Lihat ke Halaman Asli

Roman Rendusara

TERVERIFIKASI

Memaknai yang Tercecer

Menggelitik Makna Motto Elpiji 12kg

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14105870391911290308

DI tengah kasak – kusuk soal kenaikan harga BBM dan pemilihan kepala daerah oleh DPRD, yang bermuara hengkangnya Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama dari Partai Gerindra. Media kesayangan, KOMPAS mengulas migrasi elipiji ke 3 kg serta diikuti kenaikan harga elpiji non subsidi. PT Pertamina meyakinkan masyarakat agar tidak khawatir terkait kenaikan harga elpiji 12 kilogram sebesar Rp 1.500 per kilogram atau setara Rp 18.000 per tabung. Kenaikan harga ini efektif berlaku per 10 September 2014 kemarin. Selain itu PT Pertamina menjamin kelancaran dan ketersediaan pasokan elpiji 12 kilogram dan 3 kilogram. Tentu hal ini sesuai motto elpiji 12 kilogram, pas isinya, pas panasnya, pas nyamannya dan pas ti ada dimana – mana.

Motto elpiji 12 kilogram di atas menggelitik saya sejenak menulis dan menguaknya. Tidak lain hanya sebagai bahan refleksi pihak – pihak terkait termasuk pelanggan.

Pas isinya

Masih terekam dalam layar ingatan, sejumlah konsumen di Kota Bandarlampung mengeluhkan isi tabung elpiji yang berkurang setelah membeli dari pengecer maupun di stasiun pengisian bahan bakar umum. "Biasanya pemakaian elpiji tabung tiga kilogram untuk konsumsi rumah tangga bisa hingga sepuluh hari. Tapi sekarang hanya seminggu," kata Yance,  warga Telukbetung Utara di Bandarlampung, Sabtu (11/1/2014) sebagaimana dilansir metronews.com.

Keluhan lain berasal dari pengusaha. Mereka meminta PT Pertamina memperketat pengawasan pengisian gas elpiji, dan menindak petugas yang mengurangi isi gas elpiji karena merugikan masyarakat.  "Sering ditemukan isi gas tidak sesuai dengan ukuran tabungnya, misalnya gas ukuran 12 kilogram hanya berisikan 11 kilogram," kata Direktur PT Dwi Karya Mandala, Maya Novita.

Cukup dua kasus di atas, kita bisa menyimak, frasa ‘pas isinya’ sekedar slogan, tanpa isi dan busa – busa marketing. Bisa jadi fungsi pengawasan (controling) PT Pertamina terhadap agen dan pengecer masih kurang. Kontrol yang lemah memudahkan kecurangan oknum – oknum agen untuk mengurangi isi tabung gas demi meraup keuntungan lebih. Tentu ini meresahkan masyarakat pengguna tabung gas elpiji 12 kilogram. Masyarakat merugi apalagi sudah membeli dengan harga tinggi. Di lain pihak, PT Pertamina wajib menyiapkan timbangan di setiap agen, bila perlu sampai di pengecer. Timbangan itu standar yang diakui pertamina, agar sebelum dibeli dan bawa ke rumah ditimbang ulang. Solusi ini bisa menjamin rasa puas pelanggan, mengurangi praktek pengurangan dan membangun rasa saling percaya antara PT Pertamina dan pelanggan. Dengan demikian slogan ‘pas isinya’ layak disematkan.

Pas panasnya

Program konversi minyak tanah ke gas yang digetolkan Jusuf Kalla ketika sebagai Wakil Presiden meninggalkan jejak yang traumati. Jarang kita mendengar berita tentang ledakan akibat minyak tanah. Tapi akibat tabung gas meledak, kasusnya hampir setara jumlah ruas rambut di kepala saya. Bila kita men-google, berita terkait akan bersiliweran di layar monitor kita. Mungin PT Pertamina punya data yang valid soal ini. Kita bisa mengambilnya sebagai contoh sebuah peristiwa naas di Pasar Minggu, RT 02 RW 01, Kembangan Selatan, Jakarta Barat. Tabung gas meledak mengakibatkan 12 orang terluka bakar serius dan harus dilarikan ke rumah sakit. Peristiwanya terjadi pada 22 Juli 2014 sekitar pukul 19.30 WIB.

Juga kita mungkin masih ingat setahun yang lalu, kobaran api menghanguskan empat unit bangunan toko di Jalan Taman Aster Blok N, Perumahan Taman Galaxi Bekasi Selatan dan dua orang karyawan salah satu toko menderita luka bakar.  Peristiwa ini terjadi Minggu, 19 Mei 2013. Menurut saksi, Satio, 20 tahun, kebakaran dipicu meledaknya tabung gas seberat 12 kilogram yang di toko laundry sekitar pukul 13.00.

Tentu kita tidak seratus persen mempersalahkan PT Pertamina. Sebab pada prinsipnya tabung gas tidak akan meledak pada suhu normal dengan tekanan 7 atmosfer. Tabung gas dirancang tahan sampai 28 atmosfer. Kemungkinan besar kesalahan pada pemasangan antara katub tabung dan regulator.

Sebenarnya tak cukup alasan bagi tabung Elpiji untuk meledak. Jutaan tabung dilempar-lempar, dipanggang terik matahari pun dapat ditahan oleh baja dan lasan tabung, sekalipun tabung tidak ber-SNI. Yang menjadi pertanyaan penting, sejauh mana PT Pertamina mensosialisasikan ini. Sosialisasi yang bertingkat (dari distributor, agen hingga pengecer) perlu digalakan demi menjamin rentetan peristiwa tragis di atas tidak terulang lagi.

Pas nyamannya

Menyimak deretan peristiwa meledaknya tabung gas elpiji 12 kilogram atau 3 kilogram tentu melahirkan kecemasan bagi pelanggan. Masyarakat dihadapkan dengan pilihan dilematis, mau pakai gas elpiji atau tidak. Minyak tanah sudah sulit didapat. Memakai elpiji dihadapkan pada cemas bahkan trauma. Rasa aman sudah hilang.

Kolcaba (1992, dalam Potter & Perry, 2006) megungkapkan kenyamanan/rasa nyaman adalah suatu keadaan telah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan ketentraman (suatu kepuasan yang meningkatkan penampilan sehari-hari), kelegaan (kebutuhan telah terpenuhi), dan transenden (keadaan tentang sesuatu yang melebihi masalah dan nyeri). Kenyamanan mencakup empat aspek yaitu: fisik, sosial, psikospiritual, dan lingkungan. Yang paling penting, aspek lingkungan berhubungan dengan latar belakang pengalaman manusia akan rentetan peristiwa meledaknya tabung gas elpiji. Pengalaman ini mengurangi rasa nyaman yang berdampak pada takut dan trauma.

Nah, bagaimana pihak Pertamina menjamin rasa nyaman itu? ini pertanyaan refleksi sekaligus memaksa pihak – pihak terkait menemukan solusinya. Selain tetap mengamanah solusi sebelumnya, membuat tabung gas sesuai standar tanpa iming – iming proyek. Dengan demikian, kebutuhan akan rasa nyama pelanggan meningkat. Itu baru ‘pas nyamannya’.

Pas ti ada dimana – mana

Kalimat ini sangat multitafsir. Ada dua kemungkinan, yang pertama, ‘pasti ada dimana – mana’ dan yang kedua, ‘pas tiada dimana – mana’. Kedua tafsir kalimat di atas bisa benar. Elpiji 12 kilogram ada dimana – mana itu pasti. Itu pun kalau kita tidak mau peduli dengan keluhan langkanya elpiji selama ini. Tafsir kedua juga bisa sangat benar. Elpiji 12 kilogram tiada (tidak ada) dimana – mana. Faktanya, saat – saat menjelang kenaikan harga biasanya sulit didapat.

Fakta lain, kenapa gas elpiji jarang ditemui di daerah seperti Flores. Artinya, benar sesuai dengan motto, elpiji 12 kilogram tiada (tidak ada) dimana – mana termasuk Flores, hanya ada di kota – kota besar. Beberapa alasan mungkin bisa dikemukakan, mungkin di daerah masih ada kayu api. Juga daya beli masyarakat tidak mampu dengan harga Rp 18.000 per tabung untuk satu minggu, sebulan sudah menghabiskan Rp 72.000. Harga ini belum dihitung komponan biaya lain seperti transportasi ke Flores dan margin agen. Bisa – bisa mencapai Rp 60.000 untuk setabung elpiji 12 kilogram, jika harga per kilogram Rp 5.000, sebab biaya transportasi dan margin agen sekitar Rp 3.500. Ini sungguh mencekik, bila lama pakai hanya seminggu, sebulan menghabiskan empat tabung, maka sekitar Rp 240.000 uang melompat dari dompet pelanggan. Alasan itu mungkin yang membuat elpiji jarang beredar di Flores.

Demikian benar bunyi nas ‘pas ti ada dimana – mana’, alias ‘pas tiada (tidak beredar) dimana – mana’, termasuk di kota Ende Flores. Makanya di Flores masih beredar minyak tanah, sebab harga masih terjangkau. Elpiji bersubsidi saja jarang beredar apalagi yang non subsidi. Kayu api dan minyak tanah masih menjadi pilihan termurah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline