Lihat ke Halaman Asli

Amis

Diperbarui: 1 Januari 2016   13:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

2015 sayang, 2015 kutendang. Malam pergantian tahun seperti biasa semarak di tiap-tiap rumah. Ingin berlama-lama menikmati tahun 2015 yang tersisa paling 5 jam lagi. Tahun 2015 yang di tanggal 1 Januari 2015 begitu di sayang-sayang dan dipegang penuh optimisme, kini siap-siap ditendang jauh.

Barbeque-an, istilah populer untuk anak muda atas acara bakar-bakaran makanan. Entah kenapa malam tahun baru jadi identik dengan bakar-bakaran, panggang-panggangan. Padahal, penjual sate, ikan bakar, dan ayam bakar, setiap hari melakukan ritual membuat bara api tersebut. Mungkin  barbeque-an ini sebagai wujud simbolis membakar yang lama, membumihanguskan kenangan buruk, atau kenangan manis yang sudah habis rasanya, yang sempat menemani di tahun sebelumnya.

“Amis sekali baunya! Rasanya mau muntah!”

Hidungku menangkap bau yang teramat amis. Entah apa yang sedang dipanggang oleh anakku di perkarangan rumah. Mungkin ikan yang sudah busuk, dibeli murah. Mungkin juga cumi-cumi yang sakratul mautnya tidak dipimpin sehingga mati mengenaskan. Atau udang satang hasil mutasi, karena kulihat memang besar sekali ukurannya.

“Sumpah, amis benar! Apa yang kau bakar, Mar?”

Mara, anak perempuan sulungku menoleh dengan wajar keheranan. Sontak dia berdiri.

“Papa lihat sendiri, ini sate pa. Sate ayam. Mana ada sate ayam amis? Adanya sate ayam harum. Coba papa dekatkan hidung ke sini. Tuh, harum kan. Mana ada amis-amisnya”

Tak salah pernyataannya barusan. Hanya bau gurih dan sedikit gosong yang menyeruak dari arah anglo tempat membakar. Kugulirkan mata di sekitar tempat Mara beroperasi menjadi tukang bakar dan panggang dadakan. Ah, itu dia, setumpuk makanan laut yang belum dibakar.

“Mungkin itu, Mar, yang membuat amis. Makanan lautmu itu. Papa sudah kasih uang lumayan banyak untuk kau belanjakan di pasar. Tetapi kenapa dibelikan ikan-ikan yang tak segar? Baunya minta ampun, rasanya papa mau muntah. Nah, uangnya tak kau kembalikan lagi. Kau simpan sendiri ya? Korupsi kau ya!”

“Papa malam tahun baru jangan merusak suasana deh! Mara beli di tempat langganan! Harusnya papa memang ikut tadi supaya tidak menuduh sembarangan, supaya papa melihat ikan-ikan yang masih berusaha membebaskan diri dari ember air murahan, masih berjumpalitan frustasi, mungkin masih memikirkan anak istrinya di lautan. Bukan ikan mati kemaren dan murah seperti yang papa tuduhkan. Bilang anaknya korupsi lagi. Emangnya Mara kayak papa apa?”

Panas mukaku. Dasar anak tak tahu diri. Berani-beraninya ngatain ayahnya sendiri koruptor. Kalau didengar tetangga bagaimana coba? Memangnya uang yang dia pakai buat bakar-bakaran malam ini dari mana? Mengharapkan gaji saja? Bisa-bisa yang dia bakar cuma lidi penusuk sate tanpa dagingnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline