Lihat ke Halaman Asli

Teologi Negara Maritim

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada tiga alasan utama, mengapa Indonesia mestinya menjadi negara maritim yang maju, kuat,

sejahtera, dan berdaulat.Pertama adalah fakta empiris bahwa Indonesia merupakan negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia yang tersusun atas 17.504 pulau (baru 13.466 pulau yang telah diberi nama dan didaftarkan ke PBB), memiliki 95.181 km garis pantai (terpanjang kedua setelah Kanada), dan 75 persen wilayahnya berupa laut (5,8 juta km2) termasuk ZEEI (Zona Ekonomi Esklusif Indonesia).Sebagai catatan, Pilipina sebagai negara kepulauan terbesar kedua di dunia hanya memiliki 7.100 pulau (Aroyo, 2012).

Di wilayah pesisir dan laut itu terkandung kekayaan alam yang sangat besar dan beragam, baik berupa SDA terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi); SDA tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya); energi kelautan (seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC atau Ocean Thermal Energy Conversion); maupun jasa-jasa lingkungan kelautan untuk pariwisata bahari, transportasi laut, dan sumber keragaman hayati serta plasma nutfah. Kekayaan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan tersebut dapat kita dayagunakan untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa melalui sedikitnya 11 sektor ekonomi kelautan: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) pertambangan dan energi, (6) pariwisata bahari, (7) hutan mangrove, (8) perhubungan laut, (9) sumberdaya wilayah pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA non-konvensional. Total nilai ekonomi dari kesebelas sektor ekonomi kelautan itu diperkirakan mencapai 1,2 trilyun dolar AS/tahun, dan dapat menyediakan lapangan kerja untuk 40 juta orang. Sampai sekarang, potensi ekonomi yang luar biasa besar, ibarat ‘Raksasa Yang Tertidur’ itu belum dimanfaatkan secara produktif dan optimal.

Kedua, bahwa secara historis sebelum penjajahan, melalui Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan sejumlah Kesultanan Islam, bangsa Indonesia dengan kekuatan ekonomi, perdagangan, transportasi, dan hankam laut (sea power) nya pernah berjaya, cukup makmur, dan disegani oleh masyarakat dunia kala itu, dengan wilayah kekuasaan hingga mencapai Campa (India), sebagian Siam (Thailand) dan Tiongkok.

Ketiga, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia sekitar 200 juta jiwa, bangsa Indonesia memiliki landasan keyakinan (teologi) yang kokoh untuk menjadi bangsa maritim yang maju, kuat, dan makmur.Pasalnya, jumlah kata tentang laut disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 32 kali, sedangkan banyaknya kata terkait daratan hanya 13 kali.Dan, ternyata 32 dibagi 45 itu sama dengan 71 persen, sedangkan 13 dibagi 45 itu sama dengan 29 persen.Persis sama dengan fakta bahwa luas laut dunia memang sekitar 71 persen, dan luas daratan adalah 29 persen dari seluruh permukaan bumi.Ini pasti bukan suatu kebetulan, melainkan design dari Allah SWT agar manusia lebih mendalami, mendayagunakan, dan mencintai lautan untuk keperluan hidupnya.Sebagaimana firman-Nya dalam QS. An-Nahl, ayat-14 yang artinya “Dan Dialah yang menundukan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daging yang segar (ikan dan seafood) darinya, dan (dari lautan itu) kamu mengeluarkan perhiasan (mutiara dan berkah lain) yang kamu gunakan.Kamu (juga) melihat perahu nerlayar padanya, dan agar kamu mencari sebagian karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur”.

Pekerjaan rumah kelautan

Sayangnya, sejak masa penjajahan sampai sebelum berdirinya KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), bangsa Indonesia melupakan jati dirinya sebagai bangsa maritim terbesar di dunia. Sumberdaya kelautan hanya dipandang dengan “sebelah mata”. Kalaupun ada kegiatan pemanfaatan, dilakukan secara kurang profesional dan ekstraktif, kurang mengindahkan aspek kelestariannya. Laut dipandang sebagai keranjang sampah dari beragam jenis limbah baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat maupun di laut. Dukungan infrastruktur, permodalan,IPTEK, SDM, dan kelembagaan terhadap bidang kelautan di masa lalu sangat rendah. Contohnya, Jepang dengan panjang pantai 34.000 km memiliki 3.000 pelabuhan perikanan (satu pelabuhan setiap 11 km garis pantai). Thailand dengan 2600 km panjang pantai mempunyai 52 pelabuhan perikanan, satu pelabuhan perikanan setiap 50 km garis pantai. Sedangkan Indonesia hanya punya 18 pelabuhan perikanan yang setingkat Jepang, atau satu pelabuhan perikanan setiap 4.500 km garis pantai.Sejak 1970 sampai 1996 kredit usaha yang dicurahkan untuk usaha perikanan hanya sekitar 0,02% dari total kredit. Kekuatan hankam laut kita pun masih lemah.Betapa tidak, untuk menjaga wilayah laut seluas ini sedikitnya kita harus memiliki 10 kapal selam, namun kita hanya punya 2 kapal selam tua, berumur 40 tahun.Jumlah kapal perang dan patroli minimal 130 unit, sekarang kita hanya memiliki 40 unit.

Oleh karena itu, wajar bila pencapaian hasil pembangunan kelautan di masa lalu menyisakan begitu banyak pekerjaan rumah. Saat ini kontribusi seluruh sektor kelautan terhadap PDB hanya sekitar 20%. Padahal negara-negara dengan potensi kekayaan laut yang lebih kecil ketimbang Indonesia, seperti Islandia, Norwegia, Spanyol, Jepang, Korea Selatan, RRC, Selandia Baru, dan Thailand, kontribusi bidang kelautannya rata-rata sudah di atas 30% PDB.Mayoritas nelayan dan masyarakat pesisir masih terlilit derita kemiskinan. Sementara, gejala overfishing, kerusakan ekosistem pesisir (terumbu karang, hutan mangrove, dan estuaria), dan pencemaran melanda sekitar 40% wilayah pesisir dan laut, seperti Pantai Utara Jawa, sebagian Selat Malaka, Pantai Selatan Sulawesi, sebagian Pantai Timur Kalimantan, dan muara Sungai Ajkwa di Papua. Praktik penangkapan ikan ilegal (illegal fishing) oleh nelayan asing, illegal logging, illegal mining, dan kegiatan ekonomi ilegal lainnya serta perampokan dan perompakan di laut masih marak.

Gara-gara kekuatan ekonomi, transportasi, dan hankam di laut kita lemah, maka biaya logistik Indonesia menjadi yang termahal di dunia, mencapai 26% PDB.Padahal, negara-negara lain lebih rendah dari 15% PDB nya. Lebih dari 75% barang yang kita ekspor harus melalui Pelabuhan Singapura, karena hampir semua pelabuhan Indonesia belum jadi hub port yang memenuhi sejumlah persyaratan internasional.Selain itu, dalam sistem rantai suplai dunia, posisi Indonesia belum sebagai produsen dan pemasok barang (produk) yang dibutuhkan masyarakat dunia, melainkan hanya sebagai konsumen (pasar) berbagai barang dan produk dari bangsa-bangsa lain.

Poros Maritim

Kita bersyukur bahwa Presiden dan Wapres terpilih dalam Pilpres 9 Juli lalu, Bapak Ir. H. Joko Widodo dan Drs. H. Muhammad Yusuf Kalla memiliki visi maritim yang sangat kuat dan jelas.Sebagaimana diungkapkan dalam pidatonya di atas Kapal Pinisi di laut Teluk Jakarta seusai menerima keputusan KPU yang menetapkan kemenangan dirinya sebagai Presiden RI ke-7,Jokowi bertekad menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang maju, kuat, sejahtera, dan berdaulat.Sehingga dapat menjadi poros maritim dunia yang mampu menebarkan kesejahteraan, keadilan, dan kedamaian secara berkelanjutan, bukan saja bagi bangsa Indonesia, tetapi juga bagi seluruh warga dunia.

Untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut, kita harus membangun kelautan berbasis inovasi yang inklusif dan ramah lingkungan, mensinergikan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dan pendekatan hankam (security and defence approach), dan mengembangkan kerjasama regional dan internasional yang saling menguntungkan. Pembangunan kelautan ke depan harus mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata di atas 7% per tahun), inklusif dan berkualitas (menciptakan banyak lapangan kerja yang mensejahterakan rakyat secara berkeadilan), dan ramah lingkungan serta berkelanjutan.

Pada tataran praksis, semua usaha ekonomi dan pembangunan di sebelas sektor ekonomi kelautan, baik yang sudah ada maupun yang baru akan dikembangkan harus menerapkan lima prinsip berikut.Pertama, setiap unit bisnis kelautan diupayakan memenuhi skala ekonomi nya supaya keuntungan (pendapatan) yang diperoleh dapat mensejahterakan pelaku usaha. Kedua, menggunakan intergrated supply chain management system, dari hulu (produksi) sampai ke hilir (pasar). Ketiga, menggunakan inovasi teknologi dalam setiap mata rantai sistem bisnis kelautan. Keempat, penguatan dan pengembangan industri hulu dan hilir, terutama untuk sektor perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri bioteknologi kelautan, dan ESDM. Hal ini sangat krusial agar semua produk dan jasa kelautan Indonesia bernilai tambah dan berdaya saing tinggi, lebih banyak menyerap tenaga kerja, dan menghasilkan multiplier effects. Kelima, mengaplikasikan kaidah pembangunan ekonomi ramah lingkungan dan berkelanjutan, yang mencakup: (1) penataan ruang wilayah (30% untuk kawasan lindung dan 70% untuk kawasan pembangunan); (2) pengggunaan energi terbarukan; (3) proses produksi, transportasi dan konsumsi yang sedikit atau tanpa limbah dan emisi gas rumah kaca; (4) laju pemanfaatan SDA terbarukan (seperti perikanan dan hutan mangrove) tidak melampaui batas-batas kelestarian (sustainability) nya; (5) pendayagunaan SDA tidak terbarukan (seperti minyak dan gas, bahan tambang, dan mineral) tidak menimbulkan kerusakan lingkungan yang berlebihan dan irriversible; (6) konservasi pada tingkatan genetik, spesies, dan ekosistem; (7) modifikasi bentang alam di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan laut harus berdasarkan pada prinsip design and construction with nature; dan (8) pemerintah berkewajiban meningkatkan kapasitas masyarakat lokal (di pesisir dan pulau kecil) dan memberikan kemudahan akses terhadap sumber modal, teknologi, dan pasar supaya mereka mampu melaksanakan usaha (bisnis) kelautan berdasarkan pada 7 prinsip terdahulu di wilayahnya masing-masing.Kalaupun pelaku usahanya dari tingkat nasional atau asing, harus dipastikan ada kerjasama dengan masyarakat lokal, dan masyarakat lokal mendapatkan keuntungan yang mensejahterakan.

Dengan menerapkan kelima prinsip pembangunan tersebut, segenap usaha individual dan kawasan industri kelautan yang ada (existing) perlu direvitalisasi.Pada saat yang sama, klaster-klaster industri terpadu berbasis kelautan, industri manufaktur, industri TI, industri kreatif, atau industri baru lainnya dengan pola KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) atau pola lainnya yang sesuai mesti dikembangkan di wilayah pesisir dan pulau kecil di sepanjang ALKI dan wilayah perbatasan. Dengan demikian, akan terbangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi (kemakmuran) baru yang tersebar secara proporsional di seluruh wilayah NKRI yang berfungsi sebagai sabuk kesejahteraan (prosperity belt) dan sekaligus sebagai sabuk kedaulatan (sovereignty belt).

Untuk mendukung pembangunan ekonomi kelautan semacam itu, infrastruktur dan konektivitas maritim (Tol Laut) mesti diperbaiki dan dikembangkan, yang meliputi armada kapal pengangkut barang maupun penumpang, pelabuhan, dan industri galangan dan perawatan kapal. Bank Maritim yang khusus untuk membiayai pembangunan dan bisnis kelautan harus dibentuk mulai awal tahun depan. Program Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan harus disempurnakan dan dikembangkan agar mampu menyediakan SDM yang kompeten dan unggul di semua aspek kelautan.Kegiatan penelitian dan pengembangan (R & D) kelautan mesti ditingkatkan supaya kita mampu menghasilkan dan mengaplikasikan teknologi karya bangsa sendiri, sehingga daya saing dan kedaulatan bangsa semakin meningkat dan kokoh.Iklim investasi dan kemudahan berbisnis harus dibuat atraktif dan kondusif. Kekuatan hankam laut dan budaya maritim harus terus ditingkatkan. Kerjasama regional dan internasional di bidang pendidikan, riset, IPTEK, ekonomi, perdagangan, dan konservasi yang saling menguntungkan dan memuliakan harus terus dikembangkan.

Dengan peta jalan pembangunan kelautan seperti di atas, Indonesia tidak hanya bakal menjadi negara maritim yang besar, kuat, maju, makmur dan berdaulat, tetapi juga akan menjadi poros maritim dunia dalam waktu tidak terlalu lama, tahun 2025 insya Allah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline