Lihat ke Halaman Asli

Roman Rendusara

TERVERIFIKASI

Memaknai yang Tercecer

Ine, Kau Sarjana Bagiku

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tidak seperti hari – hari sebelumnya, selama hari ini Ine-ku begitu diam. Tidak banyak bicara. Ketika aku bertanya hanya dijawab “ya” atau “tidak”, selebihnya anggukan kepala dengan senyum seadanya. Sangat sedikit mengulum senyum. Terpancar raut sedih sedikit senduh. Gambaran murung juga menghias romannya. Entahlah, tak mungkin kupeduli terlalu lama. Sebab, waktu dan senja yang merayap telah menjemputku segera pulang. Nanti malam aku harus tinggalkan Ende.

Ine, saya jalan dulu e?”, sahutku sambil keluar meninggalkan rumah. Oto (bah Ende = bemo angkutan) sudah menunggu di unjung kampung itu. Makhlum, halaman kampung yang terdapat batu – batu bertingkat – tingkat tidak memungkinkan buat jalan oto.

Ya, Ine-ku hebat, pikirku sambil menarik nafas sepanjang dalam oto yang akan membawaku ke kota Ende. Kisahnya mungkin terlalu singkat bila hanya dituliskan dalam lembar – lembar kertas. Kematian ayah yang tergolong tak normal 20 tahun lalu setelah ia pulang dari Malaysia, tentang gosip tetangga setelah sang ayah wafat dan tentang tetesan keringat dan airmatanya demi aku dan kedua kakakku. Dan tentang semuanya itu, Ine berjuang dalam diam. Ine tak pernah mengatakan “kalah” untuk suatu masalah yang menghadangnya. Ia tahu, Tuhan tidak mungkin memberikan cobaan di luar batas kemampuan kita.

Mengingat Ine, membuatku terpaksa memutar kembali cerita dulu. Masa – masa seusia anak SD sebenarnya masa – masa untukku bermain bersama teman – teman sekampung atau tetangga kampung. Waktu itu di kampungku ada beberapa musim permainan, ada musim mobil – mobilan, musim kalereng, musim wayang dan lain – lain. Pada musim – musim itu teman – temanku bermain permainan sesuai musim. Dan aku. Aku lebih banyak sekolah – kebun, pulang sekolah ganti seragam merah-putih langsung meluncur ke kebun. Di sana Ine-ku sudah menyiapkan makan siang. Menunya nikmat dan lezat. Ubi singkong rebus dan cabe campur garam. Kadang – kadang sedikit ikan kering asin dari tetangga yang hampir seminggu sekali ke sebuah kampung di dekat pantai. Setelah itu, aku membantu ibu menyiangi rumput, memotong kayu, menggali ubi singkong untuk dibawa ke rumah. Beberapa hari yang lain, aku disuruh Ine mengambil air di sungai yang jaraknya tidak jauh dari kebun untuk menyiram cokelat (kakao).

“Kau siram rajin, Ema. Cokela itu untuk kau pu sekolah nanti?”. Pesan itu membekas kuat, sangat kuat hingga kini aku sudah berada di penghujung semester terakhir bangku Teknik Komputer, sebuah universitas di kota Malang – Jawa Timur.

***

Pas seminggu perjalanan, dengan KM AWU dari Ende – Surabaya ditambah kareta ekonomi Surabaya – Malang telah mengantarku kembali ke pangkuan kos ini. Kamar berukuran 3x4m inilah menjadi saksi perjuangan dan kerja kerasku. Ia juga tempatku mengeluh dalam tangis dan diam ketika uang kuliahku tersendat – sendat. Di sini, di kos ini adalah gudang Jawa Pos yang selalu siap kuantarkan setiap pagi sebelum berangkat kuliah.

Kini, aku duduk sekedar sedikit melepas lelah. Terbersit sejuta tanya tentang Ine – ku ketika aku hendak kembali ke Malang ini. Tidak biasanya ia selalu terlihat ceria dan gembira. Bahkan ketika aku pamit, ia masih terlihat murung. Senyum pun hanya sedikit yang diberikan. Entahlah, apa sebabnya yang pasti. Hanya beberapa baris kata terujar dari dari mulutnya pada malam sebelum aku kembali ke kota ini, “Saya mau berdiri di samping kau, nak. Saya mau peluk, saat kau pakai pakaian wisuda, saya mau ikut pegang kau pu tongkat dan toga sarjana”

Airmata ini tak terbendung. Mungkin sebab itulah Ine-ku sedih. Doanya sedari dulu melihat aku berpakaian wisuda lengkap seakan sirna. Pupus pula angannya menyentuh kareta api, sarana transportasi yang selalu kuceritakan itu. Hilang sudah mimpinya menjejaki keramik – keramik di lantai kampusku.

***

Siang itu, sepulang acara wisuda di kampus. Aku mengambil sebuah spidol hitam dan menuliskan sebaris kalimat di tembok kamar kosku. “Terima kasih, Ine. Kau telah menjadi sarjana bagiku”.

Catatan:

Ine = ibu (bah. Ende)

Ema = panggilan sayang untuk anak laki2,




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline