores. Kelima, mewujudkan Labuan Bajo sebagai destinasi wisata prioritas. Keenam, mengajak masyarakat Indonesia dan dunia mengunjungi destinasi wisata di Pulau Flores, dan ketujuh, mengajak masyarakat dunia menyaksikan aneka atraksi musik, tari dan budaya Flores.

Ada beberapa opino kritikan pedas terhadap event TdF ini. Misalnya, sebuah tulisan Engelbertus Djo (ED) yang diposting di laman dunia maya. Ada dua tulisan, ‘Tour de Flores dan Apa Saja di Baliknya’ dan ‘Primus Dorimulu, Inisiator Perampok APBD Melalui Tour de Flores’. Bagi saya dua tulisan ini tidak dibangun dengan argumen dan logika yang rasional. Lebih menyerang pribadi secara subyektif. Tidak menyerang gagasan. Bisa jadi, lahir atas balas dendam pribadi. Ini seibarat gosip yang tertulis. Terlebih akun ED ini baru dibuat 17 April 2016, dan sampai detik ini hanya dua tulisan yang menyerang TdF secara subyektif.

Memang benar, Kitab Suci pernah menulis, ‘seorang nabi tidak dihormati di tempat asalnya’. Di tengah misi yang sungguh mulia, tujuan brilian, serta ide yang cerdas untuk menemukan dan mengangkat potensi wisata Flores ke pentas dunia, ada saja sikap dan tindakan kontra dari orang-orang Flores sendiri. Penulis tidak bermaksud, kita harus menyebut ALSEMAT – Jakarta (awal menggagas ide ini) sebagai Nabi, yang harus disembah-hormatkan. Paling tidak, atas mencetuskan ide TdF ini kita perlu mengapresiasi sebagai langkah awal. Perjalanan seribu mil selalu dimulai dengan satu langkah kecil. Tentu evaluasi dan catatan-catatan untuk perubahan selanjutnya akan membuntutinya.

Selain itu, saya enggan menyebut sebagai kritik. Seratus persen masukan dengan catatan-catatan keberatan. Seperti tulisan ‘Tour de Flores, Perampokan APBD dan Gugatan Marianus Sae’ di indoprogress.com. Semua mendukung TdF, dan menyambut dengan gembira hati. Namun berhadapan dengan kewajiban Pemda, yakni uang 1,3 M, beberapa pihak terlihat mengurungkan dukungan, bimbang, ragu, bahkan menolak TdF. Mereka menilai, TdF sebagai perampokan APBD. Komisi III DPRD Ende pun beranggapan anggaran untuk TdF terlalu besar, termasuk untuk EO dari Jakarta sebesar Rp 600 juta tiap Kabupaten.

Dana TdF, Biaya atau Investasi?

Dalam kacamata akuntansi (pencatatan keuangan), hemat penulis, kita masih ‘gagal-paham’ terkait biaya dan investasi. Mana dikatakan biaya dan mana disebut investasi? Persoalannya, ketika sejumlah uang yang dikucurkan masing-masing Pemda untuk event balap sepeda internasional berkemas jelajah wisata ini dilihat hanya sebagai biaya. Tidak dilihat dalam konsep pikir investasi. Biaya adalah semua pengorbanan yang perlu dilakukan untuk suatu proses produksi, yang dinyatakan dengan satuan uang menurut harga pasar yang berlaku, baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi. Secara prinsip akuntansi, biaya tidak selalu menuntut pengembalian berupa pendapatan. Sedangkan investasi adalah pengorban yang dilakukan oleh suatu proses produksi, dalam bentuk sejumlah uang (aset lainnya) untuk menghasikan pendapatan. Investasi menuntut pengembalian berupa deviden, bunga, dan pendapatan lain akibat penggunaan aset itu. Ia berkelanjutan, sampai kapan pun.

Nah, demikian pula dengan sejumlah dana untuk TdF, mesti dipahami sebagai investasi, bukan biaya. Sekali lagi, dalam pencatatan akuntasi laporan keuangan berbasis SAK-ETAP misalnya, investasi akan membawa dampak lain yang jauh lebih besar di kemudian hari. Berinvestasi berarti mengeluarkan dana untuk menyimpan kembali, menabung kembali dalam produk dan kemasan berbeda. Sedangkan biaya sebagai pengeluaran berlaku pada tahun berjalan, tidak selalu berkelanjutan. Biaya hanya menutup kebutuhan pokok dan operasional. Sebagai contoh lain, ketika kita mengkuliahkan anak ke Perguruan Tinggi dengan pengorbanan uang sekian banyak, kita sadar bahwa itu bukan pengorbanan sia-sia (biaya), tetapi kita menginvestasikan diri anak kita untuk menghadapi masa depannya yang lebih baik, dengan pengorbanan yang kini, anak kita akan memetik pendidikan dan masa depan yang cerah. Demikian pula dengan TdF, dengan 1,3 M kita telah menginvestasikan Flores bagi generasi Flores di masa depan.

Dengan total pengeluaran TdF sekitar Rp 31,790 milyar (menurut proposal kepada 8 Kabupaten, NTT, Kemenpar dan Kemenko Maritim), justru jauh lebih murah jika kita membandingkan dampak yang sudah, sedang dan akan dinikmati orang Flores. Sebagai misal, biaya iklan, dengan rata-rata tiap 30 detik Rp 30 juta, maka sebulan harus membayar Rp 900 juta. Itu baru sekali tayang dalam sehari.  Jika sehari bisa dengan lima kali tayang di salah satu TV saja (durasi 30 detik), maka biaya iklan sudah sebesar Rp 4,5 milyar untuk sebulan. Lalu, andai kita menayangkannya di 20 negara, maka sudah mencapai Rp 90 milyar sebulan. Tinggal kita pilih yang mana, yang 90 milyar atau 1,5 milyar?

Promosi pariwisata tanpa event itu ‘non sense’. Membangun apapun tidak ada yang langsung sempurna jadi. Tidak ada perubahan besar yang gratis. Itu pun jika kita mau mendongkrak ekonomi masyarakat Flores dalam bidang pariwisata. Tidak usah berpikir jauh-jauh, event TdF belum berjalan saja sudah ada perubahan besar di Flores. Jalan Larantuka-Labuan Bajo terlihat tidak lagi seperti paha penuh kurap. Menteri PU pantau langsung. Tempat wisata didandan semakin cantik. Kota-kota terpantau anggun. Di Labuan Bajo, peserta TdF terancam tidak dapat hotel (FP 12/05). Sedangkan di Ende, beberapa hotel sudah dibooking penuh. Mobil travel sejenis sedan dan bus banjir pesanan. Disewa sehari Rp 500-800 ribu. Hitung saja 10 hari, maka para sopir akan memanen Rp 5 juta hingga 8 juta dalam ajang TdF ini. Alhamdulilah ‘kan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline