Lihat ke Halaman Asli

Akuakultur: Raksasa Ekonomi Indonesia yang Tertidur

Diperbarui: 29 Juli 2016   08:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Di tengah lesunya sektor-sektor ekonomi di daratan (seperti tekstil, elektronik, properti, sawit, batu bara, dan mineral) akibat perlambatan ekonomi global yang berdampak pada semakin menurunnya pendapatan negara (pajak dan PNBP), nilai ekspor, dan membludaknya pengangguran dan kemiskinan; sektor-sektor ekonomi kelautan mestinya menjadi ’penyelamat’ dari beragam masalah bangsa tersebut. Dalam khasanah pembangunan ekonomi, yang dimaksud ’penyelamat’ di sini adalah sektor-sektor ekonomi yang mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi (di atas 7 persen per tahun), inklusif (banyak menyerap tenaga kerja dan mensejahterakan rakyat), dan berkelanjutan (sustainable).

Salah satu dari 11 sektor ekonomi kelautan Indonesia yang sangat potensial untuk menjadi ’penyelamat’ adalah sektor perikanan budidaya (aquacultureatauakuakultur).  Pasalnya, sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai 95.181 km (terpanjang kedua di dunia setelah Kanada), Indonesia memiliki sekitar 24 juta ha wilayah perairan laut dangkal (coastal waters) yang sesuai (suitable) untuk usaha budidaya laut (mariculture) dengan potensi produksi lestari sekitar 60 juta ton/tahun (terbesar di dunia) dan nilai ekonomi langsung (on-farm) sekitar 120 milyar dolar AS per tahun.  Sekitar 3 juta ha lahan pesisir (coastal lands) cocok untuk usaha budidaya tambak dengan potensi produksi 30 juta ton/tahun dan nilai ekonomi on-farm 60 milyar dolar AS/tahun.  Sekitar 30%  (60 juta ha) dari total luas lahan daratan Indonesia (190 juta ha) berupa ekosistem perairan tawar, seperti sungai, danau, bendungan, dan perairan rawa.  Dari 60 juta ha  perairan tawar itu, sekitar 5 persen (3 juta ha) cocok untuk usaha akuakultur dengan potensi produksi 15 juta ton/tahun dan nilai ekonomi on-farm 22,5 milyar dolar AS/tahun.  Belum lagi potensi usaha akuakultur di kolam air tawar, sawah (mina-padi), saluran irigasi (dengan keramba tancap), dan akuarium. 

Dengan demikian, potensi total produksi akuakultur lebih dari 105 juta ton/tahun dan potensi total ekonomi on-farm usaha akuakultur di perairan laut, payau (tambak), dan tawar (darat) lebih dari 202,5 milyar dolar AS/tahun, hampir sama dengan APBN 2016.  Kalau setiap ha usaha akuakultur memerlukan satu orang tenaga kerja saja, maka total lapangan kerja on-farm yang bisa disediakan sekitar 30 juta orang.  Belum lagi nilai ekonomi dan tenaga kerja yang bisa diserap oleh beragam kegiatan industri hulu dan industri hilir (backward-and forward-linkage industries) dari bisnis akuakultur tersebut. 

Sementara itu,  pada 2014 total produksi budidaya laut baru 9,4 juta ton (16% total potensi produksi), budidaya tambak 2,4 juta ton (8%), dan budidaya perairan tawar 2,8 juta ton (19%). Artinya, dari sisi suplai, peluang bisnis akuakultur masih sangat terbuka lebar dan luar biasa besar.

Perlu juga dicatat, bahwa akuakultur bukan hanya menghasilkan protein hewani berupa ikan, moluska (kekerangan); dan krustasea (udang, lobster, kepiting, dan rajungan). Tetapi, juga rumput laut, teripang, invertebrata, dan ribuan jenis organisme perairan lainnya sebagai bahan baku (raw materials) untuk industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, cat, film, bioenergi, dan ratusan jenis industri lainnya.  Selain itu, marikultur juga bisa menghasilkan perhiasan yang sangat mahal seperti kerang mutiara.  Dan, juga dapat berfungsi sebagai penyerap karbon, sehingga turut mencegah terjadinya pemanasan global (global warming). 

Seiring dengan jumlah penduduk dunia yang terus bertambah dan meningkatnya kesadaran umat manusia tentang gizi ikan dan seafood yang lebih sehat dan mencerdaskan, maka permintaan (pasar) bagi sejumlah komoditas dan produk akuakultur juga diyakini bakal terus membesar.   Selain itu, dari sisi penggunaan pakan, sistem produksi ikan budidaya enam kali lebih efisien ketimbang sistem produksi daging sapi (FAO, 2015).  Karenanya, sangat logis bila dalam dua dekade terakhir, akuakultur merupakan sektor pangan dengan laju pertumbuhan tertingg dan tercepat di dunia.

Teknologi produksi perikanan budidaya itu relatif mudah dan kebanyakan masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan usaha akuakultur.   Modal investasi dan modal kerja yang dibutuhkan juga relatif kecil.  Jika dikerjakan secara profesional dan penuh ketekunan mengikuti Best Aquaculture Practices (Tata Cara Perikanan Budidaya Yang Terbaik) dan ramah lingkungan, usaha akuakultur dapat menghasilkan keuntungan yang besar (lucrative) dan mensejahterakan rakyat.  Lebih dari itu, pembangunan dan bisnis akuakultur akan secara signifikan membantu bangsa ini bukan saja akan mampu berswasembada pangan, farmasi, kosmetik, dan bioenergi, tetapi juga menjadi pengekspor utama keempat jenis produk yang dibutuhkan umat manusia se jagat raya.

Karena usaha akuakultur hampir semuanya berlokasi di wilayah-wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, pedesaan, dan wilayah perbatasan, maka pembangunan dan bisnis akuakultur akan membangkitkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran baru di luar Jawa yang menyebar di seluruh wilayah NKRI. Dengan demikian, masalah khronis bangsa lainnya berupa disparitas pembangunan antar wilayah yang sangat timpang, dimana P. Jawa yang luasnya hanya 5,5% total luas wilayah Indonesia menyumbangkan 60% terhadap perekonomian nasional (PDB) juga bakal lebih seimbang, produktif, dan berdaya saing.

Program Teknikal

Singkatnya, sektor akuakultur bagi Indonesia bak ”Raksasa Ekonomi Yang Tertidur (The Sleeping Economy Giant)”.  Sangat disayangkan, hampir 2 tahun Pemerintahan Kabinet Kerja, kebijakan dan program KKP fokusnya (lebih dari 60%) pada perikanan tangkap, terutama penenggelaman kapal.  Kesejahteraan nelayan justru terkorbankan, dan akuakultur dipandang sebelah mata. Padahal nilai ekonomi langsung (ikan hasil tangkapan dari laut) hanya sekitar 12 milyar dolar AS atau 5% dari potensi total nilai ekonomi langsung akuakultur.

Oleh sebab itu, supaya sektor akuakultur dapat secara konkrit dan dalam jangka pendek (sekarang – 2019) menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (> 10% per tahun), menciptakan lapangan kerja yang besar, menunjang kedaulatan pangan serta farmasi, dan mensejahterakan rakyat secara berkelanjutan; maka kita mulai sekarang harus fokus melaksanakan 3 program nasional berbasis komoditas akuakultur unggulan. Yakni komoditas (spesies) yang memiliki potensi produksi yang tinggi, harga jualnya mahal, teknologinya relatif mudah, dibutuhkan oleh konsumen (pasar) domestik maupun ekspor, dan menghasilkan keuntungan cukup besar. Atas dasar kriteria itu, maka komoditas unggulan untuk usaha budidaya di laut antara lain adalah kerapu bebek, kerapu macan, kerapu sunu, kakap, bawal bintang, baronang, gobia (tropical gindara), lobster, gonggong, kerang hijau, abalone, teripang, kerang mutiara, dan berbagai spesies rumput laut.  Komoditas unggulan untuk usaha budidaya di perairan payau (tambak) diantaranya udang windu, udang vanamme, udang rostris, ikan bandeng, nila salin, kerapu lumpur, kepiting, rajungan, dan beberapa jenis rumput laut Gracillaria (agarosa).  Komoditas unggulan untuk budidaya di perairan tawar, termasuk kolam dan minapdi antara lain mencakup ikan emas, nila, gurame, patin (dori), lele, baung, belida, bawal air tawar, udang galah, lobster air tawar (Cerax spp), berbagai macam ikan dan tanaman hias, dan labi-labi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline