Lihat ke Halaman Asli

Puasa sebagai Laku Spiritual (?)

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya sangat tertarik dengan sebuah pikiran yang saya pada editorial media online muslim kemarin, madinaonline. Judulnya “Keberanian Dua Lukman”. Dua Lukman yang dimaksud adalah Lukman Hakim Syarifudin, Menteri Agama kita, dan Lukman Sardi, aktor yang “membelot menjadi kafir”. Lukman yang pertama dianggap berani karena pernyataannya agar umat muslim pun perlu menghormati orang yang tidak berpuasa, karenanya warung makan pun boleh-boleh saja dibuka di siang hari. Lukman kedua karena berani mengumumkan kemurtadannya di bulan suci umat Islam Ramadhan ini. Namun, saya tidak hendak mengulas lagi secara panjang lebar tentang dua bentuk keberanian tersebut, yang sebetulnya bukan keberanian dalam dunia demokrasi yang normal, tetapi pada pandangan penulis artikel tentang makna berpuasa.

Sebelumnya, saya ingin memperkenalkan identitas saya. Saya adalah seorang non muslim, kristen tepatnya. Tidak perlu saya memperkenalkan nama, karena tidak punya urgensi apa-apa ketika fokus kita hanyalah pada pertukaran ide melalui forum Online seperti ini. Boleh-boleh saja dianggap sebagai bentuk rasa takut, sebab rasa takut tersebut memang wajar ketika berhadapan dengan publik yang sebagian besar belum siap berdemokrasi dan menghargai apa yang dinamakan perbedaan (pendapat).

Yang menarik bagi saya dari penulis artikel tersebut, Luthfi Assyaukanie, Dosen pada Universitas Paramadina, adalah pandangannya tentang berpuasa. Penulis mengatakan bahwa puasa merupakan “laku spiritual dalam kesunyian, bukan sesuatu yang harus dipertontonkan dan meminta orang lain agar menghormatinya... Orang yang merasa memiliki keistimewaan semata-mata karena dia berpuasa pasti ada yang salah dengan dirinya, ada yang keliru dengan mentalnya...” Pandangan seperti ini sangat menarik, dan terus terang, saya kaget ada sarjana (umat) muslim yang telah berpikiran semaju itu.

Dalam ajaran kami, pandangan penulis seperti yang saya kutip di atas bukanlah sesuatu yang baru, tetapi sudah menjadi ajaran lama yang berlaku kurang lebih dua ribu tahun. Sejak kecil, ketika mulai diperkenalkan dengan ilmu agama dan tahu membaca kitab suci, kami diajarkan bahwa puasa bukanlah sesuatu yang dapat dipertontonkan. Puasa, seperti kata penulis di atas, merupakan laku batin untuk mendekatkan diri dengan sang pencipta. Yesus, Guru agung kami, mengajarkan bahwa ketika kita berpuasa maka janganlah kita bermuka muram sehingga semua orang tahu bahwa kita sedang berpuasa, sebab yang demikian hanyalah pekerjaan orang munafik (bdk. Mat 6:16). Justru sebaliknya, ketika sedang berpuasa, kami diajarkan untuk berlaku seperti orang yang sedang tidak berpuasa. Penampilan harus tetap segar, rambut diminyaki, dan beraktivitas seperti biasa. Biarlah puasa kita hanya diketahui dan menjadi urusan privat masing-masing pribadi dengan Tuhan. Tidak ada paksaan sama sekali, karena semua orang tidak harus merasa perlu tahu apakah rekan seagamanya berpuasa atau tidak. Institusi agama/gereja hanya mengulang dan menganjurkan ajaran Guru agung kami, soal orang tidak mau berpuasa, tidak ada hukumannya sama sekali. Demikian juga, tidak ada kewajiban dan tuntutan sedikitpun untuk menghormati rekan seagama kami yang sedang berpuasa. Model puasa yang demikian sudah bukan merupakan hal baru bagi kami, malaya saya tidak akan heran sama sekali apabila umat beragama lain tidak tahu kalau dalam agama kristen pun ada masa puasanya.

Sampai sekarang saya tidak tahu, dan bahkan belum teryakini, dengan pandangan penulis artikel tentang makna puasa (dalam ajaran islam) yang amat berbau kristiani tersebut. Sebab, apa yang saya amati di media maupun dalam kenyataan hidup setiap hari, puasa umat muslim seperti sesuatu yang wajib digembar-gemborkan dan diketahui semua orang. Dan bukan itu saja, semua orang yang tidak berpuasa, dan kaum kafir sekalipun wajib menghormati mereka yang sedang berpuasa. Dua kebiasaan ini, saya saksikan berulang-ulang, tahun demi tahun, sehingga saya pun mengamini bahwa memang seperti inilah model puasa umat muslim. Secara pribadi, saya juga tidak terlalu mau mempersoalkannya model berpuasa demikian, karena hal tersebut merupakan bagian dari perbedaan. Dan perbedaan merupakan sesuatu kekayaan, demikian ajaran orang bijak di mana saja.

Saya baru terkejut dan mulai mempertanyakan pandangan saya tentang puasanya kaum muslimin, yaitu ketika membaca artikel dari madinaonline di atas. Apakah betul seperti itu? Kalau betul demikian, mengapa yang terjadi di TV, di jalanan, di masjid justru sebaliknya dari yang diopinikan penulis artikel? Mengapa puasa muslim dianggap sebagai suatu kebanggaan yang perlu dipertontonkan secara membabi buta kepada khayalak ramai, dan lebih dari itu semua orang di luarnya dipaksa untuk “menghormati” mereka yang sedang berpuasa dengan juga turut berpuasa? Mengapa semua acara dan iklan TV seperti disabotase dengan tema-tema Ramadhan? Apakah orang berpuasa harus terus menerus mendapat ucapan selamat? Mengapa juga puasa umat muslim dianggap begitu istimewa sehingga jam kantor dan jam pulang sekolah pun dipotong? Kalau demikian, maka di manakah letak laku spiritual seperti yang dikatakan penulis artikel madinaonline di atas?

Jika memang apa yang disampaikan penulis artikel tersebut benar sesuai dengan ajaran islam yang sesungguhnya, maka saya menganjurkan sebagian umat muslim untuk bertobat. Sebab, apa yang terjadi sudah amat melenceng dari ajaran agama. Berpuasa dengan menghilangkan tantangan untuk berpuasa, dan menganggapnya sebagai “kemewahan” karena diketahui banyak orang untuk (secara terselubung) mendapatkan pujian, dan sekaligus dianggap sebagai kebajikan yang menyenangkan Tuhan menurut saya jauh dari unsur laku spiritual. Laku spiritual menuntut pengingkaran diri untuk menahan godaan terhadap pelbagai nafsu (termasuk nafsu untuk makan dan mendapatkan ucapan selamat dan pujian). Laku spiritual bertujuan menyadarkan manusia akan kekecilannya dan bahwa hanya Tuhanlah satu-satunya tempat bergantung yang dapat mengisi kekosongan dan memberi kepenuhan bagi manusia. Laku spiritual hanya dapat dilaksanakan ketika manusia dihadapkan pada banyak godaan, bukan pada situasi ketiadaan/nir godaan.

Guru agung kami mengajarkan bahwa orang yang berpuasa, dan diketahui orang lalu dipuji karena puasanya tersebut, maka sesungguhnya orang tersebut tidak akan mendapatkan upah apa-apa di surga, sebab upahnya telah dibayarkan di dunia oleh pujian orang. Yang tersirat dari ajaran ini bahwa puasa kami telah gagal ketika ada intensi sekecil apapun untuk mempertontonkan dan mendapatkan pujian dari orang lain. Laku spiritual kami hanya dapat dijalankan bila ada kemauan dan tekad yang sungguh-sungguh untuk menanggalkan kebesaran-kebesaran diri dan manusiawi kita ketika berhadapan dengan Allah. Allahlah yang menjadi fokus dari laku spiritual tersebut, bukan manusia dan segala perak-perniknya. Demikian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline