Lihat ke Halaman Asli

Memformat Ulang Agama Untuk Perdamaian

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Krisis Yang Selalu Eksis

Dunia yang damai merupakan tujuan luhur manusia yang diajarkan dalam agama manapun. Agama mana yang mengajarkan untuk melakukan pembantaian, dan menumpahkan darah orang-orang yang berbeda agama? Penulis yakin tidak ada agama yang sekejam itu. Buddha mengajarkan kesederhanaan, Kristen mengajarkan cinta kasih, Konfusianisme mengajarkan kebijaksanaan, dan Islam mengajarkan kasih sayang bagi seluruh alam.

 

Bila tujuan luhur manusia dan semua agama sangat ingin menghendaki perdamaian dan memiliki komitmen kuat terhadap anti-kekerasan, lalu mengapa kekerasan agama itu kerap terjadi dengan korban yang tidak terhitung jumlahnya? Ini menjadi sesuatu yang bertolak belakang dengan falsafah agama yang banyak mengajarkan nilai-nilai luhur. Namun ironisnya, ternyata agama sendiri juga bertanggung jawab terhadap terjadinya pelbagai kerusakan di segala bidang di muka bumi ini. Agama yang yang seyogyanya mengajarkan kesejukan, kedamaian, kesentosaan, kasih sayang dan nilai-nilai ideal lainnya, saat ini sudah berevolusi dalam wajah yang keras, garang dan menakutkan. Agama  juga kerap dihubungkan dengan radikalisme, ekstrimisme, bahkan terorisme. Agama pun dikaitkan dengan bom bunuh diri, pembantaian, penghancuran gedung, dan lain-lain yang menunjukkan wajah baru agama masa kini.

 

Jalaludin Rakhmat dalam bukunya yang berjudul Psikologi Agama mengatakan agama acapkali dapat dilihat dalam realita yang saling bertentangan. Agama bisa memotivasi pengabdian tanpa batas, tetapi ia pula dapat memotivasi tindak kekerasan tanpa belas kasihan. Agama pun bisa mengilhami pencarian ilmu, namun ia pula dapat menyuburkan takhayul. Agama jualah yang dapat memekikkan perang paling keji, dan pada saat yang bersamaan dapat menebarkan kedamaian (2003).   

           

Agama: Pemicu Konflik Dalam Peradaban

Peran agama sebagai perekat heterogenitas dan pereda konflik sudah sepatutnya dipertanyakan. Milyaran manusia yang menghuni muka bumi ini begitu heterogen dalam pelbagai suku, etnis, ras, agama, kultur, peradaban dan sebagainya. Namun sayangnya, perbedaan-perbedaan tersebut seringkali berakhir dengan konflik. Dan konflik-konflik yang paling mudah menyebar dan sangat penting sekaligus paling berbahaya bukanlah konflik antarkelas sosial, atau antar golongan kaya dengan golongan miskin, ataupun juga antara kelompok-kelompok ekonomi lainnya; melainkan konflik antara orang-orang yang memiliki entitas-entitas budaya yang berbeda-beda. Namun, selama berabad-abad, perbedaan entitas agama justru telah menimbulkan konflik yang paling keras, paling lama, paling luas, dan paling banyak memakan korban. Dalam citranya yang negatif, agama telah memberikan kontribusi terhadap terjadinya konflik, penindasan dan kekerasan. Agama telah menjadi tirani, di mana atas nama Tuhan orang melakukan kekerasan, menindas, melakukan ketidakadilan dan pembunuhan.

 

Dalam konteks kekinian, bentuk-bentuk konflik, kekerasan dan perang agama itu acapkali dihubungkan dengan bangkitnya fundamentalisme agama. Fundamentalisme agama mengekspresikan cita-cita sosial-politiknya dalam bentuk ekstrimisme dan kekerasan sebagai reaksi terhadap kondisi kehidupan manusia yang dianggapnya tidak ideal. Fundamentalisme, sebagaimana dikatakan Karen Armstrong, merupakan salah satu fenomena paling mengejutkan di akhir abad 20. Ekspresi fundamentalisme ini terkadang cukup mengerikan. Para fundamentalis menembaki jamaah yang sedang salat di masjid, membunuh dokter dan perawat dalam klinik aborsi, membunuh presiden, dan bahkan mampu menggulingkan pemerintahan yang kuat. Peristiwa paling mutakhir yang menghebohkan dunia, yaitu hancurnya gedung World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat, September 2001 lalu, juga dihubungkan dengan gerakan fundamentalisme. 

 

Ciri-ciri umum yang dapat memberi beberapa penjelasan tentang makna fundamentalisme adalah sebagai berikut:



  • Mereka meyakini agama (ajaran, dogma, dan kitab sucinya) adalah yang paling benar.

  •  Mereka meyakini agama mereka saja yang dapat menyelesaikan pelbagai permasalahan dunia.

  • Mereka menentang penafsiran, pendekatan, dan kritik yang dilancarkan oleh arus modern kepada agama mereka.

  • Mereka menekankan pentingnya untuk menjadi penganut agama yang sejati dengan pengamalan doktrin yang paling murni.

  • Mereka memimpikan terciptanya masyarakat ideal yang dibangun berdasarkan ajaran agama mereka.

  • Mereka adalah orang-orang yang dangkal dan superfisial, anti intelektual, dan pemikirannya sebenarnya tidak bersumberkan Kitab Suci dan budaya intelektual tradisional agama mereka.

 

Memformat Ulang Agama—Jalan Untuk Dunia Yang Lebih Baik

Sebuah mobil yang memiliki kerusakan pada mesinnya, seyogyanya dibawa ke bengkel dan diperbaiki sehingga kerusakannya tidak bertambah parah. Demikian pula halnya jika tujuan luhur dari agama ternyata tidak sejalan dengan praktek kehidupan umat, maka pastilah ada yang salah pada agama. Oleh karena itu ia harus segera diperbaiki, karena jika tidak segera diperbaiki, maka agama akan menjadi monumen usang yang disfungsional. Dalam hemat penulis, setidaknya ada dua pilihan yang bisa diterapkan pada agama terkait dengan kerusakan padanya.

Pilihan pertama, membunuh agama. Jika sebuah barang sudah tidak bermanfaat, disfungsional, dan justru membebani si pemilik barang tersebut, lebih baik barang tersebut dibuang. Demikian pula jika agama tidak bisa lagi mendatangkan perdamaian, mewujudkan dunia yang lebih baik, dan membebaskan manusia dari dominasi dan pengaruh keduniawian yang menyebabkan tumpulnya kesadaran transendental manusia, maka lebih baik agama disingkirkan saja dari kehidupan individu dan sosial.

 

Sigmund Freud sudah pernah menyampaikan pemikiran untuk menyingkirkan agama dari kehidupan manusia. Ia mengatakan mengatakan bahwa agama itu tidak lebih dari sekadar obsesi neurotis manusia yang tidak ubahnya seperti seorang anak-anak yang memiliki kerinduan kepada bapak yang mengayomi dan melindungi. Kerinduan ini akhirnya diproyeksikan kepada suatu citra khayalan yang manusia sebut Tuhan. Karena itu menurut Freud agama adalah ilusi yang berbahaya baik bagi individu maupun masyarakat. Hanya dengan meninggalkan agama dan ajarannya yang dogmatis dan bertumpu pada sains dan akal, individu dan masyarakat akan berkembang melewati tahap kekanak-kanakannya.

 

Sudah barang tentu, pilihan ini akan menuai protes keras dari kalangan rohaniwan yang khususnya telah mendapat manfaat ekonomi dari agama formal yang ada. Alasan selanjutnya jika agama formal yang ada saat ini dibunuh, diruntuhkan, diberangus—apapun istilahnya—maka barang tentu sudah harus tersedia bagi manusia substite’s religion sebagai pengganti agama formal yang ada. Yang menjadi masalah, agama sampai sekarang masih merupakan komoditi yang kuat yang bisa memberikan kelegaan batiniah bagi manusia. Selain itu sains yang menurut Freud bisa menggantikan agama ilusi ataupun agama formal yang ada, belumlah cukup kuat untuk menyangga peradaban.

 

 

Bagaimana dengan pilihan kedua? Pilihan kedua adalah menata ulang agama formal yang ada sekarang. Pilihan ini lebih masuk akal dan masih bisa memuaskan pelbagai pihak yang berkepentingan. Mengapa? Karena dalam memformat ulang agama, yang utama harus dilakukan adalah pembenahan dogma-dogma yang ofensif, atau doktrin-dokrin yang berpotensi menyebabkan suatu umat beragama merasa lebih superior dibandingkan dengan umat beragama yang lain. Seperti istilah bangsa pilihan atau umat kepunyaan Tuhan, adalah sedikit contoh dari istilah keagamaan yang harus ditata ulang karena ternyata istilah tersebut berpotensi menimbulkan pelbagai konflik dan keretakan sosial. Dan jangan dilupakan juga istilah penginjilan ataupun dakwah merupakan kegiatan yang rentan menimbulkan friksi dalam hubungan sosial masyarakat. Karena sering kali tanpa disadari mandat penginjilan atau dakwah itu disusupi dengan semangat penaklukan yang biasa ada dalam mentalitas penjajah yang selalu ingin menaklukan negeri yang dijajahnya.  

 

Yang terutama harus disadari oleh semua umat beragama untuk terwujudnya dunia yang penuh dengan kedamaian dan tanpa kekerasan, haruslah diciptakan sebuah format keberagamaan masa depan yang lebih mengedepankan sikap menghargai persamaan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tiap-tiap agama. Karenanya tidak satu orang pun yang pantas dan merasa berhak mengatakan bahwa agamanya lebih baik dari agama yang lain. Sejatinya, agama adalah relatif. Ia terbatas, parsial, dan tidak lengkap. Agama itu dapat diibaratkan seperti sebuah puzzle yang di saat terpisah-pisah tidak memiliki nilai estetika sama sekali. Tetapi ketika kepingan-kepingan puzzle itu disatukan, maka ia baru dapat membentuk sebuah gambar yang indah. Doktrin-doktrin yang terdapat dalam agama-agama formal yang ada sebenarnya tidak bisa berdiri sendiri. Ketika doktrin itu berdiri sendiri, terpisah dari yang lain, maka doktrin itu tidak dapat memberikan pencitraan yang lengkap tentang Tuhan, tentang manusia, dan tentang ciptaan-Nya. Agama juga tidak ubahnya seperti sebuah cermin kecil yang tidak cukup jika digunakan oleh seseorang untuk melihat seluruh tubuhnya. Bukankah untuk melihat seluruh tubuh, seseorang harus melihatnya melalui sebuah cermin yang besar? Bahkan untuk melihat benda-benda mikroskopis, dibutuhkan sebuah mikroskop dengan pembesaran yang bisa diatur-atur.

 

Dengan demikian jika manusia ingin memahami Tuhan secara utuh, ia harus melihatNya dengan menggunakan pelbagai sudut pandang agama. Sebagai contoh dalam konteks kekristenan, untuk melihat Tuhan yang penuh kasih sayang, maka seseorang dapat melihatnya di dalam pribadi Kristus. Tetapi jika manusia ingin melihat sosok Tuhan yang murka terhadap dosa manusia, maka ia bisa berkaca kepada Tuhan di dalam Judaisme yang tidak segan-segan memerintahkan umat-Nya untuk membunuh orang-orang yang hidup dalam penyembahan berhala. Oleh karena itu menganggap suatu agama dengan pelbagai doktrinnya secara intrinsik lebih baik dari yang lain, merupakan sebuah sikap yang salah, ofensif, dan merupakan pandangan yang sempit.

 

Jadi apa yang harus dilakukan oleh umat agama untuk mewujudkan dunia yang lebih tenang untuk dihuni? Ini bisa terjadi jika saja umat beragama tidak sibuk saling beradu kontes kecantikan doktrin-doktrin yang mereka miliki. Dunia akan menjadi dunia yang damai ketika doktrin dan pelbagai polemik yang ditimbulkannya dikesampingkan terlebih dahulu. Alih-alih beradu argumentasi mengenai agama yang diridhoi Tuhan dan agama yang tidak diridhoi, bukankah lebih baik jika umat beragama duduk bersama dan menitikberatkan konsentrasi mereka pada penyelesaian permasalahan-permasalahan lingkungan hidup, etika sosial, dan masa depan kemanusiaan. Tidak ada satu agama pun yang tidak mengajarkan umatnya untuk saling bertolong-tolongan. Ketika agama menjadi dasar pijakan bagi para umat beragama untuk bergandengan tangan menyelesaikan krisis lingkungan hidup, mengentaskan kemiskinan, memerangi kebodohan, dan pelbagai penyakit-penyakit sosial lainnya, maka dunia yang damai dan tanpa kekerasan bukan lagi impian di siang bolong.

 

 

Dunia Baru Dengan Agama Baru

Sudah terbukti agama memiliki andil dalam pelbagai konflik di planet bumi yang sudah semakin uzur ini. Dari perang salib, perang saudara Serbia-Bosnia, sampai konflik di Ambon. Puluhan juta jiwa telah terbunuh sia-sia. Anak-anak yang seharusnya dipelihara agar menjadi harta masa depan, tewas dibunuh dengan sadis hanya karena perbedaan agama, dan ketidaksetujuan atas sebuah doktrin. Perempuan yang diciptakan untuk menjadi penolong seorang pria dan seharusnya dilindungi, diperkosa dengan sadis oleh pria-pria brengsek yang mengaku kaum beragama. Atas nama Tuhan seseorang bisa mencabut nyawa seseorang. Inikah dunia dan peradaban yang benar? Dunia yang katanya dihuni oleh manusia-manusia agamis, justru berubah menjadi medan peperangan yang mengerikan. Peradaban yang katanya sudah beradab, tetapi atas nama agama sanggup melakukan tindakan yang biadab. Bagaimana jalan keluar dari semua permasalahan ini? Biarkan agama tetap menjadi agama yang personal. Halangi usaha agama yang berusaha menyeruak masuk dalam ruang publik. Format ulang doktrin-doktrin yang berpotensi menimbulkan ketegangan dalam interaksi sosial. Dan pusatkan energi untuk mengatasi masalah-masalah kemanusiaan. Inilah agama masa depan. Agama yang tidak sibuk mengurusi kepercayaan orang lain. Agama dengan doktrin-doktrin yang mengedepankan semangat persaudaraan tanpa mencerca perbedaan yang dimiliki oleh agama lainnya. Dan agama yang duduk bersama guna memikirkan solusi yang efektif bagi penyelesaian masalah-masalah kemanusiaan.

  

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline