Lihat ke Halaman Asli

Roman Rendusara

TERVERIFIKASI

Memaknai yang Tercecer

Ke Pulau Komodo, Tidak untuk Wisatawan Lokal

Diperbarui: 29 Agustus 2020   08:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satwa endemik Komodo (Varanus komodoensis) di Pulau Rinca, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Senin (4/6/2012). (KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES)

 

GERIMIS belum berhenti sungguh. Pagi menyisahkan dingin sejak semalam suntuk. Kota Ruteng dibalut kabut kurus. Sepi, bak kota tanpa penunggu. Hening, menyambut sakral Jumat Agung nan kudus. Dan orang-orang berjalan tunduk, menuju lapangan Motang Rua khusuk. Tanpa suara meribut. Segenap jemaat menyeduh.

Waktu tidak selalu menunggu. Kami bergegas berpacu. Membela umat berarak menyatu, ketika sedang bersiap Jalan Salib sendu. Sepeda motor menderu. Sembari melawan suhu dingin Kota Ruteng yang menggebu, ke Labuan Bajo kami menuju.

Pelangi Melengkung Hamparan Sawah Lembor

Pelangi pagi menyambut di hamparan sawah Lembor (dok Roman)

Tepat pukul 8.00 pagi sudah senduk mengaduk di rumah makan Kota Lembor. Kami sarapan pagi. Sejenak melenturkan pinggang yang kaku. Setelah dua jam perjalanan ditempuh. Ditambah kopi hangat dan sebatang jarum mengepul. Seakan semangat kembali bergayuh. Tidak lupa, teman saya mengambil kamera. Berdiri di samping rumah makan, ia menjepret pelangi yang sedang melengkung di atas sawah petani lembur di hari libur Jumat kudus itu.

Mentari perlahan tegak membujur. Subuh pun telah udzur. Sepeda motor kami siap lagi menderu. Melepas dan melaju, di antara hamparan sawah Lembor mendayu kian jauh. Bidik lensa tetap dipandu. Memotret padi-padi sawah yang berdiri menguning dan anggun. Sekali lagi, dengan petani lembur di hari libur. Siap bekerja meski terik tak terukur. Mereka mungkin tidak tahu harga beras sedang ‘tidak tahu malu’, seturut mau para tengkulak korup. Meski di Lembor padi tetap melumbung.

Kami berlalu. Jalan lurus selepas hamparan sawah kuat memacu. Tiba-tiba saja roda sepeda motor saya berdiri kaku, dihadang kambing tak tahu malu, menyeberang jalan seenak mau. Hampir saja saya rubuh, tertimpa sepeda motor buntut. Untung, keseimbangan masih kuat teguh. Hingga saya tidak sempat mencium aspal hitam mulus.

Dua jam, kira-kira Labuan Bajo lagi ditempuh. Enam puluh kilometer harus dilalui. Jalan tidak lagi lurus, berkelok-kelok, serasa memutar di tempat yang sama. Bosan dan menjenuh. Namun daun-daun jati berbaris melambai seru. Alam hutan tropis bersahut, membangkitkan semangat untuk tetap memburu, meski keringat peluh.

Pada sebuah sisi jalan, di atas batu membisu, kami mengeluh. Kali ini Flores harus takluk, kata temanku sembari membasuh pilu. “Kapan lagi teman, kita jalan-jalan seperti ini.” Kalimat ini penguat, lelah dan ragu pun tersapu. Melanjutkan perjalanan adalah frasa menyatu melawan hegemoni takut.

Ujung Kota Labuan Menjulur

Sebuah pagi di kampung ujung Labuan Labuan (dok Roman)

Tidak lama, kira-kira satu jam menempuh, ujung Kota Labuan menjulur. Seakan ingin kami segera mencumbu, dari bibir lidah bertulis “Pelataran Komodo”. Lagi dan lagi, cahaya kamera membentur, sembari mengajak kami sejurus menyudut, barang enam hingga tujuh menit itu sudah lebih dari cukup.

Meski masing siang, langit Kota Labuan luruh, dimandi hujan tersisa mendung. Dua sahabat pejuang tangguh, berhasil masuk Kota Labuan tanpa kuyup. Ke pasar ikan kami langsung menuju, ketika tahu berita, kapal motor ke Pulau Komodo tinggal satu. Katanya, hari ini hari libur, sehingga tidak ada kapal penumpang mengangkut. Mumpung tinggal satu yang belum sempat membelah laut.

Harapan pupus, menepuk dada sebelah bertaluh. Kapal motor terakhir sudah pergi terburu-buru. Sebab penumpang sudah penuh. Kami tertinggal kaku pada pojok dermaga penyeberang antarpulau.

“Pak, mau ke Pulau Komodo?” tanya seorang lelaki separuh baya. Kami mengangguk setuju. Mungkin ia nelayan di sekitar situ, sekaligus penunggu para wisatawan pengguna perahu motor, untuk dicarter melihat kadal raksasa itu.

“Dua juta saja, Pak, pergi  - pulang”, tawarnya. Kami bergeming, saat melihat perahu motornya sangat kecil, hanya tiga orang bisa diangkut. Kami kalut, ‘bisa-bisa’ setiup angin langsung dijemput dasar laut. Tentu sorak-sorai ikan berpadu menyanyi lagu, sembari tertawa ledak ketika kami tak bisa mengarung.

Kali ini pemilik motor laut agak besar mendekat. Tujuh orang bisa diangkut pergi – pulang, katanya. Satu juta setengah plus harga dipatuk. Tapi harus dibiayai makan siang dan malam di sana, Pulau Komodo untuk dua kru.

Kami tidak hilang harapan, di pelabuhan PELNI kami merapat. Menawarkan diri ikut dalam sebuah rombongan keluarga dari Jakarta. Mereka juga mau ke Pulau Komodo. Diplomasi beraksi. Tawar-menawar terjadi. Nahas justru terjadi. Kami tidak diperbolehkan pergi, walau kami juga bersedia merogoh kocek semampu rezeki. Tetap tidak dikasih izin

Ke Pulau Komodo, Tidak untuk Wisata Lokal

“Ini belum rezeki kita, Teman,” kata teman. Sembari menarik napas panjang, harga sewa perahu motor tidak pas. Ia mengajakku segera melahap ikan bakar di sebuah tempat makan, tidak jauh dari bibir pantai, dengan segelas teh hanyat pembasuh dahaga.

Langit kota agak cerah. Meski bias senja terlihat manja, ingin segera mendekap remang. “Bisa jadi, ke Pulau Komodo tidak untuk wisatawan lokal seperti kita, Teman,” keluhnya lirih. Saya mengangguk, sebab konsentrasi masih terganggu – antara lelah dan haus. “Ah, untuk siapa Sail Komodo kalo begitu?” Ia menggodaku untuk berpikir kritis, agak kritik.

“Iya, Teman, yang saya tahu itu hanya ajang wisata pejabat, persiapannya menghabiskan anggaran rakyat 3,7 triliun, buat website-nya saja 185 juta rupiah, acara puncak menembus angka 16 miliar rupiah. Itu pun hanya menyambut tidak lebih dari tiga puluh tiga bule. Luar biasa ‘kan,” kataku sambil meneguk teh hangat itu.

Semua sudah berlalu bersama angin, yang tertinggal cuma mahalnya sewa carter kapal motor. Pemda NTT dan atau Mabar mungkin menutup mata dengan wisatawan lokal – orang Flores sendiri. Bila perlu ada kapal feri murah setiap hari. Biar pas dengan isi dompet kita orang kecil.

“Memang mahal ke sana. Saya saja belum pernah lihat komodo, walau su lama di sini,” kisah seorang pemuda tukang ojek. Cerita punya cerita, dia blasteran, ibu orang Wolowaru (Ende) dan ayah orang Ruteng, namun lahir dan besar di Labuan Bajo. Sudah sangat fasih berbahasa Manggarai, “Memang tidak gampang ee...,” katanya dengan logat kental Manggarai.

Ombak Berbisik Nyeri di Pantai Pede

Jika ada ujung dunia, Labuan Bajo-lah tempatnya. Senja menepi di ujung sana. Kota pelabuhan itu menempel dengan pulau-pulau kecil tak berpenghuni. Indah dikelilingi laut nan tenang. Walau mungkin dia sendiri gelisah, suatu saat akan digaruk pemilik modal. Dijadikan tempat investor industri pariwisata menjamah. Demi meraup untung berjemaah. Tanpa peduli orang asli anak tanah.

Kami menyisir di pesisir barat daya. Sekedar membunuh tempo luang. Pantai Pede didekap pepohonan senyap. Remang menggarang. Tanpa lampu yang menerang. Hanya ombak kecil berbisik nyeri. Ia tahu, suatu waktu dipasung asing. Lalu, mata menatap ke sana. Hotel bintang lima megah. Beribu lampunya pertanda milik kaum berkelas. Harga sudah pakai dolar. Anak Mabar kian menganga.

Kami merapat pada sebuah wisma murah. Membungkus diri dalam selimut bau, mungkin sebulan lupa masuk mesin laundry. Tapi, lelah lebih kuat melawan pengap. Kantuk membuah ngorok kami menderu. Bersahut bersama ujud esok ‘kan menjemput. Semoga komodo dapat ditemu.

Transaksi Tanpa Tipu-tipu

Pukul lima masih subuh, saya ke pelabuhan ikan. Katanya kapal penumpang siap bersandar. Lama ditunggu tidak juga muncul. Setelah dicek, tidak ada jadwal di hari Sabtu. Kuputuskan tetap duduk menyandar pada sebuah tiang labuh, mengundang fajar datang memagut.

Perahu penjala melabuh teduh. Mereka pikuk menghiruk, mengumpul hasil tangkapan semalam suntuk, sebab dari laut mereka meraup untung. Sedang di darat belasan pick up jejer berurut. Siap menadah ikan lalu dibawa ke mana-mana. Ruteng hingga Bajawa ikut mendapat berkat, dari jerih payah nelayan itu tadi malam.

Saya masih terpaku bisu, menyaksikan transaksi tanpa tipu-tipu. Ikan-ikan sebesar jari manis serasa masih hidup. Satu ember bak hitam penuh diharga dua ratus ribu. Nelayan-nelayan tetap tersenyum simpul. Meski mereka tahu, harga solar menggunung, dan isu formalin sedang menggempur. Senyum mereka tulus, biar kita tidak makan ikan busuk.

Taji Komodo, Sang Penyelamat

Kapten Taji Komodo (dok Roman)

Jarum jam memanah angka delapan. Langit Kota Labuan kian cerah. “Mau ke mana?” datang Taji Komodo bertanya. Tanpa basa-basi, kami menjawab, mau lihat kadal raksasa. Jika ingin bertemu komodo, tidak harus ke Pulau Komodo, komodo juga ada di Pulau Rinca. Lebih dekat dari Labuan. Hanya satu setengah jam. Harga masih bisa ditawar. Begitu kapten kapal mengajak. Tanpa berpikir panjang, kami langsung iya. Tujuh ratus ribu rupiah pergi – pulang. Perahu motor cukup besar, bisa muat sepuluh orang. Kami hanya berdua, ditambah kapten dan seorang kru. Dijamin aman tanpa hambatan andai gelombang bersahabat.

Tangan disambut ke dalam motor perahu. Kami duduk pandang beradu. Kapten siap memandu. Seorang kru melepaskan penyangkut. Hati seketika bergemuruh, gembira membasuh kalut, kalau-kalau ombak kuat menggulung. Seribu sujud mendaras dalam kalbu. Memohon penyertaan Sang Khalik segera menuntun, pada pulau yang kami tuju.

Di atas tahta semesta, awan menghilang. Kami menjauh dari labuh, dengan sebatang bambu panjang. Mesin sudah diengkol. Berbatuk-batuk sambil melaju. Melepas jauh Labuan hingga mata tak berpaut. Kami disapa alam, di sana, ke sebelah barat daya Manggarai Barat. Pemandangan laut yang biru bersih. Pulau-pulau dengan pantai indah nan permai. Berjejer menanti segenap mata memandang. Tak bosan-bosan, lensa kamera menancap, pada setiap obyek terpanah. Sigap mengambil gambar sekedar oleh-oleh untuk kami bawa pulang. Biar bisa menjadi bahan cerita, ketika kami sudah beranak pinang.

"Loh Buaya" (Teluk Buaya) Menyambut

Loh Buaya yang tenang di siang itu (dok Roman)

Rintik hujan kembali jatuh, kala Loh Buaya menyambut. Semangat menggebu. Kami melompat saja ke ujung labuh, walau perahu motor belum mengapit betul. Seorang pemandu sedang menunggu, namanya Kuba Arisda. Castro, demikian ia senang disapa, rangerPulau Rinca asli.

Pulau Rinca merupakan bagian Taman Nasional Komodo. Ditetapkan sebagai situs warisan dunia (a world heritage site) oleh UNESCO pada tahun 1991. Secara geografis, terletak di sebelah barat Pulau Flores dipisahkan oleh Selat Molo. Sabana mendominasi. Vegetasi Pantai Loh Buaya adalah hutan mangrove. Dermaga dan gapura kayu mengantar pengunjung memasuki zone inti taman nasional. Setelah berjalan sekitar 500 meter melalui dua patung komodo berdiri kokoh. Seekor komodo tampak tertidur pulas di bawah pohon. Wah sepertinya ini jam tidur siang mereka. Beberapa komodo tidur mendengkur di bawah pohon. Beberapa yang lain merayap di bawah kolong dapur para petugas, kata Castro, itu karena mereka mencium bau makanan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline