Lihat ke Halaman Asli

Roman Rendusara

TERVERIFIKASI

Memaknai yang Tercecer

Menelusur Jejak Kolonial Jepang di Mbay, Flores

Diperbarui: 3 September 2015   10:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Okisato: Sumber mata air di bukit batu

Mbay, ibukota kabupaten Nagekeo, Flores – NTT, terasa gersang jika kemarau meranggas. Semilir angin dari Laut Flores serasa tidak mempan menerjang gerah. Meski demikian dataran seluas 8.747 ha ini tetap mempesona. Hamparan sawah menghijau dan menguning. Rombongan pipit terbang datar mencari – cari peluang hinggap di sebuah pematang. Kerbau – kerbau penuh lumpur merumput di petak yang masih menanti digarap. Beberapa ekor burung jalak sedang mematuk – matuk di atas punggungnya.

Lebih dari panorama alamnya, kota dengan julukan “Surabaya II” ini menyimpan jejak – jejak kaki Jepang di Indonesia. Dalam catatan sejarah, masa kependudukan Jepang di Nusantara sekitar tahun 1942. Kuat dugaan, setahun kemudian, 1943, Jepang sudah menginjakkan kakinya di Flores (Tasuku Sato, dalam I remember Flores, 1957).

Tidak sulit menemukan jejak peninggalan kependudukan Jepang di kota Mbay, ibukota kabupaten yang baru seusia anak kelas dua sekolah dasar ini. Dinas Pariwisata setempat mencatat sekitar 33 gua atau bunker peninggalan kolonialisme Jepang. Sekitar 23 gua yang tidak dirawat optimal (Pos Kupang, 17/06/2014). Alasan kepemilikan lahan menjadi kendala utama pemerintah seakan tinggal diam.

Pada Jumat (14/08/2015), kami berlima bersepakat menelusuri gua/bunker peninggalah Jepang yang belum disentuh oleh Pemkab Nagekeo itu. Dipandu oleh Bapak Bernadus Dhalu, kami kuatkan tekad untuk berani menerobos bunker yang sangat gelap itu. Dulu gua Jepang ini kami gunakan untuk tempat bermain, kenang Bernadus akan masa kecilnya. Selain tempat berteduh dari sengatan raja siang saat menggembala kambing dan domba.

Saya lupa nama tempat itu, yang pasti berada di bawah bukit gersang nan tandus. Bagian dari tanah ulayah suku Lape, Kelurahan Lape, Kecamatan Aesesa. Tidak jauh dari Pengananga.

Dengan perlengkapan seadanyanya seperti senter, parang dan sepatu kami pun masuk ke dalam gua. Tidak lupa saya mengenakan helm biar kepala aman dari kemungkinan benturan atau sengatan lainnya.

Kesan awal, takut, gelap dan seram berubah menjadi luar biasa dan menakjubkan. Bagaimana bisa nenek moyang kita mengorek bukit batu ini pada masa teknologi belum secanggih sekarang. Saya kemudian mengingat kata romusha (kerja paksa) yang diceritakan guru sejarah SMP. Koloni Jepang menggunakan cara paksa, penuh kekerasan bahkan nyawa terhadap penduduk lokal. Termasuk untuk mengorek bukit batu ini. Sayang, penulis buku I remember Flores tidak menyebut berapa korban penduduk lokal akibat romusha.

Gua/bunker sepanjang sekitar dua kilometer itu lengkap dengan ruang tidur, tempat persembunyian, ruang pertemuan dan ruang makan. Ada jendela ventilasi udara yang persis tegak lurus menembus puncak bukit. Kelelawar menyapa ketika menangkap cahaya senter. Jumlahnya tidak banyak.

Masih pada bukit yang sama, ada dua gua yang terdapat ruang pertemuan sebesar kapel (gereja kecil).. Bentuknya mirip, mulut gua hanya sebesar jendela rumah tapi di dalamnya seperti aula kecil dengan sebuah ventilasi udara menghadap matahari terbit. Perkiraan, bisa menampung 100 lebih orang. Kata Bernadus, ini dulu dijadikan tempat pertemuan dan kapel.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline