Lihat ke Halaman Asli

Roma Kyo Kae Saniro

Dosen Sastra Indonesia Universitas Andalas

Enam

Diperbarui: 16 Agustus 2022   16:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kupetik enam tangkai bunga di tanah melankolis sendu
Kelopaknya yang anggun, kulihat batangnya gatal berbulu
Seperti kau, dulu harap sekarang luluh
Nyatanya, sudah enam tahun berlalu
Ketidakpastian atas segala sesuatu
Mekar subur antara kini dan masa lalu

Enam tidak cukup tuk menjawab pandangan sentimental
Atau harap yang sudah dirunut hingga tetiba batal
Enam pun tak cukup tuk memohon kabul yang kental

Sudah berkali-kali hujan pada tahun keenam
Dingin dan gelap yang menyisakan kelam
Kau tinggalkan aku pada sudut jalan malam
Tanpa sebuah kepak elang yang lalu-lalang

Katanya, diri ini adalah pehobi
Yang menyukai merah jambu tanpa basa-basi
Melumat habis ikrar janji tanpa pernah ditepati

Enam, terlalu lelah tuk kembali
Berpura memilih hati bertopeng sok adil

Teringat, ketika enam, berlindung pada rumah Tuhan
Berselimut ka'bah dari hujan deras dan petir yang mengagetkan
Menunggu harap untuk segara datang memberi kepastian

Ini bukan rasa dan karsa namanya!
Penuh dengan ketidaksadaran semata!
Enam hanyalah enam, bukan sebuah tanda!
Lepaslah, maka enam pun akan bebas di udara!

Lampung, 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline