Lihat ke Halaman Asli

Pembangunan Perikanan Menuju Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

Diperbarui: 11 Juli 2015   09:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

 

Salah satu program pembangunan utama Kabinet Kerja adalah menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD). Yakni sebuah Indonesia yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis pada ekonomi kelautan, hankam dan budaya maritim. Selain itu, Indonesia kelak diharapkan menjadi rujukan bagi bangsa-bangsa lain di dunia dalam berbagai bidang kelautan, mulai dari ekonomi, IPTEK, hankam sampai cara menata pembangunan kelautan (ocean governance). Dalam jangka pendek - menengah (2015 – 2020), sektor-sektor ekonomi kelautan dituntut untuk mampu memecahkan permasalahan internal sektornya masing-masing, dan secara simultan berkontribusi secara signifikan dalam mengatasi sejumlah permasalahan bangsa.

Sebagai bagian integral dari ekonomi kelautan, ruang lingkup ekonomi dari sektor perikanan tidak hanya perikanan tangkap, tetapi juga perikanan budidaya, industri pengolahan dan pemasaran hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan serta industri dan jasa terkait. Selain IUU fishing dan kerusakan lingkungan di beberapa wilayah pesisir dan laut, permasalahan yang lebih serius yang tengah dihadapi sektor perikanan adalah (1) kemiskinan nelayan dan pembudidaya ikan; (2) rendahnya tingkat pemanfaatan potensi budidaya laut (mariculture), tambak, dan industri bioteknologi kelautan; dan (3) rendahnya daya saing sektor ini menghadapi MEA dan rejim perdagangan bebas lainnya. Sedangkan, permasalahan krhonis bangsa yang diwariskan oleh pemerintahan sebelumnya berupa tingginya pengangguran dan kemiskinan, kesenjangan kelompok kaya vs miskin yang kian melebar, disparitas pembangunan antar wilayah yang sangat timpang, gizi buruk, rendahnya pertumbuhan ekonomi, daya saing dan Indeks Pembangunan Manusia.

Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kala bersama tim Kabinet Kerja dengan Nawa Cita nya bertekad untuk mengatasi sejumlah permasalahan di atas. Dan, bila pada akhir Oktober Indonesia berstatus sebagai negara berpendapatan menengah-bawah dengan rata-rata GNP per kapita 4.200 dolar AS, maka pada akhir 2019 ditargetkan naik kelas sebagai negara berpendapatan menengah-atas dengan GNP per kapita sekitar 7.000 dolar AS. Alih-alih, pertumbuhan ekonomi pada triwulan-I hanya 4,7 persen, terendah dalam enam tahun terakhir; nilai tukar rupiah turun drastis ke Rp 13.400 per dolar AS; IHSG juga turun signifikan; harga bahan pangan pokok melambung tinggi; daya beli masyarakat tergerus; dan pengangguran bertambah 400.000 orang.

Sebab itu, pembangunan sektor perikanan mestinya ditujukan untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkualitas, daya saing, dan kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan serta masyarakat lainnya secara ramah lingkungan dan berkelanjutan. Sayang, gebrakan pemerintah dalam delapan bulan ini justru telah mengakibatkan mayoritas industri pengolahan perikanan gulung tikar, pengangguran ratusan ribu nelayan, pembudidaya, karyawan pabrik, dan membuat iklim investasi sangat menakutkan. Dengan dalih untuk menegakkan kedaulatan dan memelihara kelestarian lingkungan. Padahal, banyak teknik manajemen perikanan yang dapat mengawinkan antara tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, daya saing, dan kesejahteraan dengan kepentingan memperkokoh kedaulatan dan konservasi lingkungan.

Jalan keluar

Kita seluruh komponen bangsa mendukung upaya pemerintah untuk menumpas IUU fishing dan mafia perikanan sampai akar-akarnya. Namun, tidak bijaksana bila upaya tersebut melumpuhkan ekonomi dan bisnis perikanan. Harusnya yang dibabat habis itu yang jahat dan tidak bisa diperbaiki. Pengusaha, nelayan, pembudidaya, dan industriawan serta pedaganag perikanan yang baik atau sedikit nakal mestinya justru lebih dibesarkan dan dibina. Mulai sekarang, kita harus merevitalisasi seluruh unit usaha (bisnis) perikanan yang ada, dengan cara meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan keberlanjutan (sustainability) nya melalui aplikasi IPTEK dan manajemen yang tepat. Secara simultan, kita buka usaha perikanan di kawasan pesisir, pulau kecil, dan lautan yang belum tersentuh pembangunan; dan kita kembangkan usaha dan ekonomi perikanan baru seperti budidaya di laut lepas (offshore mariculture), budidaya tambak dengan produktivitas tinggi dan ramah lingkungan (seperti BUSMITEK, probiotik, dan bioflock), industri pengolahan dan pengemasan produk perikanan yang tanpa limbah dan berdaya saing tinggi, dan industri bioteknologi kelautan.

Kedepan setiap unit usaha perikanan harus memenuhi skala ekonominya supaya keuntungan (pendapatan) nya bisa mensejahterakan pelaku usaha, khususnya nelayan dan pembudidaya, yakni minimal Rp 4 juta/orang/bulan. Selain itu, usaha perikanan mesti menerapkan pendekatan sistem rantai suplai terpadu, yakni produksi – pengolahan (pasca panen) – pasar dengan aplikasi teknologi mutakhir pada setiap mata rantai suplai. Dan, yang tidak kalah penting semua usaha perikanan harus bersifat ramah lingkungan dan inklusif guna menjamin kelestarian sumber daya dan keadilan sosial. Pemerintah wajib menyediakan infrastruktur (seperti pelabuhan perikanan, jaringan irigasi tambak, listrik, telkom, jalan, dan air bersih) yang berkualitas dan mencukupi. Demikian halnya dengan sarana produksi perikanan (seperti alat tangkap, BBM atau energi terbarukan, benih, pakan, dan perbekalan melaut) yang berkualita, relatif murah, dan mencukupi. Pemerintah bekerjasama dengan swasta atau melalui BUMN juga harus menjamin pasar komoditas perikanan dari hasil tangkapan nelayan maupun pembudidaya, dengan harga sesuai nilai keekonomiannya.

Visi mulia Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla untuk menjadikan bidang kelautan sebagai primemover perekonomian bangsa menuju Indonesia sebagai PMD harus pula didukung dengan dana APBN dan perbankan yang mencukupi. Selain itu, karena ekonomi kelautan ini merupakan frontier industry, maka perlu disediakan skim kredit khusus, seperti kredit likuiditas (policy banking) yang telah sukses mendukung ekonomi dan industri sawit dan tekstil di masa Orde Baru sampai sekarang.

Sebagai ilustrasi betapa besarnya potensi ekonomi sektor perikanan adalah industri bioteknologi kelautan, yang menurut Ministry of Maritime Affairs and Fisheries, Korsel (2002) nilai ekonominya sekitar 4 kali lipat industri teknologi informasi. Yang meliputi: (1) ekstraksi senyawa bioaktif (natural products) dari biota laut untuk industri makanan & minuman, farmasi, kosmetik, dan puluhan jenis industri lain; (2) perbaikan genetik untuk menghasilkan indusk dan benih unggul; dan (3) bioremediasi. Lalu, bila kita mampu mengusahakan 600.000 ha tambak (27% dari total luas lahan pesisir Indonesia yang cocok untuk budidaya udang dan rumput laut) dengan alokasi: untuk budidaya udang Vanammei intensif seluas 200.000 ha, untuk budidaya Vanammei semi-intensif 100.000 ha; dan untuk budidaya udang windu semi-intensif 200.000 ha, dan 100.000 ha untuk budidaya rumput laut Gracillaria spp. Maka, pendapatan kotor (besarnya perputaran ekonomi wilayah) yang dihasilkan sekitar 70 milyar dolar AS (Rp 910 trilyun, hampir separuh APBN 2015), dan tenaga kerja yang terserap mencapai 9 juta orang. Belum lagi, kalau kita mampu mengembangkan usaha mariculture yang potensi produksinya sekitar 45 juta ton/tahun, dan hingga kini baru diproduksi sekitar 15% nya.

Untuk perikanan tangkap, kita kembangkan sedikitnya 5.000 unit kapal ikan nasional berukuran diatas 100 GT dengan alat tangkap yang efisien dan ramah lingkungan untuk memanfaatkan sumber ikan di wilayah-wilayah laut yang selama ini menjadi ajang pencurian ikan (illegal fishing) oleh nelayan asing atau yang masih underfishing seperti Laut Arafura, L. Banda, L. Sulawesi, Teluk Tomini, Laut Natuna, dan ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) di Samudera Hindia dan Pasifik. Kapal-kapal ikan dan nelayan yang selama ini beroperasi di wilayah laut yang telah overfishing, seperti perairan Pantura dan perairan pantai lainnya harus dilatih supaya mampu beroperasi di wilayah-wilayah laut yang masih underfishing atau laut lepas (ocean-going fisheries). Nelayan tradisional yang sebagian besar masih miskin harus ditingkatkan kapasitas dan etos kerja nya, sehingga pendapatannya minimal Rp 4 juta)/nelayan/bulan. Angka ini berasal dari 2 dolar AS/orang/hari (garis kemiskinan versi Bank Dunia) dikalikan dengan 5 orang (rata-rata ukuran keluarga nelayan) dan dikalikan dengan 30 hari dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sekitar Rp 13.000.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline