Lihat ke Halaman Asli

Roman Rendusara

TERVERIFIKASI

Memaknai yang Tercecer

Gerakan CTPS ala Keluarga Ibu Margaretha di Kampung Kepi, Ende

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14174277781141000133

[caption id="attachment_379722" align="aligncenter" width="560" caption="Echa (6 tahun), putri sulung Ibu Margaretha sedang mengambil sabun di kotak sabun (dok Roman Rendusara)"][/caption]

Data RISKESDAS 2013 menyebutkan 47 persen masyarakat Indonesia yang memiliki perilaku cuci tangan dengan benar. Padahal, kebiasaan Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) merupakan tindakan yang mudah dan murah.

PBB menetapkan setiap tanggal 15 Oktober sebagai Hari Cuci Tangan Pakai Sabun se – Dunia. Berbagai kalangan dan atau lembaga yang terkait terus mengkampanyekan dan menggalakan perilaku cuci tangan dengan sabun kepada masyarakat. Upaya ini sebagai tindakan untuk menurunkan tingkat kematian balita dan pencegahan terhadap penyakit yang dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup manusia.

Bukan sebuah peringatan tanpa makna dan tindak nyata, gema Gerakan CTPS masuk dan menyentuh perilaku cara hidup sehat masyarakat Indonesia hingga ke pelosok wilayah terkecil. Jauh dari kota, di kampung kecil Dusun Kepi, Desa Rapowawo, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, sebuah keluarga sudah menghayati perilaku cuci tangan sebagai sebuah habitus baru yang menyehatkan, murah dan ramah.

“Saya buat ini dari ikut pelatihan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) yang diselenggarakan Dinkes Kab. Ende,” ujar Ibu Margaretha (36 tahun). Ia menjelaskan, terdapat 5 pilar STBM, salah dua di antaranya  sudah diwujudkan dalam keluarganya yakni jangan buang air besar (BAB) sembarangan dan cuci tangan pakai sabun.

[caption id="attachment_379723" align="aligncenter" width="560" caption="Echa (6 tahun) sedang mencuci tangan dengan sabun setelah BAB (dok Roman Rendusara)"]

1417427910715309583

[/caption]

“Saya wajibkan anak – anak saya agar selalu cuci tangan sebelum makan, sesudah BAB dan sebelum tidur malam,” kata istri dari Maximus Mazo (36 tahun) ini.

Meski keluarga lain di dusunnya hampir tidak ada yang mempraktikan perilaku cuci tangan seperti ini, ibu tiga anak ini tetap teguh akan pentingnya hidup sehat yang mesti dimulai dari dalam keluarga dengan cara yang sedarhana. Di sisi lain, musin kering seperti sekarang ini dan air yang kadang tidak mengalir bukan menjadi hambatan agar hidup sehat berbasis cuci tangan pakai sabun tetap dilakukan. Sebab baginya, kesehatan mulai dari dalam keluarga.

[caption id="attachment_379725" align="aligncenter" width="560" caption="Menutup kembali lobang dengan paku setelah mencuci tangan (dok Roman Rendusara)"]

14174280421581443374

[/caption]

Sarana yang digunakan pun sangat sederhana. Terbuat dari bambu yang mudah didapat dari sekitar rumah. Hanya membutuhkan satu ruas bambu yang diapit kedua bukunya. Salah satu buku dilobangkan untuk mengisi air. Di antara ruas dilubangi paku agar air mengalir dan kita bisa langsung mencuci tangan di pancuran sebesar paku itu. Agar paku tidak terpisah kemana – mana maka diikat dengan tali benang. Bambu itu ditanam di tanah dekat dapur. Tempat sabun tidak jauh dari situ. (Roman Rendusara).

14174281401113031305

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline