Jangan heran jika judul tulisan saya kali ini menggunakan tanda baca-tanda baca tertentu. Tentu selain maksudnya adalah untuk memberikan “penekanan” tertentu sehingga pembaca bisa “mendapatkan” impresi tertentu saat membaca judul tersebut. Namun di satu sisi, pemberian tanda baca-tanda baca tertentu itu, juga mengindikasikan bahwa mungkin itu terjadi dalam wilayah personal saya saja, dan terjadi pada ruang waktu tertentu di masa lalu, yang bisa jadi tidak “lagi” terjadi sekarang dan tidak “dialami” oleh orang lain selain saya. *Pusing ya membaca tulisan yang penuh dengan makna tersirat dan bukannya tersurat? Hehehe* Well, terlepas dari pro kontra yang akan terjadi setelah para pembaca menyimak tulisan ini, saya ingin katakan bahwa tulisan ini adalah murni pengalaman pribadi dan hasil refleksi saya berdasarkan pengalaman pribadi tersebut, yang kemudian juga dipadukan dengan wewenang pekerjaan saya saat ini. Ya, mungkin juga ada sedikit pengalaman “dibunuhnya kreativitas” dari orang-orang yang saya jumpai dalam pelbagai kesempatan, yang kemudian mendorong saya menulis ini. Sebelum saya melanjutkan, izinkan saya mengutip pernyataan orang Manggarai sebagai bentuk permohonan maaf mereka, yaitu NEKA RABO atau yang berarti Jangan Marah. Setiap kali orang Manggarai ingin menyampaikan sesuatu, atau meminta tolong, atau juga sekedar sebagai pernyataan kesopanan kepada lawan bicaranya, mereka akan mengatakan “Neka rabo” atau jangan marah. Karena ketika sesuatu pernyataan disampaikan, ataupun permohonan minta tolong dimintakan ke orang lain, ada perasaan “maaf ya jika merepotkan, jangan marah ya” atau perasaan “terima kasih ya sudah mendengar/membantu saya, jangan marah ya.” Selama ini saya pikir hanya orang Jawa atau Sunda yang mempunyai tatakrama yang halus. Ternyata orang Manggarai juga. Huh, inilah akibatnya stereotype, kita dengan mudah menilai seseorang karena kebanyakan orang sesuku, seagama, se-status sosial, se-status pendidikan seperti orang tersebut berlaku hal yang buruk. Jadi para pembaca, Neka rabo, jangan marah ya kalau saya menuliskan ini; khususnya bagi para guru dan pengelola sekolah yang kebetulan kelak membaca tulisan ini. Neka rabo. [caption id="attachment_194780" align="aligncenter" width="640" caption="Photo by Jems D (http://www.flickr.com/people/what_id/)"][/caption] Saya akan mulai dengan pendapat seorang pakar pendidikan internasional bernama Sir Ken Robinson. Bagi pembaca yang ingin mengetahui kegelisahannya mengenai sistem pendidikan, bisa bergabung di SINI. Dalam dua buah ceramahnya di TED yang berulang-ulang kali saya tonton, yang pembaca bisa unduh di SINI, dan di SINI (ada opsi subtitle Indonesia jika pembaca ingin mengunduhnya), Sir Ken Robinson mengatakan dengan gamblang bahwa sistem pendidikan yang berlaku saat ini membunuh kreativitas siswa. Dia berargumen bahwa sistem pendidikan yang berlaku sekarang didesain untuk kebutuhan yang mengemuka pada abad ke 19 yaitu kepentingan dunia industri. Dengan kata lain pendidikan adalah satu-satunya cara untuk orang dalam era industri untuk mendapatkan pekerjaan. Tidak sekolah, berarti tidak akan bekerja dan tidak memiliki penghasilan. Akibatnya, terjadi sebuah hirarki “pelajaran” dalam pelbagai sistem pendidikan di belahan dunia mana pun. Biasanya matematika adalah kasta tertinggi, disusul ilmu-ilmu eksakta lainnya. Kemudian efeknya, murid yang berprestasi dalam bidang berkasta tinggi itu akan dinilai sebagai pelajar kelas atas, dan sebaliknya murid yang jeblok matematika dan ilmu eksakta lainnya akan dipandang sebagai murid-murid yang “tak terlihat.” Ini ironis, karena pendidikan bukan untuk sekedar mencerdaskan seseorang secara pengetahuan; meski itu sangat penting; tetapi pendidikan seharusnya menyiapkan murid-murid untuk cakap dalam bertahan hidup dengan skill yang ia miliki. Atau dalam konsep filosofisnya, pendidikan seharusnya membuat seorang anak menjadi maksimal dalam penggunaan semua bakat yang Tuhan sudah berikan dalam hidupnya. Dan sebagaimana para pembaca sudah tahu bahwa tidak semua anak berpikir secara logis matematis; ada yang berpikir secara linguistik dan musikal seperti saya. Tidak semua anak berpikir secara spasial, tetapi ada juga anak yang berpikir secara kinestetik. Tidak semua anak cerdas dalam menggunakan kemampuan interpersonalnya yang sangat baik, tetapi ada juga anak yang bisa mendapatkan pencerahan ketika hanya dia dan pikirannya sendiri yang saling berinteraksi. Dan semua ini adalah kekayaan bakat dan talenta yang Tuhan berikan pada TIAP INDIVIDU, yang kita sebagai pendidik berkewajiban membantu anak-anak tersebut untuk memaksimalkan bakat-bakat uniknya masing-masing. Demikian ujar Sir Ken Robinson dengan “geram” dalam presentasinya di TED. Saya menyesal mengapa tidak ada seorang seperti Sir Ken Robinson di masa kecil dan remaja saya. Saya masih ingat ketika SD, sebuah tugas prakarya membuat wajah dengan menggunakan bekas sak semen yang dilumuri lem dan kemudian dibentuk di atas wadah bulat untuk beras yang terbuat dari bambu. Saya sudah berhasil menyelesaikan instruksi membuat lem kanji dengan yang terbaik yang bisa saya buat, dan saya cukup bangga karena bisa membuat lem kanji. Lalu ketika tiba saatnya membentuk kertas-kertas bekas sak semen itu lalu membuatnya menjadi wajah, saya tidak berhasil membuat hidung yang mancung, bibir yang tersenyum lebar, dan pipi yang montok. Yang saya buat adalah wajah yang muram. Dan saya stress karena seberapa keras pun saya mencoba membuat wajah yang tersenyum, selalu kembali kepada bentuk ekspresi wajah yang muram. Tapi yang lebih memalukan adalah ketika guru prakarya saya waktu SD mengatakan di depan teman-teman saya yang lain bahwa saya sungguh tidak berbakat dalam prakarya; bahwa saya sungguh “BODOH” dalam sekedar membuat sebuah bibir yang tersenyum. Hari itu saya memutuskan bahwa saya tidak akan pernah membuat prakarya lagi. Dan sampai hari ini ketika ada tugas menghias ruangan, saya adalah orang pertama yang akan lari dari tugas itu. Karena saya takut membuat suatu “hal” yang tidak lazim. Bahkan setelah dipikir-pikir mengapa saya saat itu membuat wajah muram, ternyata memang Tuhan mencetak saya sebagai individu yang introvert dan pemuram. Sehingga topeng yang saya buat waktu SD itu sebenarnya adalah penggambaran diri saya sendiri. Dan itu sangat orisinil menurut saya, sementara siswa yang lain mungkin membuat sesuatu bukan berdasarkan orisinilitasnya sendiri, hanya berdasarkan instruksi guru. Selain pengalaman dengan Guru Matematika yang sudah saya tuangkan di tulisan INI, pengalaman prakarya muram ini sangat membekas pada saya hingga hari ini. Mungkin jika prakarya wajah muram saya dipuji kala itu, bisa jadi saya sudah jadi pematung handal saat ini. Mungkin saja. Mengapa tidak? Why not? Kesukaan saya sebenarnya selain pada olahraga, adalah pada pelajaran Bahasa Indonesia. Setiap kali ulangan umum bahasa Indonesia diadakan, hal yang paling pertama saya kerjakan adalah bagian mengarang. Setelah selesai mengarang bebas, baru kemudian saya menyelesaikan soal-soal ujian di lembar soal. Hanya sayangnya, guru bahasa Indonesia saya bukanlah sekelas Dee (Dewi Lestari), ataupun secanggih Andrea Hirata. Sehingga beliau tidak pernah mengajarkan bagaimana membuat cerita yang menarik, bagaimana membuat sebuah plot cerita dengan skema 3 babak 2 plot point, ataupun mengajarkan mengenai hal-hal yang dibutuhkan seorang novelis ataupun penulis cerita untuk memukau pembaca dan penontonnya. Tak heran jika saya melihat hasil-hasil karangan saya dulu, selalu dimulai dengan kalimat: “Pada suatu hari di hari libur, ayah mengajakku pergi ke desa”; ataupun dengan kalimat: “Pada suatu masa di sebuah kerajaan yang indah dan subur, hiduplah bla bla bla…” Basi banget kan? Mungkin kalau ibu guru Bahasa Indonesia saya saat itu adalah seorang praktisi dalam kepenulisan, bisa jadi di usia seperti ini saya sudah menelurkan puluhan judul novel ataupun puluhan film. Tapi sayangnya itu tidak terjadi. Sekolah, secara literal, telah membunuh kreativitas saya dulu. Tetapi yang mungkin sedikit membesarkan hati, yaitu setidaknya wanita-wanita cantik yang pernah saya cintai saat SMP (yang sudah jadi Dokter) dan kuliah (yang sudah jadi Apoteker dan MC handal), tahu betul betapa berbakatnya saya dalam menulis surat cinta untuk mereka. Hahahaha… Intinya, kita sebagai pendidik –setidaknya saya adalah seseorang yang berada di belakang layar dari dunia pendidikan–harus mulai mencoba mengamini apa yang diyakini Sir Ken Robinson dalam pola kita mendidik anak-anak yang Tuhan percayakan di sekitar kita. Kita harus lebih sungguh-sungguh mengupayakan bakat-bakat terpendam itu untuk mengetahui bakat pribadinya, dan menolong mereka meraih puncak tertinggi dari kehidupan mereka yang penuh dengan pengaktualisasian bakat dan kemampuan yang Tuhan sudah titipkan pada mereka; dan bukannya sekedar mendidik mereka supaya mereka bisa jadi Pegawai Negeri Sipil, ataupun jadi karyawan-karyawan di pelbagai dunia industri. Kita berkewajiban menjadikan mereka Tuan atas mahakarya kehidupan mereka sendiri. Dari anak-anak yang maksimal dalam bakat dan kecerdasannya inilah, kita kelak dapat berharap bahwa dunia ini akan menjadi tempat yang lebih baik untuk dihuni. Dari mereka inilah, kita kelak dapat berharap pula bahwa kehidupan kita sudah memberi warna dan inspirasi bagi mereka. Inilah arti pendidikan sesungguhnya. Tetapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, kan? Melalui tulisan ini saya berharap kita para pendidik yang dipercayakan Tuhan anak-anak yang luar biasa yang akan “ROCK” the world, mulai merubah cara pandang kita tentang pendidikan itu sendiri. Dan siapa tahu Tuhan akan tersenyum kepada kita karena kita telah menjadi GURU yang seharusnya. Salam hormat saya kepada para guru di luar sana. Terima kasih atas kepedulian Anda semua terhadap generasi setelah kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H