Faktor-faktor Penyebab Kemunduran Politik Kristen
Tentu terdapat beberapa alasan di balik fakta menurunnya kuantitas dan kualitas pemimpin-pemimpin Kristen dalam percaturan politik di Indonesia. Dalam tulisan ini, penulis membagi alasan-alasan tersebut menjadi secara eksternal dan internal. Jika ditelisik secara eksternal, maka itu menandakan adanya intervensi dari luar yang menyebabkan kemunduran kuantitas dan kualitas pemimpin-pemimpin dalam panggung politik di Indonesia. Demikian pula sebaliknya, jika ditelisik secara internal, maka itu menandakan adanya penyebab laten yang terdapat dalam kekristenan yang ternyata menyebabkan kemunduran tersebut. Mari mulai dengan faktor eksternal terlebih dahulu.
Adapun faktor eksternal yang mempengaruhi penurunan kuantitas dan kualitas para pemimpin Kristen, masih dapat dibagi menjadi tiga penyebab—ini mengacu pada ragam teori mengenai geliat kebangkitan politik Islam yang disampaikan oleh Pramono Thantowi dalam bukunya “Kebangkitan Politik Kaum Santri” (Jakarta:PSAP, 2005).
Alasan yang pertama adalah adalah munculnya kelas menengah baru—yaitu santri baru—melalui pendidikan modern. Golongan menengah ini tumbuh dengan cepat pada masa Orde Baru. Jumlah pengusaha pribumi yang besar, menengah dan kecil, bertambah cukup banyak. Tetapi golongan borjuis, yaitu etnis Tionghoa, tumbuh lebih hebat lagi. Oleh karena itu, tidak mudah bagi kelompok Muslim—yang kala itu terpinggirkan secara ekonomis—untuk mengambil alih dan memiliki kedudukan yang sama dengan etnis Tionghoa. Satu-satunya pintu yang terbuka lebar bagi kaum Muslim untuk meningkatkan peran mereka secara ekonomi adalah melalui jalur pendidikan, baik di dalam maupun di luar negeri. Ini pun ditopang dengan besarnya subsidi yang diberikan pemerintah pada sektor pendidikan, sehingga pada akhirnya wong cilik—yang mayoritas berlatar belakang subkultur santri—dapat mengenyam pendidikan umum. Ini menyebabkan kelompok santri baru ini dapat berkecimpung dan menggarap wilayah sekuler, dan akhirnya memberi peluang bagi mereka untuk berkecimpung dalam ekonomi modern. Dewasa ini, kelompok Muslim berhasil menduduki posisi elit secara sosiologis. Ini merupakan wujud nyata sebuah proses kaderisasi pemimpin yang berjalan mulus di kalangan Muslim, dan patut diacungi jempol.
Alasan yang kedua adalah adanya pembaruan pemikiran dan praktik politik Islam pada awal 1970-an. Pembaruan ini dilatarbelakangi oleh kegalauan politis dan ideologis golongan santri modernis yang didominasi oleh generasi mudanya. Sebelum proses pembaruan ini, Islam selalu diidentifikasikan oleh pemerintah sebagai golongan anti-Pancasila. Dan tidak hanya itu, mereka juga merasa pemerintah tidak pernah melibatkan golongan politik Islam untuk ikut serta dalam memimpin negara dan duduk dalam pemerintahan. Kegalauan dan kekecewaan ini pun serta-merta mendorong sejumlah pemikir dan aktivis generasi baru Islam untuk mengembangkan format baru politik Islam sejak 1970-an. Mereka berusaha memperbaharui teologi Islam dengan memfokuskan diri pada pencarian dasar-dasar teologi baru yang memungkinkan terciptanya sintesis yang memungkinkan antara Islam dan negara. Mereka juga berusaha memperbaharui politik Islam dengan cara menjembatani hubungan antara kalangan Islam dengan pemerintah sehingga kecurigaan pemerintah secara politis dan ideologis dapat dikikis. Dan akhirnya, mereka juga berusaha melakukan transformasi secara sosial-ekonomi, dengan perhatian utama melakukan pemberdayaan sosial-ekonomi dan politik masyarakat bawah baik yang ada di pedesaan maupun perkotaaan.[2]
Alasan yang ketiga adalah terjadinya pergesekan elit politik Orde Baru. Liddle—lihat dua tulisannya,“ICMI dan Masa Depan Politik Islam di Indonesia,” dalam Nasrullah Ali Fauzi, (ed), ICMI: Antara Status Quo dan Demokratisasi, (Bandung:Mizan,1995)—menyatakan bahwa hubungan mesra Islam dan negara di era 1990-an, sebenarnya sekedar menunjukkan peralihan basis politik Soeharto yang kekuasaannya dimakan usia dan pada saat yang bersamaan tidak mendapatkan dukungan lagi dari beberapa petinggi Angkatan Darat kala itu. Untuk itu, Soeharto pun melirik pada kalangan Islam—khususnya para tokohnya yang kritis—dan memberi tawaran kepada mereka untuk memainkan sebuah peran yang berimbang (1995:176). Dengan menyatukan para kritikus Muslim yang vokal bersama para birokrat dan tokoh Islam yang lebih moderat, Soeharto berharap bisa menarik anggota-anggota ICMI yang paling kritis ke dalam lingkaran kemapanan, sambil berjanji akan memberikan porsi yang lebih besar dalam pembentukan keputusan pemerintah (Thantowi, 2006:84). Dalam kerangka ini, ICMI dipandang tidak lebih sebagai sebuah contoh baru munculnya pola strategis di dalam politik Orde Baru, dimana Soeharto memilih pemimpin-pemimpin Golkar di luar hirarki komandan ABRI, yang secara personal loyal terhadapnya, dan mampu menjalankan kampanye pemilihan yang akan menciptakan mayoritas absolut Golkar (1995:207).[3]
Harus diakui bahwa transformasi sosial-ekonomi di kalangan Islam secara internal sejak beberapa dasawarsa sebelumnya telah menghasilkan pembesaran dan penguatan kelas menengah sehingga menjadi aset politik yang cukup signifikan. Karena melalui dinamika sosial ini akhirnya memicu kemunculan generasi baru intelektual Islam untuk melakukan pembaruan pemikiran dan perilaku politik Islam. Mereka tidak hanya berhasil mengikis kecurigaan pemerintah terhadap Islam, tetapi mereka juga berhasil membujuk pemerintah untuk mengakomodir kepentingan mereka. Karena Soeharto mulai merasakan rendahnya dukungan militer padanya, maka ia pun mulai menjadikan Islam sebagai penyeimbang—mungkin juga sebagai lawan tanding bagi militer. [4]
Sekarang mari beranjak pada faktor internal.
Alasan pertama adalah kebimbangan teologi yang dianut warga gereja Indonesia sehingga mengakibatkan kebimbangan untuk terlibat dalam politik. Kebimbangan ini disebabkan oleh sikap kekristenan yang masih dirasuki semangat “let state be state, and let church be church”. Dan lebih menyedihkan, semangat apolitis itu berhasil dikemas dengan baik oleh pihak penguasa—dalam hal ini pihak penjajah Belanda—untuk kepentingannya. Pemikiran “let state be state, and let church be church” sebenarnya merupakan warisan Barat, yang pada abad XVII masih menganut sistem pemerintahan monarki absolut, yaitu kekuasaan raja bersifat ilahi dan suci. Tuhanlah—dan bukan manusia—yang telah menganugerahkan kekuasaan itu kepada seorang raja. Pada masa itu juga, doktrin hak-hak ketuhanan raja ini memperoleh pembenaran teologis dari ajaran-ajaran Alkitab. Tokoh-tokoh yang merumuskan sistem monarki absolut antara lain Augustinus dan Thomas Aquinas. Sistem pemerintahan ini pun akhirnya mendapat perlawanan keras dari John Locke. Ia mengatakan bahwa monarki absolut merupakan antitesis kebebasan manusia, karena sejatinya kekuasaan monarki absolut menempatkan seorang manusia di bawah kekuasaan lainnya. Oleh karena itu, John Locke pun akhirnya menyatakan kekuasaan gereja sepenuhnya bersifat gerejawi. Dengan alasan apapun, kekuatan gereja tidak boleh diperluas ke urusan-urusan yang ada di bawah wewenang pemerintahan sipil. Gereja, menurut Locke, di dalam dirinya sendiri adalah mutlak terpisah dan berbeda dengan masyarakat. Keterpisahannya dengan negara itu ibarat bumi dengan langit yang tak bisa dipersatukan.
Tetapi pemikiran John Locke pada dasarnya tidak bertujuan mengekang kebebasan berpolitik individu yang tergabung dalam sebuah gereja. Karena John Locke sendiri sangat mengedepankan kebebasan atau liberalisme dalam kehidupan seorang manusia; dan sebaliknya negara sendiri pun haruslah menghargai dan menjunjung tinggi hak-hak individual tersebut. Locke pun dengan tegas mengatakan bahwa setiap individu—termasuk seorang warga negara ataupun warga gereja—memiliki hak-hak dasariah yang tak bisa diganggu-gugat. Hak-hak itu antara lain adalah hak hidup, hak memiliki kekayaan, hak bebas beragama, dan hak “berontak” terhadap kekuasaan negara yang tiranik—tentu saja ini mengacu pada hak berpolitik (Suhelmi, 2001:184-211).
Fakta sejarah kemudian mencatat bahwa ketika Belanda berkuasa, mereka kemudian berusaha sungguh-sungguh mematikan kesadaran berpolitik orang-orang Kristen pribumi. Tidak tanggung-tanggung konspirasi itu melibatkan sejumlah pemikir Belanda yang cukup disegani yang dianggap berjasa membentuk persepsi teologis menyangkut sikap kebangsaan para mahasiswa Kristen Hindia-Belanda. Di antaranya adalah tokoh-tokoh dalam gerakan oikumene dan ahli Alkitab yang diakui di bidangnya, yakni Hendrik Kraemer, Müller Krüger, Visser’t Hooft, Verkuyl dan lain-lain. Perlu dicatat, ketika mereka membicarakan masalah keterlibatan orang-orang Kristen di Indonesia, mereka selalu menghindari konsep Alkitab tentang penjajahan. Kehadiran dan keterlibatan gereja di bidang politik memang memperoleh penguatan dan pembekalan dari perspektif iman Kristen. Tetapi yang memprihatinkan, mereka memilih diam seribu bahasa ketika berbicara mengenai kemerdekaan Indonesia. Karena konsep keterlibatan yang dimaksud oleh orang-orang bule itu adalah keterlibatan dalam negara Hindia-Belanda, bukan Republik Indonesia (Sirait, 2001:209).[5]
Karena pembimbangan tersebut, sikap politik orang-orang Kristen Indonesia tidak ubahnya seperti parasit yang berusaha bertahan hidup dengan mendompleng pada kekuatan yang lebih besar, dalam hal ini pihak penguasa. Sehingga tidak heran orang Kristen sering dicap sebagai kelompok oportunis yang selalu dekat dengan persepsi absolutisme raja atau negara, yang berciri-ciri elitisme dengan solidaritas vertikal. Akibatnya, kekristenan tidak memiliki akses ke dalam lapisan masyarakat miskin yang di pinggiran dan terpinggirkan. Selain itu, mereka juga tidak memiliki kemampuan yang visioner dan antisipatif sehingga gereja sangat terseok-seok mengikuti arus perubahan politik. Sikap “ikut-ikutan” ini diperlihatkan ketika sekelompok elit gereja yang memiliki kekuasaan ekonomis dan politis, bersama-sama dengan Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia masa bakti 1994-1999, pergi ke istana untuk mempersembahkan uang dan emas. [6] Sementara di luar istana—pada saat yang bersamaan—seruan agar Soeharto mengundurkan diri dari tampuk kekuasaan, semakin nyaring diteriakkan oleh kelompok reformis.
Berbicara mengenai pemahaman teologi yang harus dijadikan dasar pijakan warga gereja untuk berpolitik, tentu harus disepakati terlebih dahulu bahwa dikotomi antara sakral dan sekuler merupakan sebuah pemahaman yang salah. Seperti yang dikemukakan oleh Arthur F. Holmes:
Pekerjaan seseorang ketika dilakukan dengan segenap hati sebagai ungkapan pengabdiannya kepada Allah, adalah suatu ibadah (Kol 3: 22-4: 1). Jelaslah, pekerjaan—bahkan yang sekular—merupakan panggilan Allah, sehingga kesalehan dan pengabdian kita tidak terbatas hanya pada kehidupan batiniah atau terbatas hanya pada waktu kita berhubungan langsung dengan Allah. Segala sesuatu yang kita lakukan menjadi sakral ketika itu dilakukan bagi kemuliaan Allah (2000: 50).
Pentas politik identik dengan praktek yang sangat sekuler, mentalitas menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, dan ditaburi pula dengan pelbagai intrik kotor guna memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Tetapi fakta itu tidak boleh menjadi sebuah alasan untuk membenarkan kebisuan politik orang-orang Kristen. Karena dalam Mat 5:13-16, Yesus memerintahkan para pengikutnya untuk menggarami dan menerangi dunia ini, termasuk panggung politik. Justru di tempat seperti itu, kualitas dan kapasitas orang-orang Kristen mutlak diperlukan. Bukannya menganut konsep Laissez faire (biarkan kami sendiri), tetapi setiap warga gereja haruslah mau menceburkan dirinya dalam dunia ini. [7]
Alasan yang kedua adalah tidak seragamnya visi politik yang menjadi alur gerak perjuangan politik Kristen. Karena masih banyak politikus Kristen yang hanya menyuarakan kepentingan partai—walaupun dalam konteks Indonesia hal ini masih terbilang wajar—dan kepentingan golongan. Akibatnya alih-alih mengedepankan agenda yang mampu menyentuh hajat hidup orang banyak, malahan mereka lebih tunduk pada suara partai yang menaunginya. Ini sangat ironis, karena vox populi vox Dei (suara rakyat sebagai suara Tuhan) seharusnya menjadi landasan moral para politikus dalam mengeluarkan sebuah keputusan politis. Di dalam kata sambutannya terhadap buku Saut Sirait, Pdt. Eka Darmaputera menyatakan kekristenan di Indonesia membutuhkan kader-kader paripurna yang berbobot, yaitu selain kader-kader bangsa yang mempunyai dasar teologis yang sehat dan keberakaran yang kuat pada gereja, tetapi juga kader-kader oikumenis yang mempunyai kesadaran kebangsaan, kepekaan sosial serta semangat patriotisme yang mendalam (2001:xv).
Oleh karena itu untuk dapat menyentuh hajat hidup orang banyak, kader-kader politik Kristen haruslah terlebih dahulu memiliki jiwa yang oikumenis. Tidak hanya pada kalangan sendiri, yaitu sesama Nasrani, tetapi juga memiliki jiwa oikumenis yang tinggi pada kalangan umat beragama yang lain. Karena tanpa jiwa ini, maka tidak akan pernah ada sebuah sikap kesadaran kebangsaan yang kuat, dan juga sebuah bentuk kepekaan sosial yang mendalam. Komaruddinn Hidayat mengatakan bahwa pada era modern ini pola keberagamaan manusia di masa depan haruslah dibangun pada asas saling menghargai. Karena sejatinya, daya tahan agama seharusnya diletakkan pada kemampuannya menjawab masalah-masalah kemanusiaan, dan bukannya pada upaya keras menjaga keindahan doktrin-doktrin keagamaan. Dan tidak hanya berhenti di situ, agama masa depan juga harus lebih menitikberatkan pada permasalahan-permasalahan empiris seperti lingkungan hidup, etika sosial, dan masa depan kemanusiaan, dengan mengandalkan pada kekuatan ilmu pengetahuan dan dibarengi oleh kesadaran spiritual yang bersifat mistis.[8]
Hanya dengan pemahaman yang demikian, pada akhirnya kader-kader politik Kristen bisa memiliki kepekaan sosial yang tinggi yang niscaya memampukan mereka untuk menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan, bahkan pula di atas kepentingan pribadi. Hanya dengan menyingkirkan sindrom anak tunggal (extra ecclesiam nulla salus), yaitu kebanggaan yang semu sebagai satu-satunya umat yang selamat, maka tugas pemberitaan Injil—yang semestinya tidak hanya terkait dengan perpindahan agama tetapi juga pembenahan struktur sosial masyarakat—dapat dituntaskan. Aritonang mengatakan tugas gereja dan orang Kristen adalah memberitakan Injil keselamatan itu, bukan mengkristenkan orang lain. Pemberitaan Injil itu dilakukan dengan kata, perbuatan dan keteladanan; dan biarlah masing-masing orang merespon, mempertimbangkan, dan mengambil keputusan atas apa yang didengar atau disaksikannya (2004:606).
Panggilan Berpolitik bagi Pemimpin-pemimpin Kristen
Politik adalah sebuah proses pembuatan atau pengambilan keputusan kolektif, dan pembuatan kebijakan-kebijakan publik bagi seluruh masyarakat. Oleh karenanya, politik tidak dapat terlepas dari gumpalan keputusan yang membuat tiap orang atau kelompok berada dalam konflik keputusan itu sendiri Tentu ketika aktor politik tersebut berada dalam konflik keputusan, maka tidak tertutup kemungkinan adanya pelanggaran moral yang dilakukan oleh para politisi. Ironisnya, pelanggaran ini seringkali diklaim oleh mereka sebagai langkah yang terpaksa diambil demi kepentingan bangsa dan negara. Tidak heran, dikarenakan tidak adanya kontrol moral yang kuat terhadap penguasa dan pelaku politik, perbuatan-perbuatan immoral karena rakus, ingin berkuasa, atau loyalitas kepada kroninya, menjadi sesuatu yang lumrah dilakukan oleh para politikus. Akibatnya, rakyat jua yang menjadi korban kekejaman politikus-politikus tersebut. Janji manis yang diumbar pada masa kampanye, pada akhirnya hanya sekedar sebuah hamburan kata-kata hampa untuk meraih sejumlah konstuen yang belakangan baru menyadari telah ditipu oleh wakil rakyat yang dipilihnya.
Di sinilah seharusnya pemimpin-pemimpin dan tokoh-tokoh Kristen memainkan peranannya, yaitu sebagai politikus moralis yang mengedepankan kepentingan rakyat dan menjadikan suara rakyat sebagai bagian dari suara Tuhan. Tetapi secara bersamaan harus disadari pula bahwa usaha mengutamakan kepentingan orang banyak tersebut, hanya bisa terwujud ketika terdapat jiwa oikumenis yang menghargai perbedaan di tengah bangsa ini. Karena ketika seorang politikus masih belum dapat menghormati ragam budaya dan religi yang ada, maka sudah tentu ia akan lebih mengedepankan kepentingan kelompok dan agamanya, dan juga pada kepentingan dirinya sendiri. Hanya pemimpin-pemimpin dan tokoh-tokoh Kristen yang mengalami evolusi dalam keberagamaannya—sebagai tuntutan dari agama masa depan—yang dapat mengalahkan godaan untuk merealisasikan kegandrungan pada zaman ideal.[9]
Sebagai bagian akhir dari tulisan ini, hendaklah para pemimpin-pemimpin Kristen tidak menafikan sebuah panggilan mulia dalam percaturan politik di Indonesia. Tentu harus disadari, bahwa panggung politik merupakan wilayah kerja yang wajib dimasuki karena telah diamanatkan oleh Kristus kepada pengikut-Nya. Bahkan kenyataan bahwa politik merupakan ladang tempat bekerja para tangan-tangan kotor demokrasi, seharusnya justru memacu semangat para pemimpin-pemimpin Kristen untuk terlibat secara aktif dalam percaturan politik dan memainkan peranan sebagai instrumen pengontrol moralitas.[10]
DAFTAR PUSTAKA
Almanak Parpol Indonesia, Pemilu ’99, Jakarta: API, tt.
Aritonang, Jan S, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Jakarta: Gunung Mulia, 2004.
Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Jakarta: Paramadina dan Pustaka Antara, 1999.
Darmaningtyas, “RUU Pendidikan yang Tidak Mencerdaskan Bangsa,” dalam Kompas 18 Maret 2003.
Fauzi, Nasrullah Ali, (ed), ICMI: Antara Status Quo dan Demokratisasi, Bandung: Mizan, 1995.
Heffner, Robert W, ICMI dan Perjuangan Menuju Kelas Menengah, Yogyakarta: Tiara Kencana, 1995.
Hidayat, Komaruddin dan M. Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan, Jakarta: Gramedia, 2003.
Holmes, Arthur F, Segala Kebenaran Adalah Kebenaran Allah, Surabaya: Momentum, 2000.
Kimball, Charles, Kala Agama Jadi Bencana, Bandung: Mizan, 2002.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, khususnya “Agama, Negara, dan Formasi Sosial:Sejarah Alienasi dan Oposisi Islam di Indonesia”, Bandung: Mizan, 1993.
Leirissa, R.Z, “Penderitaan dan Perjuangan”, di dalam Kewarganegaraan yang Bertanggungjawab, Jakarta: P.P. GMKI, 1990.
Mahasin, Aswab, “Kelas Menengah Santri: Pandangan dari Dalam,” dalam Richard Tanter dan Kenneth Young, (eds), Politik Kelas Menengah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1996.
Mardiatmadja B.S, ”RUU Sisdiknas, Agamawan Bersatulah!”, dalam Kompas 18 Maret 2003, hlm. 4
Pandiangan Andreas, Menggugat Kemandirian Golkar, Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 1996.
Ricklefs, M.C, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi, 2005.
Sjadzali, Munawir, Aspirasi Umat Islam Terpenuhi Tanpa Partai Islam, Jakarta: Depag RI, 1992.
Singgih, Emanuel Gerrit, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia, Jakarta: Gunung Mulia, 2002.
Sirait, Saut, Politik Kristen di Indonesia:Suatu Tinjauan Etis, Jakarta: Gunung Mulia, 2001.
Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, Jakarta: Gramedia, 2001.
Suseno, Franz Magnis, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia, 2003.
Thantowi, Pramono, Kebangkitan Politik Kaum Santri, Jakarta: PSAP, 2005.
Thomson, Dennis F, Etika Politik Pejabat Negara, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002.
Zahra, Abu (ed), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
*Penulis adalah alumni Institut Teologi Indonesia (INTI), Bandung.
[1] Hal ini merupakan salah satu keberhasilan gerakan Islam modernis yang sejak berdirinya menyediakan berbagai lembaga pendidikan modern. yakni munculnya generasi baru Muslim yang berpendidikan modern, serta meniti jalan ke dalam pelbagai pranata-pranata modern, termasuk panggung politik—walaupun tidak dipungkiri pemerintah punya andil dalam hal ini dengan mengeluarkan kebijakan SKB Tiga Menteri tanggal 5 Juni 1975 yang menetapkan agar proporsi dan komposisi kurikulum bagi madrasah adalah 70% mata pelajaran umum dan 30% mata pelajaran agama; dan juga selain itu menetapkan bahwa lulusan madrasah memenuhi syarat dan berhak melanjutkan sekolah pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi pada sekolah-sekolah umum—. Keterlibatan mereka dalam pelbagai pranata modern mulai terlihat di balik gerakan mahasiswa 1966. Satu setengah dasawarsa kemudian mereka muncul di panggung birokrasi dan di lingkungan tenaga profesi. Sebagian juga di bisnis modern, di panggung budaya, perguruan tinggi, juga di organisasi masyarakat, dan organisasi politik. Mereka lantas mengisi lapisan tengah dalam strata sosial baru, yang seringkali disebut sebagai kelas menengah (Mahasin, 1996: 58).
[2] Fakta kemudian membuktikan bahwa sepanjang dekade 1970-an dan 1980-an, dan berlanjut hingga kini, merupakan saksi sebuah kebangkitan Islam yang amat progresif dan prospektif. Hal tersebut bagi Greg Barton (1999:2) merupakan buah dari sikap Soeharto yang mengabaikan kelompok-kelompok Islam untuk tidak terlibat langsung dalam partai politik dan proses demokrasi. Maka ketika Islam tidak terlibat dalam politik kepartaian Orde Baru, justru terbuka banyak peluang dalam jalur-jalur kultural. Dengan kata lain, sebagaimana dikatakan Munawir Sjadzali (1992:2) bahwa aspirasi umat Islam ternyata lebih dapat terpenuhi justru pada waktu di negeri ini tidak lagi terdapat partai Islam.
[3] Dua komponen institusional Golkar adalah ABRI, khususnya militer, dan birokrasi, khususnya Depdagri. Soeharto memelihara kesatuan tujuan di dalam dan antar lembaga-lembaga tersebut dalam dua hal: lewat kontrol terhadap para pejabat di puncak hierarki ABRI, dan mengangkat para pemimpin Golkar yang mampu dan yang kesetiaannya dapat dipercaya. Pada saat yang sama Soeharto meyakinkan bahwa tak seorang pun dari pemimpin tersebut dalam posisi tawar yang kuat untuk mengumpulkan sumber kekuasaan yang cukup untuk menantangnya. Secara tipikal, ini dilakukan dengan mengangkat para pemimpin Golkar di luar hierarki militer, dan bahkan yang bersaing dengannya. Jadi, warna Islam dalam kepemimpinan baru ABRI dan Golkar terutama harus dilihat dari sudut penilaian Soeharto, yakni sebagai sumber politik yang memperkuat posisinya vis-à-vis saingan potensial kekuasaan (Liddle, 1995:220).
[4] Hubungan akomodatif ini pun ditandai dengan diterapkannya beberapa kebijakan negara yang sejalan dengan kepentingan sosial-ekonomi dan politik umat Islam. Kebijakan-kebijakan tersebut meliputi spektrum yang sangat luas, baik aspek struktural, legislatif, infrastruktural maupun kultural (Lihat Thantowi, 2006:87-116).
[5] Sirait mengutip kesaksian Leimena yang dikunjungi anggota CSV op Java, Mr. Tan Po Goan. Mr. Goan bergaul erat dengan tokoh-tokoh intelektual Belanda seperti Prof. Logemann, Dr. Kollewijn, Prof. Mr. Schepper, Ds. Verkuyl, dan lain-lain. Dalam penjara Jepang di Cimahi, tokoh-tokoh intelektual Belanda itu pernah membicarakan masa depan bila Jepang telah dikalahkan Sekutu. Mereka mengimpikan suatu struktur politik baru, dimana di antara lain Dr. Leimena akan diberi tempat penting sebagai wakil dari bangsa Indonesia. Ketika Mr. Goan menyampaikan berita ini kepada Leimena di Tanggerang, Leimena menjawab bahwa ia tetap berada di pihak Republik—lihat R.Z. Leirissa,“Penderitaan dan Perjuangan”, di dalam Kewarganegaraan yang Bertanggungjawab (Jakarta:P.P. GMKI, 1990, hal 116).